Ini kedua kalinya saya ikut mengobrol lewat google meet bersama teman-teman para memoaris, belajar bersama dan saling mensupport agar kami bisa menulis dengan baik dan bermanfaat untuk orang lain. Kegiatan yang sungguh positif menurut saya, dan setelah berkenalan dengan para anggotanya, kali ini yang hadir 24 orang….woo latar belakang anggota benar-benar mengesankan.
Saya mengenal Komunitas Menulis Memoar ini karena diajak teman sesama blogger (walau saya sudah sangat jarang menulis). Dan ternyata teman-teman saya kelas berat euy …ada dokter ahli paru yang masih aktif bekerja di RSCM, ada jurnalis, ada pustakawan, ada dosen, guru dan ahli pertanian…wahh banyak lagi, mungkin nanti saya akan makin mengenal beliau-beliau ini. Saya juga mengajak teman-teman ikut (biar ramai dan punya teman yang sama-sama baru), yaitu bu Ninik (sayang bu Ninik sedang isoman, cepat kembali sehat ya bu). Dari teman kuliah, ada mas Iwan, senior saya dan Iswandi Anas Chaniago, teman seangkatan.
Sejak tahun 2017, Diomedia telah menerbitkan 50 buku, prestasi yang bagus menurut saya, penjualan pada umumnya dilakukan secara daring. Dari obrolan ini, saya baru memahami bahwa menulis memoar merupakan proses “ healing”, yang antara lain digunakan oleh psikolog untuk menyembuhkan trauma.
Penjelasan mas Diyo, owner dan founder penerbit Diomedia, saya coba tulis di sini, agar bermanfaat bagi teman-teman yang ingin mulai menulis memoar, sebagai berikut:
Kita mengenal memoar yang menginspirasi, antara lain: Catatan Harian Anne Frank, Catatan Seorang Demonstran Soe Hok Gie, Laskar Pelangi dan Multatuli yang Membunuh/Mengakhiri Kolonialisme.
Jadi, secara legacy: a. Menulis memoar hakikatnya menulis untuk diri sendiri. b. Membuka kenangan dan fakta hidup yang pernah terjadi, c. Memasuki ruang privat dalam diri. d. Ketika menuliskannya tentu dengan sepenuh jiwa. Jadi, sebetulnya memoar adalah kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan, dan tanggapan pencerita atas peristiwa yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya. Dan merupakan catatan dan pengalaman hidup seseorang.
Bentuk memoar bisa berupa: prosa, surat, puisi dan esai.
Bagaimana langkah pertama menulis memoar?
Tentukan tema khusus.
Mengawali dari mana saja.
Sudah memikirkan/merencanakan akhir dari memoar yang akan ditulis.
Termasuk menyiapkan foto-foto, dokumen beserta keterangannya.
Eksplorasi perasaan ketika menulis.
Rasa penggerak menuangkan memoar.
Bahan menulis memoar adalah fakta dan kenangan.
Resep menulis:
“ Menulis, jika dilakukan secara benar, tak ada bedanya dengan kegiatan bercakap-cakap” (Laurence Sterne 1713-1759, novelis Inggris).
Isak Dinesen, penulis Denmark menceritakan, awal mulanya cerita: Mula-mula saya merasakan dorongan kuat untuk menulis sebuah cerita. Kemudian datanglah karakter-karakter, dan merekalah yang membangun cerita. Dari gerak karakter-karakter itu, munculah plot. Jika segalanya telah siap, tema, karakter dan bangunan cerita, maka Tuan plot akan datang.
Delapan Langkah menulis memoir oleh Linda Joy Myers:
Memahami alasanmu menulis.
Lakukan penelitian.
Psikologi menulis memoar.
Bagian gelap.
Menyusun cerita lama.
Terbitkan atau tidak terbitkan.
Kedahsyatan menulis yang menyembuhkan.
Dari uraian mas Diyo, saya memahami bahwa ternyata ada Himpunan Penulis Memoar:
National Association of Memoir Writers, USA. (Linda Joy Myers is the President)
Komunitas Menulis Memoar, berkantor di Penerbit Diomedia, Surakarta.
Obrolan dilanjutkan dengan tanya jawab, sungguh mencengangkan dan mengharukan ternyata banyak teman yang selama ini banyak berkecimpung menulis ilmiah, ternyata ingin mulai menulis cerita ringan namun bisa menginspirasi pembacanya. Saya makin semangat, semoga sayapun ketularan bisa menulis…yang penting semangat dulu untuk memulai. Terimakasih teman-teman semua, semoga pertemuan kita secara daring ini banyak manfaatnya.
Catatan: Karena keasyikan mendengar cerita mas Diyo, jadi lupa memotret.
Bogor nyaris tiap hari hujan. Sebetulnya kuliah di TP 1 (Tingkat Persiapan Pertama), hanya ada 6 (enam) mata kuliah. Tapi kalau mata kuliahnya tidak ada praktikum, selalu ada responsi. Praktis tiap hari masuk jam 7 sd 12.00 wib. Istirahat, kembali lagi jam 14.00 untuk praktikum.
Jarak dari kampus Baranangsiang ke daerah Sempur lumayan jauh, apalagi tidak dilewati bemo. Seringkali pulang praktikum, hujan, melalui jl. Otista (sekarang jl. Pajajaran) yang kiri kanannya pohon besar dan tajuknya rapat serta melengkung, berbatasan dengan Kebun Raya, membuat suasana tambah seram. Ditambah suara burung, terutama burung kelelawar yang jumlahnya ribuan dan rumahnya di pohon-pohon tua di Kebun Raya. Kondisi ini, ditambah bapak kost yang sering kawatir kalau saya pulang telat, membuat makin tidak nyaman. Setelah cari-cari info, ada tempat kost kosong di jl. Rumah Sakit II, persis di sebelah kampus IPB Baranangsiang. Bapak kost, om Hidir, mengajar di IPB sebagai dosen di Departemen Hama & Penyakit Tanaman.
Saya menulis surat pada ayah ibu, mohon ijin untuk pindah kost dengan mengemukakan alasannya. Dengan kost di dekat kampus, akan menghemat waktu, serta bisa belajar bersama dengan teman-teman yang rata-rata tempat kost nya di sekitar kampus. Ayah menjawab surat, sekaligus memberitahu bahwa ayah telah mengirim surat ke bapak kost di Sempur bahwa saya diijinkan pindah kost mendekati kampus. Di hari Minggu yang kebetulan cerah, saya carter delman untuk mengankat barang pindahan. Ya saat itu delman merupakan salah satu alat transportasi, jika kita ingin membawa barang yang cukup banyak dari satu tempat ke tempat lain. Kondisi kota Bogor yang naik turun, membuat delman merupakan pilihan yang lebih baik dibanding naik becak.
Saya sekamar bertiga, sebut saja Sri dan Win (bukan nama sebenarnya), keduanya kuliah di Akademi Kimia Analis (AKA). Sri pintar main gitar dan suaranya bagus. Jika Sri dan Win sedang menyanyi, saya cuma menjadi pendengar. Di paviliun ada teman cowok, Kiki, yang satu angkatan dengan saya di Fak Pertanian.
Saya yang sebetulnya penakut, berharap kedua temanku cukup berani…harapan tinggal harapan. Jika habis nonton film yang agak horor, malamnya tempat tidur dipepetkan…mata susah banget diajak merem. Apalagi pepohonan di Bogor yang kalau malam sering bunyi siut-siut tertiup angin. Di halaman, depan jendela kamar ada pohon bougenville yang besar…indah jika sedang berbunga, tapi serem jika sedang hujan deras.
Berbatasan dengan pagar belakang tempat kost, adalah Rumah Sakit PMI. Kalau akhir pekan, pas hari hujan, dan ada kecelakaan di lintas Ciawi Puncak…bunyi sirene ambulan yang mondar mandir membikin miris. Kalau sudah begini, kami bertiga merasa ciut… agar rasa takut itu tak menular, kami bikin perjanjian, jika salah satu sedang ketakutan tak boleh cerita pada yang lain.
Suatu ketika, hujan dari siang tak berhenti-henti, rasa dingin menggigit. Kami mulai siap-siap tidur….Win yang ingin ke kamar mandi rupanya takut, padahal kamar mandi letaknya cuma persis dekat pintu keluar kamar. Karena sudah tidak kuat menahan…Win loncat dari tempat tidur dan lari terbirit-birit keluar. Saya yang kaget, dan Sri, langsung ikut melompat keluar kamar.. yang penting lari selagi bisa bergerak.
Om yg rupanya masih kerja di depan meja makan depan TV kaget…dan tanya “ada apa?” Kami yg ketakutan tidak bisa menjawab. Akhirnya om ikut melihat-lihat kamar, mengecek jendela yang masih rapat terkunci….dan hanya bisa geleng-geleng kepala.
Jika Sri dan Win ke Jakarta, saya tidak berani tidur sendiri. Saya pindah nebeng kamar Nik (nenek, ibunya tante Hidir) yang tidur bersama kedua cucunya (putra putri om Hidir yang masih kecil). Biar berdesakan, saya bisa tidur.
Lama-lama saya berani tidur di kamar sendiri asal ditemani Ferry, putra om Hidir yang berusia 4 (empat) tahun. Penakut ini terbawa sampai saya menikah….dan punya anak. Tapi akhirnya bisa beradaptasi setelah dipaksa melalui kondisi yang tidak mungkin dibantu orang lain.
Hari kedua sesi 4: Festival Memoar dan Memoaris Indonesia, 10-19 Desember 2021
Pada sesi ini, saya ditunjuk oleh penerbit Diomedia untuk menjadi moderator. Saat itu saya bertanya, “Pembicaranya siapa mas?” Mas Diyo menjawab, pembicaranya penulis dan peserta webinar mbak, yang semuanya merupakan anggota Komunitas Menulis Memoar. Saya belum bisa membayangkan, seperti apa ya acaranya, jadi supaya saya tidak bingung mulai dari mana, saya mulai googling mencari apa sih yang dimaksud dengan parenting itu? Saya pikir, daripada saya bingung mengawalinya, saya mulai membuat slide 10 lembar, terus saya kirim melalui email pada mas Diyo untuk dikoreksi. Ternyata mas Diyo menerima dengan senang hati…..minimal saya punya gambaran sedikit tentang ilmu parenting, walau sebetulnya sejak punya anak usia 10 tahun, saya sering berhubungan dengan psikolog anak, karena ayah ibu sudah tidak ada, daripada salah melakukan pola asuh kepada anak, lebih baik bertanya pada ahlinya.
Moderator
Sehari sebelum acara, saya bertanya pada mas Diyo, siapa saja penulis buku “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, dan saat membaca Curriculum Vitae para penulis, saya langsung terhenyak. Matilah saya, penulisnya banyak yang pintar-pintar dan tentunya lebih berpengalaman dibanding saya. “Tidak masalah”, saya menyemangati diri sendiri, toh ini adalah ajang sharing pengalaman, saya bahkan akan banyak menimba pengalaman dari beliau-beliau ini.
Acara pada hari Sabtu malam ini dimulai sejak jam 19.30 sampai dengan jam 21.30 wib…. ternyata berjalan meriah dan seru. Saya benar-benar terharu dengan semangat berbagi teman-teman, bahkan bu Dewi Odjar yang mempunyai latar belakang sebagai psikolog dan telah menerbitkan beberapa buku antologi dan buku tunggal, banyak memberikan inspirasi bagi kami semua. Kekhawatiran saya ternyata tidak perlu, kami saling berbagi. Komentar tidak hanya dari para peserta yang sudah punya cucu, pengalaman mbak Retty sebagai ibu, yang mengamati bagaimana mamanya dalam berinteraksi dengan cucunya menarik untuk disimak. Pengalaman peserta dari Kanada, yang terpaksa bangun dini hari untuk sekedar mendengarkan acara ini sungguh menyejukkan, mbak Wieda juga berbagi bagaimana dia memperlakukan cucu dari kakaknya sebagai teman, dan para cucu ini memanggilnya “Nana” (nena=Nenek, dari bahasa Inggris UK, dan Nana dari panggilan nenek di Kanada). Cucu bu Dewi Odjar memanggil mayang (berasal dari mama dan eyang) serta Kiki (aki) untuk kakeknya. Cucu pak Iswandi Anas Chaniago, yang sering dipanggil IAC, memanggil kakeknya grandpa atau GP.
Sebagian peserta webinar
Secara ringkas, saya membuat ringkasan diskusi pada webinar “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, sebagai berikut:
Moderator memaparkan, bahwa saat anaknya kecil, seorang psikolog pernah berpesan “anak tidak terlalu mendengarkan, namun mudah mencontoh perilaku orang di sekitarnya. Pesan ini membuat para orangtua dalam menjaga buah hatinya harus berhati-hati dalam berperilaku, karena cucu sangat mudah mencontoh perilaku orang di sekitarnya. Dari slide pola pengasuhan anak, kunci pengasuhan yang penting adalah: hangat dan dekat, konsisten dan jangan berjarak. Kakek nenek dan orangtua anak, ada risiko terjadi perbedaan perilaku salam menerapkan pola asuh, namun hal tersebut harus disikapi secara bijaksana. Pada dasarnya kakek nenek dan orang tua sama-sama menyayangi buah hati. Diperlukan komunikasi yang baik antara orangtua dan kakek nenek, agar pola pengasuhan terhadap cucu dapat berjalan lancar dan menyenangkan bagi cucu.
Ibu Dewi Odjar, berasal dari extended family, kakek neneknya berasal dari Sumatra Barat dan Jawa Barat. Akibatnya anak-anak sejak kecil telah dikenalkan terhadap toleransi. Walau tinggal di keluarga besar, namun masing-masing keluarga mempunyai privacy, ada perbedaan dalam role model, namun perbedaan tersbut bisa disiasati dengan cara berkomunikasi yang baik. Masalah timbul, apabila yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan sehingga menimbulkan gap. Jika hal ini tidak dikomunikasikan akan menimbulkan friksi. Perbedaan ini biasanya diselesaikan dengan dibahas secara santai pada saat makan diseling gurauan.
Kakek nenek sepakat, jika cucu sedang dimarahi oleh orangtuanya, langsung masuk kamar, tidak ikut campur, harus menahan perasaan tidak tega, karena itu merupakan tanggung jawab orangtua terhadap anaknya. Di dalam keluarga, kakek nenek tidak banyak memberi nasihat, namun lebih banyak bertanya. Bu Dewi Odjar, sebagai baby boomers, cara pandang dan pola pikirnya sangat berbeda dengan kaum milenial, zelenial, alpha, sehingga prinsipnya justru kita yang harus menyesuaikan diri. Era sekarang, anak-anak tidak jauh dari gadget, agar bisa mengobrol dengan mereka, kakek nenek harus bisa berimprovisasi melakukan kegiatan kegiatan yang disenangi oleh generasi cucunya ini. Nenek bisa bertanya pada cucunya, apa sih asyiknya main game? Cucu yang merasa diperhatikan akan bercerita banyak dan mau diajak diskusi.
Bu Dewi bercerita, suatu ketika melihat dari acara yang ditayangkan TV, nenek yang usianya di atas 100 tahun masih berolah raga, dan berkomentar…”Mungkin itu memang passionnya ya.” Cucu bertanya, “Apa yang dimaksud dengan passion?” Nenek menjawab, “Passion itu jika kamu suka dan kamu bisa melakukannya.” Cucu menjawab, “Aku suka masak, nanti mau jadi chef.” Terjadilah diskusi apa profesi chef, kesenangan memasak bisa untuk dinikmati sendiri, namun jika bisa dijual, akan menjadi sebuah profesi.
Bu Dewi Odjar
Diceritakan juga, terjadi perbedaan penanganan pada saat anak sakit. Jika waktu dulu, ada anak sakit akan diselimuti agar badannya hangat. Namun sekarang justru tidak boleh diberi selimut. Jika panas, tidak boleh langsung diberi tempra, namun diukur dulu panasnya menggunakan thermometer, jika telah melewati 37,5 derajat baru boleh diberi penurun panas.
Pak Mimbar, menceritakan pengalaman sebagai seorang kakek dengan gaya khasnya. Saat cucu ketiganya lahir, ibunya ikut grup ibu-ibu menyusui. Banyak membeli dan membaca tentang buku parenting.
Pak Mimbar yang terbiasa hidup secara alamiah berkomentar, “ini bapak ibu kok mengunyah buku-buku kayak ayam leghorn, kan kita ayam kampung.”
Pak Mimbar Bambang Saputra
Saat anak belum tumbuh gigi, orangtua heboh. Begitu juga saat belum bisa ngomong sesuai umur yang ditulis di buku, ayah ibu si anak sangat heboh. Kakek menanggapi dengan santai, “kakek neneknya cerewet, lha masak cucunya tidak bisa ngomong.” Namun pak Mimbar sepakat dengan pendapat bu Dewi Odjar, jika anak sedang dimarahi orangtuanya, lebih baik masuk kamar karena tidak tega mendengarnya. Anak juga tidak mau direpotkan dengan upacara tujuh bulanan. Saat mendapat kiriman nasi kuning dari tantenya, malah komentar, “kenapa mesti ada nasi kuning?”.
Prof Iswandi Anas Chaniago
Pak Iswandi Anas Chaniago, menceritakan bahwa dalam keluarganya tidak pernah mengikuti aturan baku, semua berjalan dengan sendirinya. Ada cucu yang tinggal satu rumah dengan kakek nenek karena kedua orangtuanya bekerja, hanya punya waktu pada akhir pekan. Privacy tetap dijaga, anak cucu tinggal di lantai satu, sedang kakek dan nenek di lantai dua. Kakek nenek mengamati perkembangan cucu, semua berjalan wajar dan tidak mengikuti aturan di buku parenting.
Adanya cucu, membuat kakek nenek merasa seperti kembali punya anak kecil. Cucu tidak manja, sering diajak mengunjungi para petani jika kakek ada tugas.Pada usia 3-4 tahun cucu senang jika diajak ke mana-mana dan sering menunjukkan kebolehannya. Makin bertambah usianya, kesempatan cucu untuk mau diajak semakin berkurang, karena lebih suka bergaul dengan teman-temannya, melalui gadget. Orang tua cucu menggunakan kesempatan di akhir pekan untuk melakukan kegiatan bersama, seperti kamping, agar bisa lebih dekat dengan anak-anak.
Ibu Diah Wulan Basarati
Ibu Diah Wulan. Cucu ibu Diah Wulan berumur 4 (empat) tahun dan hampir satu tahun. Rasanya bahagia sekali mempunyai cucu. Saat cucu pertama diminta memimpin teman-temannya membaca surat Al Fatihah, kakek nenek merasa bangga sekali. Masalah yang lain belum mempunyai pengalaman karena cucu masih kecil-kecil.
Ibu Stella Martina Sundah. Mempunyai anak tiga orang, laki-laki semua. Cucu ada 4 (empat) orang, perempuan semua, ada yang kembar. Sungguh menyenangkan punya cucu kembar. Anak mantu dan cucu pernah tinggal satu rumah sebelum mempunyai rumah sendiri. Pada saat itu sering jalan-jalan, renang dan melakukan kegiatan bersama. Kadang terjadi gesekan dengan menantu, karena tidak setuju anaknya diajak makan di KFC. Gesekan ini karena cara melakukan pola asuh yang berbeda, namun tidak berlangsung lama.
Bu Ninik Darwinto
Ibu Ninik Darwinto. Kenangan bersma cucu sangat banyak. Menantu perempuan bekerja di kantor, sehingga nenek mempunyai kesempatan untuk lebih dekat dengan cucu. Pola asuh anak sekarang dengan pola asuh saat nenek dulu sangat berbeda, jadi kalau cucu dimarahi, kakek nenek akan sembunyi. Hal ini membuat nenek sedih, namun suami menguatkan dengan mengatakan.” Cucumu itu bukan anakmu. Itu merupakan tanggung jawab orangtuanya, kita tidak boleh ikut campur.”
Pada saat Diomedia meminta bu Ninik menulis memoar tentang cucu, muncul pertanyaan-pertanyaan. Apa yang perlu ditulis? Menulisnya harus adil, karena walaupun sekarang cucu masih kecil, namun jika yang ditulis hanya cerita kakaknya, saat adik membaca nanti, akan merasakan bahwa nenek kurang adil. Hal ini membuat bu Ninik berusaha menuliskan cerita tentang cucu secara adil.
Saat cucu masih kecil cucu senang diajak, sangat mudah untuk menyenangkan cucu. Setelah cucu makin besar, nenek harus tahu diri, karena justru nenek yang harus banyak belajar dari cucu. Sekarang, mereka senang menyendiri bersama gadget, atau mengobrol dan bercanda bersama teman. Bu Ninik menyadari, termasuk nenek yang memanjakan cucu. Aturannya, cucu dilarang makan di kamar, serta makan harus sendiri. Namun saat ibunya bekerja, nenek tidak tega saat melihat cucu yang baru datang dari sekolah, terlihat lelah dan lapar. Saat sedang menyuapi cucu, terdengar mobil masuk ke halaman dari kamar… nenek buru-buru mengajak cucu keluar kamar, ternyata ibunya cucu telah ada di depan pintu.Pak Sidosolo. Belum bisa ikut cerita, hanya ikut menyimak, karena mempunyai putri 3 (tiga) orang, semuanya belum menikah. Semoga nanti jika putrinya menikah bisa segera merasakan punya cucu, seperti yang diceritakan bapak ibu semua.
Mbak Retty N. Hakim. Mami (ibunya mbak Retty) mempunyai komitmen, jika anaknya sudah mengatakan tidak boleh, mami akan mengikuti. Namun ada keluarga mami, yang tinggal bersama di rumah mami, sering mempunyai pandangan berbeda. Cucu juga tahu dimana ada tempat uang. Jika opa mengajak jalan-jalan, walau sudah remaja, cucu akan senang sekali. Jalan-jalan bersama opa, berarti cucu akan bebas meminta apa-apa yang diinginkannya. Mami paling dekat dengan cucu dari putrinya, mbak Retty N. Hakim, walau tidak bekerja full time, namun jika mbak Retty ada acara jalan-jalan ke museum, anak-anak akan dititipkan pada nenek. Dalam buku “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, nenek menceritakan keenam cucunya semua, agar merasa adil.
Mbak Wieda, Kanada. Sebetulnya tidak punya cucu dan tidak punya anak. Namun cucu-cucu dari kakaknya sangat dekat dekat dengan mbak Wieda dan menganggapnya teman. Para cucu dari kakaknya ini memanggilnya Nana. Para cucu ini mudah cerita, mereka menyatakan bahwa, “Nana lebih cool dibanding ibu saya. Kakak bu Wieda komentar, “Mbak Wied memanjakan anak-anak, apapun dikasih, kecuali patri dan abu gosok.”
Jika Mbak Wieda pulang ke Semarang, para cucu ini, termasuk anak para tetangga, diajari memasak. Mbak Wieda ini pintar memasak, saat awal pindah ke Kanada mengikuti suami, hampir setiap hari menelpon ibu di Semarang untuk belajar memasak, menanyakan bumbu yang akan dimasak melalui telepon. Kakak mbak Wieda dan para putranya juga pinter masak, sekarang dari hasil memasak, selain hobi bisa menjadi tambahan penghasilan, karena hasil berjualan kue dan masakannya laris.
Cucu keponakan mbak Wieda sekarang ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri dengan jalur bidik misi. Nana memacu kita untuk terus belajar agar bisa melihat dunia, jadi anak-anak ini rajin belajar agar bisa mengejar mimpinya.
Bu Dewi Odjar menanggapi, bahwa jika cucu bisa diajak sebagai teman, sebetulnya karena mereka ingin didengar. Mereka juga ingin tahu hal-hal baru. Mbak Wieda tinggal di Kanada, sehingga tidak merasa ada beban. Anak-anak senang karena bisa mendengar dan mengobrol apa saja tanpa khawatir. Saat di Fakultas Psikologi, bu Dewi diajarkan, anak yang lahir ke dunia diibaratkan seperti kertas putih yang kosong dan yang belum ditulisi, atau lebih dikenal dengan istilah Tabularasa. Pada kenyataannya, manusia lahir telah mempunyai kecerdasan emosional dan spiritual. Anak-anak bukanlah ember kosong.
Yang dilaksanakan mbak Wieda, anak-anak perlu dinyalakan semangatnya. Dunia sekarang terbuka dan banyak inspirasi-inspirasi. Pertanyaan cucu saya tentang passion membuat saya membaca tentang ikagai (istilah dari bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan). Jika bertemu dengan anak-anak, saya akan bertanya,”Apa yang ingin kamu buat?” Bukan mau menjadi apa dan mau kerja dimana?
Saat ini bu Dewi Odjar banyak menangani coaching anak-anak milenial yang cara pemikirannya jauh berbeda. Jadi kita jangan memakai sepatu lama, jangan pula menutup diri, tetapi kita mempunyai wisdom. Di New Zealand, semua anak pembelajarannya dititik beratkan pada karakter. Seperti, mengucapkan: terima kasih, memberi salam dan meminta tolong. Tiga hal ini sangat universal, jika bisa melakukan tiga hal ini, merupakan bekal yang bagus untuk anak-anak menghadapi masa depan.
Pak Iswandi menceritakan, bahwa pujian juga diperlukan bagi orang dewasa. Pak Iswandi saat kuliah di Belgia, mendapatkan pembimbing yang sering membuat semangatnya meningkat dengan memberi pujian. Saat mulai bergabung dengan Diomedia, pujian teman bahwa tulisannya mulai bagus, sangat membesarkan hatinya.
Mas Ngadiyo juga menceritakan, bagaimana cara menghadapi anak-anak yang magang di Diomedia. Mas Ngadiyo memulai dengan pertanyaan kepada anak-anak magang, apa yang diinginkan? Banyak dari anak-anak ini yang ingin menjadi youtuber, content creator, karena bekerja di media saat ini kesempatannya untuk berhasil sangat luas, karena dibutuhkan anak-anak muda yang kreatif. Dalam rangka Festival Memoar ini, mas Ngadiyo menggerakkan anak-anak muda untuk bahu membahu sejak membuat poster, mengatur jadual, membagi siapa-siapa yang akan mengatur jalannya acara dengan menjadi MC dan siapa yang berada di balik layar.
Bu Dewi Odjar merupakan orang yang berada di balik layar dalam mempopulerkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam proses pemakaian helm. Saat itu bu Dewi Odjar baru saja bergabung di Badan Standar Nasional, mendapat tugas untuk melakukan upaya agar SNI dalam sosialisasi pemakaian helm berjalan lancar. Undang-undang Lalu Lintas disahkan pada tahun 2009 dan diberlakukan sejak tahun 2010, dalam undang-undang jelas dinyatakan bahwa pengendara sepeda motor wajib memakai helm sesuai SNI. Padahal sejak tahun 90 an telah berseliweran pengendara sepeda motor menggunakan helm dengan berbagai merk.
Bu Dewi terinspirasi dari acara memasak oleh Rudy Choirudin, yang menayangkan proses memasak sejak dari pemilihan bahan, bagaimana proses memasak, kemudian penyajiannya. Saat pengujian helm yang menggunakan 9 (sembilan) parameter, yang ditayangkan melalui video, antara lain: helm SNI tahan dari benturan (uji penerapan kejut), uji penetrasi, uji efektivitas sistem penahan dan sebagainya. Dilakukan touring uji helm SNI dari Bali ke Jakarta. Bu Dewi Odjar bekerja sama dengan para bickers, komunitas dan polisi lalu lintas, agar para pengendara makin mengenal kegunaan memakai helm SNI. Juga dilaksanakan trade in, orang bisa menukar helm lama dengan hem baru berlabel SNI tanpa membayar.
“Sebetulnya apa arti Odjar?”, tanya mbak Retty N. Hakim, di akhir webinar. Odjar adalah singkatan dari Optimalkan Diri Dengan Terus Belajar, merupakan judul buku tunggal dari bu Dewi Odjar.
Buku ini berisi tulisan 19 memoaris. Sebagai moderator kali ini adalah gus M. Badruz Zaman, yang telah menerbitkan buku “Potret Moderasi Pesantren”. Gus Badruz mengemukakan, dalam perkembangan ilmu pendidikan dan pengajaran, saat ini telah banyak beredar buku-buku tentang cara belajar, buku psikologi belajar, sehingga sosok guru agak berkurang peranannya. Sistim pendidikan berkembang makin besar dan kompleks. Namun hal ini, berbeda antara cara santri dalam menghadapi gurunya, dengan mahasiswa menghadapi pembimbingnya. Cara penghormatan santri, dikenal dengan istilah taqdim, yang berarti mendahulukan kepentingan guru masih lekat di pesantren. Kemungkinan, karena hal ini disebabkan di universitas umum lebih banyak diajarkan tentang ilmu, sedang di pesantren lebih banyak diajarkan tentang taqdim.
Selanjutnya ustadz Ali Azhar, founder @catatan_azhar, penulis yang telah menerbitkan buku motivasi tentang Islam, memberikan tausiah sekitar 10 menit, singkat tetapi padat dan sangat bermakna. Tausiah ustadz Ali Azhar sebagai berikut:
Cover Buku “Kyaiku & Hidupku”
Seiring berkembangnya agama Islam di Nusantara, maka hampir di setiap daerah pasti ada pemuka agamanya. Para pemuka agama tersebut disebut dengan: a. Kyai (Jawa), b. Ajengan (Sunda), c. Buya (Sumbar), Teungku (Aceh), Bendoro (Madura) dan Tuan Guru (Kalimantan). Sebutan untuk Kyai sangat beragam.
Seorang ulama besar asal Rembang, yaitu KH Musthofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, mendefinisikan bahwa kyai adalah mereka yang memandang umat dengan kacamata kasih sayang. Definisi ini memang sederhana, tetapi begitulah kyai yang seharusnya. Mereka berdakwah dengan cara mengajak bukan mengejek, merangkul bukan memukul, mendidik bukan menghardik, membina bukan menghina dan mampu menyikapi argumen dengan sentuhan. Itulah Kyai. Kemampuan memandang umat dengan penuh kasih sayang, menjadikan para kyai sangat fleksibel di masyarakat. Fleksibel di sini dalam arti keluwesan para kyai bisa kita jumpai dimana-mana.
Maka ada beberapa istilah:
Kyai Tandur– kyai yang mengasuh pondok pesantren dan ngopeni para santri, menanamkan ilmu dan budi pekerti dengan penuh kasih sayang dari lubuk hati.
Kyai Tutur– yaitu kyai yang pinter nutur-nutur/dakwah. Melalui lisannya, mereka berdakwah dari masjid ke masjid, dari podium ke podium, dari daerah ke daerah, di tengah masyarakat luas. Kyai ini disebut juga Mubaligh atau Dai.
Kyai Sembur-yaitu kyai yang bisa menyemburkan solusi-solusi bagi setiap permasalahan, sehingga menjadi rujukan bagi orang-orang yang berkonsultasi. Mungkin kalau di desa-desa, Kyai Sembur itu semacam kyai ahli suwuk atau ahli hikmah, tetapi mereka bukan dukun.
Kyai Catur-yaitu kyai yang terjun ke dunia percaturan politik. Mereka berpolitik bukan untuk mencari popularitas, akan tetapi semata-mata mengawal peraturan agar tetap senada dan seirama dengan kemaslahatan masyarakat.
Kyai Wuwur– yaitu kyai yang menjadi rujukan hukum oleh para kyai lainnya. Mereka adalah ahli fatwa, referensi hukum Islam yang berjalan dan pengayom umat.
Kemudian Ustadz Ali Azhar melantunkan syair, yang dikenal sebagai singiran. Singiran kebanyakan berisi tentang nasihat-nasihat keislaman yang dilagukan. Dan yang membuat saya tercengang, rupanya singiran yang dilagukan oleh Ustadz Ali Azhar berbahasa Sunda, seperti saya kutip di bawah ini:
Sila anu kalima # Keadilan sosial na
Rata ka miskin faqirna # Ngarasa subur makmur na
Rakyat hirup subur makmur # Ka Pangeran loba syukur
Sakabeh pemimpin jujur # Jauh tina lampah lajur
Jadi lamun Pancasila # Diamalken nyata-nyata
Nagara aman santosa # Jauh tina huru hara
Di nagara Pancasila # Agama Islam nu mulya
Hidup subur laluasa # Teu aya harunganana
Bebas teu aya batasna # Ngajalan keun syari’atna
Bebas da’wah jeung tabligna # Teu aya halangana
Lamun aya nu ngahalang # Kana kamajuan Islam
Peta kitu jelas terang # Anti Pancasila memang
Eta musuh Pancasila #Nu dicela ku nagara
Buku Kyaiku dan Hidupku merupakan sebuah memoir keteladanan berakhlak dan berilmu yang berisi himpunan tulisan 19 memoaris Indonesia. Rangkai demi rangkai pengalaman yang diukir dengan indah oleh masing-masing penulisnya membuat kita betah membaca buku ini. Para penulis mencoba memutar slide-slide kenangan bersama para kyai, ibu nyai, ustadz dan ustadzah mereka. Kita para santri memang harus memuliakan para kyai. Kenapa? Alasan indahnya teruntai dalam bait syair kitab Alala”
“Dene guru iku wong kang ngitik-itik nyowo. Dene nyowo iku den srupa ‘ke koyo suco”
Kyai adalah orangtua yang mendidik rohani kita, sedang rohani kita sangat berharga bagaikan mutiara.
Baginda Nabi Muhammad saw bersabda
“Orangtua ada tiga: Yang pertama, orangtua jasmani yakni yang mengandung, melahirkan dan mengasuhmu. Yang kedua, mertua yakni orangtua yang dengan ihklas menikahkan anaknya dengan dirimu. Dan yang ketiga adalah para guru/kyai yang mengajarkan ilmunya kepadamu. Itulah sebaik-baiknya orangtua.”
Maka, berbesar hatilah kita, semoga dengan diterbitkannya buku Kyaiku ini menjadi amal jariyah bagi kita sekaligus bukti kecintaan kita kepada para kyai. Karena termasuk bukti cinta adalah selalu ingat kepada orang yang dicintai. Kata cinta kepada para kyai artinya kita tidak akan pernah melupakan jasa-jasa nya dan rekam jejak kyai kita akan abadi di dalam buku ini.
Ustadz Ali Azkar melagukannya dengan jernih. Semoga setiap penulis yang menyumbangkan tulisan pada buku “Kyaiku dam Hidupku” mendapat berkah dari Allah swt. Aamin. (Tulisan dikutip dari bahan tausiah Ustadz Ali Azhar).
Selanjutnya diadakan diskusi dengan para memoaris, masing-masing penulis menceritakan prosesnya saat menulis, apa yang dirasakan saat melakukan proses menulis, dan latar belakang kenapa tulisan tersebut dipilih. Diskusi ini sangat menyenangkan, apalagi gus Badruz sebagai moderator sangat piawai mengarahkan diskusi menjadi ajang pembelajaran yang menarik. Apalagi bagi saya, yang bukan berasal dari kalangan pesantren, diskusi ini membuka wawasan saya untuk lebih mengenal pesantren. Tanggapan gus Badruz atas tulisan saya menyejukkan hati, karena sebetulnya tidak ada kata terlambat untuk belajar. Saya sungguh bersyukur dikaruniai usia yang memungkinkan saya untuk terus belajar memahami Islam.
Terimakasih Diomedia yang telah menyelenggarakan festival memoir dengan moderator dan pembicara yang bagus. Hasil diskusi malam ini sungguh meresap di hati.
Sebetulnya rencana reuni yang ke 50 tahun Ostilus sudah digadang-gadang sejak lama. Apa boleh buat covid-19 nya nggak pergi-pergi. Akibatnya teman-teman panitia mengagendakan reuni dilaksanakan melalui zoom. Mungkin ada yang bertanya-tanya, mengapa sih ada angka A678 ditambah +++ dan apa siapa Ostilus itu?
Tahun 70 an (entah lupa sampai kapan), Institut Pertanian Bogor (IPB) mempunyai 6 Fakultas, yang setiap Fakultas diberi kode huruf besar. A=Fakultas Pertanian, B=Fakultas Kedokteran Hewan, C=Fakultas Perikanan, D=Fakultas Peternakan, E=Fakultas Kehutanan, dan F=Fakultas Teknologi dan Mekanisasi Pertanian. Pada saat itu kuliah di IPB melalui program enam tahun dan sistem gugur. Sebelum melakukan penelitian yang serius di lapangan, kami harus melakukan penelitian pendahuluan, yang nanti harus diuji di seminar, apabila lulus baru dipersiapkan untuk penelitian yang sebenanrnya, yang memerlukan waktu setidaknya satu tahun. Maklum, saat itu lulusan IPB diharapkan menjadi peneliti atau dosen.
Angkatan A6 adalah mahasiswa yang masuk pada tahun 69, A7 masuk tahun 1970 dan A8 masuk tahun 1971. Angkatan 8 ini merupakan angkatan terakhir sistim 6 (enam) tahun, karena sejak angkatan 9 (masuk tahun 1972), IPB berganti dengan sistim 4 (empat) tahun karena tidak semua lulusan IPB bekerja di bidang pertanian dan sebagai peneliti. Akibat kuliah yang lama ini, apalagi kami sering harus menginap di kebun, melakukan penelitian, kami menjadi sangat akrab. Lama-lama keakraban A678 ini mengundang senior ikut bergabung, jadi akhirnya namanya ditambah dengan +++.
Awal 2021 ini, A 8 yang nama angkatan mapramnya Ostilus (Tepos, Centil, Rakus) merayakan ulang tahun ke-50 tahun. Biasanya perayaan ulang tahun dirayakan dengan meriah, bersama suami, istri serta anak cucu menantu, namun karena masih ada risiko virus, kami merayakan melalui zoom, yang ternyata tidak kalah hebohnya.
Senang sekali saat lebih dari 40 orang yang bisa bergabung, termasuk dua teman yang tinggal di Malaysia, dua teman yang tinggal di Amerika Serikat, kemudian dari berbagai kota di pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Ambon. Seru dan lucu melihat wajah teman-teman yang setelah sekian puluh tahun baru bertemu kembali. Setelah panitia mengabsen satu persatu anggota yang hadir, biar kita ingat lagi wajahnya sekarang seperti apa, kami memulai acara dengan menyanyikan lagu hymne IPB….rasanya terharu, sedih, dan bangga. Hymne yang telah menyatukan kami belajar, bercanda selama belajar di Bogor, terkenang saat praktikum bersama, kuliah lapangan, juga penelitian.
Kebetulan tanggal 14 Desember ini bertepatan dengan ulang tahun bunda Rini, senior kita yang saat masuk kuliah namanya masih Fakultas Pertanian UI, karena IPB baru lahir tahun 1963. Kami semua menyanyikan lagi ulang tahun untuk bunda Rini, semoga beliau sehat-sehat selalu. Bunda Rini selalu menyertai semua kegiatan A678, bahkan saat jalan-jalan ke kota tua di Bogor….kami menyusuri jalanan di kota tua Bogor ini, sambil sesekali istirahat untuk difoto, maklum kaki tidak kuat jika terus berjalan tanpa berhenti.
Foto-foto kenangan saat mapram, saat A678+++ jalan-jalan sungguh mengingatkan akan kenangan kami bersama. Juga tayangan foto-foto dari teman yang sudah mendahului kita, semoga semua mendapat tempat terbaik di sisi Nya. Acara reuni ini sekaligus merupakan lauching foto/album kenangan dari A678+++.
Sungguh kenangan yang tidak terlupakan, walaupun melalui zoom kami merasa dipersatukan, semoga tetap guyup rukun selamanya.
Sebagian pesertaKang Ayi Hamim Wigena memimpin doa bersamaFoto rame-rame, tim panitia siap dari Puslitbangnak, Jl. Pajajaran, Bogor.Ayoo kita senam 10 menit, bisa sambil duduk, biar semua sehat.Sebagian alumniMengiringi menyanyi Hymne IPB
Kali ini, diskusi yang diadakan pada hari Selasa malam, dengan moderator mbak Rias Nurdiana, yang telah menulis beberapa buku antologi. Menulis memoar merupakan “self healing“. Saya ikut bergabung agak terlambat, jadi akan saya tulis apa yang saya ikuti sejak bergabung.
Menjadi Pribadi Transformatif dan Inspiratif
Pada obrolan malam ini, mbak Rias Nurdiana memberikan kesempatan pada penulis untuk menceritakan proses menulisnya, bagaimana perasaannya setelah tulisan tersebut selesai, apakah ada rasa lega, rasa nyaman seperti telah mengeluarkan uneg-uneg. Tulisan tentu saja tidak semata-mata mengeluarkan uneg-uneg, namun dipilih bagian-bagian yang bisa memberikan inspirasi pada para pembaca, serta melonggarkan perasaan. Istilah anak bungsu saya, agar kepala kita tidak berat dan menjadi lebih enteng.
Mbak Min Adadiyah menulis tentang menjadi seorang ibu. Mbak Min menceritakan proses penulisannya, bagaimana awalnya dia gamang ketika harus bekerja di luar rumah, apakah tetap bisa dekat dengan keluarganya. Apakah bisa membagi waktu? Pada kenyataannya tidak ada yang perlu dikhawatirkan apalagi keluarga memberikan support.
Sedangkan bu Ninik menceritakan, bahwa kita harus sumeleh. Agar kita bisa membahagiakan orang lain, kita harus mencintai diri sendiri. Saat bekerja, bu Ninik merasa sangat sibuk di kantor, sehingga kurang memperhatikan keluarga. Setelah pensiun, ingin fokus pada keluarga, namun ternyata ditawari untuk bekerja kembali. Bu Ninik menyadari, tidak mungkin bisa memikirkan keduanya, karena jika telah bekerja harus fokus pada apa yang telah disetujuinya. Pada akhirnya, bu Ninik memilih untuk mengundurkan diri.
Namun, dalam perjalanannya, bu Ninik sangat sibuk memikirkan keluarga sehingga merasa terabaikan. Merasa ada yang kurang. Kemudian ikut grup sumeleh, di sini diajarkan, perlu mencintai/menyayangi diri sendiri, agar bisa mencintai dan menyayangi orang lain. Mas Diyo menambahkan…..jangan seperti lilin yang meleleh, namun seperti pembawa obor, yang harus kuat membawa obor untuk menerangi sekitarnya.
Bu Nova menceritakan hal yang menarik bagaimana awalnya belajar membaca Al Qur’an. Awalnya merasa sulit dan tidak bisa membayangkan, bisa membaca tulisan huruf Arab. Kebetulan ada guru muda yang baru bergabung ke Bapekis di perusahaan, menawari untuk mengajar mengaji. Awalnya agak ogah-ogah an, namun kemudian terketuk hatinya. Yang sulit adalah mencari partner, teman yang mau belajar mengaji dari awal. Akhirnya ketemu dengan seniornya, guru mengaji menyatakan, kalau ingin bisa membaca Al Qur’an harus belajar mengaji setiap hari. Sejak itu setiap istirahat, bu Nova dan temannya cepat-cepat makan siang, kemudian belajar mengaji berdua dengan didampingi oleh guru ngaji.
Pada suatu saat, atasan bu Nova bertanya, apakah tidak ingin naik haji? Bu Nova yang merasa belum siap, mengatakan belum mampu. Setelah didesak atasannya, apa sebenarnya alasannya, akhirnya atasan ini bersedia membiayai untuk pergi haji. Hal ini membuat bu Nova semangat, agar bisa khatam Al Qur’an sebelum pergi haji.
Pak Iswandi atau akrab dipanggil IAC menceritakan kehebatan ibunya sebagai bunda kanduang. Masa kecilnya dilalui dengan sulit karena saat itu sedang ada perang saudara. Namun ibu IAC terus menyemangati agar tetap belajar dan bersekolah setinggi mungkin. Ayah IAC termasuk bangsawan. Bagi orang Payakumbuh, ada risiko punya suami bangsawan, karena banyak yang ingin menjadi istri bangsawan untuk meningkatkan derajatnya, walaupun menjadi istri kedua, ketiga maupun keempat. Adat di Payakumbuh, laki-laki bisa dilamar oleh pihak perempuan, atau istilahnya dijemput. Kehebatan ibu IAC adalah saat suami dijemput oleh keluarga perempuan, tetap bisa berdamai walau suaminya mempunyai istri empat. Hal yang akan sulit dilakukan oleh seorang perempuan secara umum jika suami mendua.
Mbak Clara Vee (nama samaran) menceritakan bagaimana dia mengatasi ketakutannya belajar menyopir. Bahkan suaminya trauma untuk menyopir karena pernah kecelakaan, sehingga kemana-mana diantar oleh sopir keluarga. Namun lama-lama Clara Vee berpikir, kalau terjadi keadaan darurat akan sulit jika harus memanggil sopir yang perlu waktu untuk datang ke rumah. Kondisi ini membuat Clara Fee memaksa dan menguatkan diri untuk belajar menyetir. Seru sekali mendengar kisahnya… perjalanan menyetir sendiri dilakukan saat kakeknya sakit, dan Clara Vee menyetir sendirian dari Depok ke rumahnya di Sumatra Barat. Kondisi mendesak lain adalah saat mendadak sopir tidak bisa datang saat ada acara di sekolah anaknya. Dengan nekat Clara Vee memberanikan diri menyetir dengan membawa teman dan anak-anak pergi pulang Jakarta-Bandung.
Diskusi malam ini berlangsung seru, beberapa peserta saling menanggapi. Kemudian pak Denny Micky Hidayat membacakan puisi…puisi ini baru ditulis sambil mendengarkan kami berdiskusi…betapa hebatnya. Pembacaan puisi ini diikuti mbak Surtini Hadi yang membacakan puisinya. Tidak semua penulis mendapat kesempatkan menceritakan proses menulisnya, karena waktu juga yang membatasi. Diskusi ini menambah ilmu bagi saya.
Pembahasan buku tentang “Titik Terendah dalam Hidupku” ini dipandu oleh mas Agus Yulian. Setelah memperkenalkan diri, mas Agus menceritakan kisahnya sendiri, bagaimana saat benar-benar berada di titik terendah dalam kehidupannya. Mas Agus saat itu bersama teman-temannya naik kendaraan menuju Pacitan. Acara selama di Pacitan berlangsung lancar, namun dalam perjalanan pulang mendapat kecelakaan, mobil yang ditumpangi 8 (delapan) orang terguling, beberapa kali berputar dan berhenti dengan kondisi terbalik. Saat itu sopir mencoba menghindari masuk jurang dengan membanting setir.
Mas Agus yang masih sadar, entah kenapa bisa membuka pintu mobil yang terbalik itu dan membangunkan teman-temannya agar segera keluar, khawatir mobil akan meledak. Saat itu, kepala mas Agus dalam kondisi berlumuran darah, sedang teman-teman lainnya tidak mendapatkan luka yang berarti, hanya sopir yang kakinya keseleo. Melihat luka yang parah tersebut, mas Agus segera dibawa ke rumah sakit, namun sayang rumah sakit terdekat tidak bisa menanggulangi luka yang berat tersebut, sehingga mas Agus kemudian dibawa dengan ambulance ke RS di Wonogori. Perjalanan yang sangat berat, mas Agus terus berzikir dan tidak berani memejamkan mata, berusaha untuk tetap sadar. Dokter yang menemani di ambulance, berkata… “Sudah pak, tolong dihemat tenaganya agar tetap sadar saat sampai di RS Wonogiri.”
Susunan acara Festival Memoar dari Diomedia
Setelah dirawat di Rumah Sakit, dengan hanya ditunggu ibu yang sepuh, akhirnya diusahakan dirawat di rumah, dengan memanggil perawat. Di rumah, mas Agus dikunjungi teman-temannya, sayangnya justru orang yang sangat dihormati memberikan pernyataan yang membuat hati ibu mas Agus terpukul. Memang seharusnya, saat kita menengok orang sakit, harus hati-hati dalam berbicara. Gara-gara ini, mas Agus memutuskan untuk resign, padahal menjadi seorang Guru adalah impian yang dicita-citakan. Kondisi tubuh yang sakit memerlukan biaya perawatan yang mahal, jadi mas Agus mulai berusaha sambil berobat, di bidang perbukuan. Dengan berjualan buku…syukurlah justru rupanya di sini mas Agus mendapat hadiah karena merupakan penjual buku yang terbanyak. Keadaan ini mengubah kehidupan mas Agus, bahwa Tuhan akan selalu memberi jalan yang lebih baik bagi umatNya yang percaya.
Cerita selanjutnya oleh mbak RL, yang menceritakan bagaimana dia berjuang mengatasi depresi, pernah ingin bunuh diri dengan mengiris tangannya menggunakan beling. Syukurlah mbak RL mempunyai nenek, ibu dan teman-teman yang mendukung kesembuhannya. Oleh nenek sempat dibawa ke Rumah Sakit karena sempat teriak-teriak. Depresi ini menurut diagnosa dokter menjurus ke schizophrenia, akibat tekanan dan kesedihan yang sangat berat. Mbak RL sudah dilamar setelah pacaran 8 (delapan) tahun, namun menjelang pernikahan, menemukan sang calon suami berselingkuh.
Saat akhirnya sehat dan menikah, mbak RL pernah diajak suami tinggal di luar Jawa. Kehidupan pasangan muda, rumah tangga yang baru, biasanya mempunyai keterbatasan dalam finansial. Mbak RL yang lulusan S1 sempat merasa sedih, karena harus menambah pendapatan dengan mencuci piring di warung. Saat ini mbak RL telah mempunyai putra yang lucu, yang sesekali mengganggu mama saat diskusi dengan kami. Syukurlah mbak RL bisa mengatasi persoalannya, bisa mengatur kembali hidupnya dan bisa berbahagia menjadi seorang ibu.
Mbak Ning (nama singkatan) menceritakan titik nadir hidupnya dengan berkaca-kaca. Saya membayangkan betapa berat cobaan yang dihadapi mbak Ning. Namun mbak Ning bisa bangkit kembali karena mengingat ada 2 (dua) amanah yang harus dijaga, yaitu kedua putrinya. Hal inilah yang mengingatkan mbak Ning agar tidak terjatuh dalam kedukaan yang panjang. Saat ini mbak Ning telah menulis buku antologi dan buku tunggal (?), ternyata menulis memoar bisa menyembuhkan luka hati, serta siap berjuang menatap masa depan.
Selanjutnya mas Agus Yulian, sebagai moderator, mengatur jalannya diskusi. Pak IAC, yang merupakan sahabat saya saat kuliah, bercerita tentang pengalamannya, dan berpesan bahwa jangan pernah merasa malu bekerja kasar. Saat IAC kuliah di luar negeri, setelah lulus master degree, oleh Profesor disarankan melanjutkan program S3. Saat itu belum ada bea siswa karena sedang diusulkan, IAC bekerja serabutan apa saja, mencuci piring di restoran, mengupas kentang berpuluh kilogram di restoran cepat saja, dan mengerjakan apapun. Jadi pesannya, “jangan malu bekerja kasar, bahkan jika kita punya gelar tinggi, yang harus merasa malu jika meminta pada teman (alias mengemis).
Cerita ini disambung Bu NC (teman saya juga) yang bercerita saat mendapat beasiswa melanjutkan master degree ke luar negeri, yang mendapat beasiswa hanya bu NC. Namun bu NC mengajak suami, dan suami tentu saja harus juga melanjutkan kuliah S2. Biaya dari mana? Tentu saja, dengan membersihkan rumah orang lain, mencuci piring di restoran, segala pekerjaan yang penting halal dan bisa untuk membayar uang kuliah. Bu NC sendiri bekerja di rentoran milik orang Iran. Jadi prinsipnya, kita harus terus berjuang, lupakan ego dan rasa malu.
Setelah diskusi panjang lebar, pak MBS nyeletuk…”Ini kayaknya cerita sedih ya. Tapi seperti kata temanku, kalau kita puasa ya harus kuat, supaya kita nanti bisa Lebaran, makan sepuasnya. Jika bunuh diri, kan tidak sampai menikmati Lebaran.” Saya juga nyeletuk, syukurlah cerita di buku ini pada akhirnya happy ending. Jika tidak happy ending, atau sepanjang tulisan sedih terus, biasanya saya tidak akan melanjutkan membaca, karena membaca buat saya untuk menginspirasi dan menambah semangat.
Apa yang bisa kita petik dari diskusi ini? Bahwa kita semua pasti pernah mengalami titik nadir dalam kehidupan, namun kita harus berjuang dan berusaha untuk bisa mengatasi kesulitan tersebut. Jangan pernah kenal lelah.
Mas Ngadiyo, sebagai moderator, mengawali menjelaskan siapa Era Chori Christina. Era menulis sejak kecil, awalnya menulis di diary. Kemudian mulai menekuni menulis dengan serius saat mulai ikut berkompetisi menulis di platform menulis online di Hipwee. Ada beberapa artikel Era Chori yang terbit di platform Hipwee. Di platform ini juga ada kelas menulis tentang buku inspiratif.
Era Chori Christina, dengan bukunya “Seni berkompromi dalam Keterbatasan”.
Era Chori tetap menulis walau peralatannya sangat tidak memadai. Era menulis di sela-sela pekerjaannya sebagai penjaga toko. Oleh atasannya, Era diperbolehkan meminjam komputer jika telah selesai jam kerjanya, untuk menulis. Naskah pertama dan telah diterbitkan oleh Diomedia adalah buku tunggal dengan judul ” Seni Berkompromi dengan Keterbatasan”
Selanjutnya Era bercerita bagaimana dia dibesarkan oleh keluarganya. Ada kalimat Era Chori yang menarik untuk dikutip ” Kita tidak bisa memilih dilahirkan oleh siapa, dari keluarga broken home, yang harus berjuang keras sejak kecil. Bagaimana meraih impian dengan keterbatasan yang ada.” Belum lagi tentangan dari keluarga, hobi kok menulis? Apa bisa menjadi penghasilan? Era Chori sekolah sampai lulus SMA, karena tidak ada dana untuk melanjutkan kuliah. Era kemudian menjadi penjaga toko, di sela-sela kesibukannya ini, Era bisa meluangkan waktunya untuk menulis.
Kapan Era Chori produktif menulis? Era menjawab, “Saya produktif menulis saat awal-awal bergabung dengan Hipwee, pada tahun 2017 dan 2018. Sejak dipertemukan dengan mas Ngadiyo dari Diomedia, yang menawari Era Chori untuk menulis buku tunggal, Era makin semangat menulis. Akhirnya Era Chori bisa menerbitkan buku tunggal dengan judul “Seni Berkompromi dengan Keterbatasan.” Saat Era ditanya, bagaimana pendapat orang tuanya sekarang? Orang tua Era mengatakan, ” Ya nak, teruslah menulis”
Min A bertanya, kapan waktu Era Chori merasa nyaman untuk menulis? Era menjelaskan, dia selama ini dipercaya menjaga toko. Saat berangkat pagi-pagi, dan toko masih sepi, Era bisa membuat ringkasan tulisan di kertas atau di handphone. Baru setelah punya waktu, setelah pekerjaan usai, mulai diketik di komputer. Mas Ngadiyo menjelaskan, buku Era Chori dicetak pertama kali 100 buku, saat ini tinggal sisa 5 (lima) buku, yang dikembalikan dari Togamas. Diomedia berharap bisa mencetak kembali buku Era Chori ini tahun depan.
Dari diskusi dengan teman-teman lain, ternyata bahwa catatan yang kita tulis di buku kecil tetap penting, karena kita bisa menuliskannya sewaktu-waktu. Walau saat ini telah ada smartphone, masih banyak dari peserta diskusi ini yang masih rajin menulis catatan-catatan di kertas, sebelum nantinya dipindahkan ke komputer.
Apa yang bisa kita petik dari pelajaran ini? Bahwa keterbatasan tidak membuat perbedaan yang besar. Diperlukan kedisiplinan untuk meluangkan waktu, mengerjakan hal-hal yang positif. Bersyukur atasan Era mau meminjamkan komputer untuk digunakan Era menulis, setelah pekerjaan usai….ini merupakan hal yang patut disyukuri, mempunyai atasan yang baik.
Apa kesan-kesan Era? Tentu saja Era masih ingin terus menulis, dan semoga suatu ketika mimpinya bisa tercapai, buku-bukunya bisa diterbitkan oleh penerbit mayor.
Cerita ini terjadi tiga tahun lalu, pernah saya tulis di facebook.
Pagi ini dengan santai saya naik MRT dari stasiun Cipete Raya, karena petugas bilang perjalanan MRT normal sampai bundaran Hotel Indonesia (HI). Mendekati stasiun bundaran HI, Enny H., teman yang bekerja di BPPT posting di WAG menjawab pertanyaanku…”Thamrin jik ditutup”.
Turun di stasiun bundaran HI, saya langsung menghampiri petugas, yang menyarankan jalan kaki ke Sarinah, karena biasanya banyak taksi lewat belakang Sarinah. Sampai sepuluh taksi lewat selalu ada penumpang, begitu pula dengan bajaj. Saya mulai jalan lagi, siapa tahu di jl. Sabang dekat Foto “Djakarta” ada bajaj lewat.
Tidak lama ada taksi lewat, penumpangnya seorang ibu membuka jendela, memanggil saya. ” Naik sini bu, sebentar lagi saya sampai kok”. Alhamdulillah…rupanya kantor ibu itu di jl Sabang….
Pak sopir bilang, .. “Bu nanti ada kemungkinan jalannya muter-muter ya.”
“Nggak apa-apa pak,” jawab saya.
Dari stasiun Gambir ternyata jalan Merdeka Utara dibuka, kami muter lewat depan gedung Mahkamah Agung terus belok ke jl. Veteran 1. Ternyata di ujung jl Veteran 1 yang menuju jl. Veteran, ditutup kawat berduri. Saya pikir pejalan kaki bisa lewat….ternyata nggak bisa.
Saya melihat ke halaman hotel Sriwijaya, siapa tahu ada jalan butulan….ternyata nggak ada. Duhh masak harus muter lagi….Kira-kira sepuluh meter di depan ada mobil berhenti, ada dua orang TNI AD turun. Saya langsung mendekat. “Pak, bapak kantornya di jl Veteran ya?”. “Iya bu, ada apa?” “Saya mau ikut pak, bapak lewat mana jalannya ditutup kawat berduri.” ” Itu ada jembatan bu, tapi licin, harus hati-hati.” “Saya ikut bapak ya”
Kawat berduri di ujung jalan Veteran 1 samping hotel SriwijayaKawat berduri di ujung jalan Veteran 2Kawat berduri di antara RM Minang Siang Malam dan Kantor Cabang BRI Veteran
Jadilah saya jalan bareng pak Didi (asli Cirebon) dan pak Baperim (dari Palembang). Pak Baperim pegang tangan saya, memandu melewati jembatan dari tiga pipa yg licin, dan pak Didi di belakang saya. Sampai di ujung jembatan ada mbak2 nanya, kalau nyebrang jembatan itu, apa bisa sampai ke Monas. ” Bisa mbak, tapi hati-hati ya karena licin.”
Saya berjalan ke tempat kerja sambil ngobrol dengan pak Didi dan pak Baperim. Kami berpisah, di depan kantor pak Didi. Setelah mengucapkan terima kasih saya melanjutkan jalan ke arah Gedung Dana Pensiun BRI….dan diujung jalan dipasang kawat berduri. Jadi saya masuk dulu ke kantor cabang BRI Veteran, baru bisa ke arah Dana Pensiun BRI.
Alhamdulillah…lega sekali….untuk pulangnya pak Didi n pak Baperim menyarankan naik KRL saja agar lebih nyaman. Si sulung menyarankan untuk turun di stasiun Kalibata, karena biasanya di depan stasiun ada taksi Blue Bird.
Pulang dari kantor saya naik KRL menuju stasiun Kalibata. Menunggu taksi di depan Mal Kalibata lumayan lama, dan perjalanan ke rumah 3 (tiga) jam…duhh sudah sampai Bandung ini. Mungkin imbas beberapa jalan ditutup, jadi macet dimana-mana. Pembelajarannya, hidup di Jakarta harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.
Hari Senin tanggal 9 Oktober 2023 merupakan hari libur nasional bagi Jepang. Hari ini Hiro berniat mengajak saya, suami dan Narpati jalan-jalan ke Hamamatsu. Hiro sudah memesan mobil dengan kapasitas 6 orang, karena kendaraan yang dimiliki Hiro dan Narpen kapasitasnya 4 (empat) orang dan satu kursi telah dipenuhi dengan child car seat untuk Bams, sehingga praktis hanya bisa ditambah 3 (tiga) orang. Kami pernah mencoba dipenuhi 5 (lima) orang, dan sangat tidak nyaman, tidak masalah jika hanya jarak dekat.
Hiro merencanakan untuk melihat rumah Sakichi Toyoda yang berlokasi di Kosai, sekitar 17 km dari Toyohashi, ke arah Hamamatsu. Namun melihat hujan mengguyur sejak malam, dan ramalan cuaca mendung dan cerah saat sore hari, membuat Hiro ingin membatalkan menyewa mobil. Namun Narpen mengatakan tidak usah dibatalkan, kita melihat kondisi saja, jika ternyata hujan ya tidak perlu turun dari mobil.
Foto keluarga lengkap sebelum berangkat ke Kosai
Ternyata pekerjaan Narpati tidak dapat ditinggal, sehingga hanya 5 (lima) orang yang berangkat. Sebelum berangkat kami foto keluarga dulu di depan rumah secara lengkap, khawatir tidak sempat lagi, karena besok saya dan suami serta Narpati sudah harus menuju Tokyo, kemudian besoknya kembali ke Indonesia.
Perjalanan sangat menyenangkan, diiringi hujan gerimis. Pemandangan di kiri kanan jalan sangat indah, serasa masih di daerah pedesaan. Sampai di depan rumah Sakichi Toyoda, saya benar-benar terpesona melihat pemandangan indah di sekitar rumah Sakichi Toyoda. Di depan rumah terbentang sawah yang luas dengan padi menguning, suasananya benar-benar seperti di pedesaan. Rumah Sakichi Toyoda dipenuhi pohon-pohon besar sekelilingnya, bahkan di belakang rumah berupa hutan. Nantinya saat melihat video perjalanan hidup Sakichi Toyoda, ternyata di hutan yang terhubung dengan laut di belakang rumah ini, tempat Sakichi merenung untuk mendapatkan inspirasi.
Di jalan depan rumah Sakichi ToyodaGerbang pagar masuk rumah Sakichi Toyoda
Sakichi Toyoda, pendiri Toyota Industries Corporation, lahir pada tahun 1867 di Yamaguchi-mura, Fuchi-no-kori, Totomi-no-kuni (sekarang Kota Kosai, Prefektur Shizuoka). Dia adalah putra pertama Ikichi dan Ei Toyoda. Ikichi adalah seorang petani yang juga bekerja sebagai tukang kayu untuk menghidupi keluarganya. Dia adalah seorang tukang kayu berketerampilan tinggi yang diandalkan banyak orang.
Di depan rumah tempat lahir Sakichi Toyoda
Sakichi lulus Sekolah Dasar dan mulai bekerja sebagai asisten ayahnya di bidang pertukangan kayu. Kelahiran dan pendidikan awal Sakichi bertepatan dengan periode dalam sejarah Jepang ketika keshogunan digantikan oleh pemerintahan baru di bawah Kaisar Meiji. Periode ini umumnya dianggap sebagai awal mula Jepang modern. Di tengah gejolak sosial, seluruh desa tempat tinggal Sakichi dilanda kemiskinan. Sejak usia 14 atau 15 tahun, Sakichi mulai memikirkan cara agar ia bisa berguna bagi orang-orang di sekitarnya dan mengabdi pada negaranya. Sakichi juga ingin membantu ibunya, karena melihat ibunya bekerja keras menenun namun penghasilannya rendah.
Bengkel tempat Sakichi melakukan berbagai uji cobaRumah dengan hutan di belakangnyaRumah Sakichi Toyoda
Pada hari-hari ketika tidak ada pertukangan kayu, Sakichi rajin membaca koran dan majalah. Dia mengumpulkan pemuda setempat dalam kelompok belajar malam yang mempromosikan pembelajaran mandiri. Namun, dia belum dapat menemukan cara untuk berkontribusi kepada masyarakat. Sakichi berusia 18 tahun pada tahun 1885. Dia mengetahui tentang Undang-Undang Monopoli Paten yang baru diberlakukan. Hal ini dipelajari Sakichi dengan cermat, membuatnya yakin apa yang akan dilakukannya untuk masa depan.
Saat itu juga, Sakichi berusaha keras untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sakichi sering merenung, jalan-jalan di hutan belakang rumahnya untuk menemukan inspirasi. Di video yang saya tonton, di hutan di belakang rumahnya yang dekat dengan laut, diperlihatkan Sakichi merenung sambil melihat laut.
Mesin tenunMesin tenunMesin tenun penemuan Sakichi
“Peradaban Barat didasarkan pada mesin. Mesin digerakkan oleh uap, membutuhkan batu bara yang mahal. Beberapa metode harus dibuat untuk menggantikan uap sebagai tenaga penggeraknya,” pikir Sakichi.
Dengan menggunakan metode trial and error, Sakichi mulai bereksperimen dengan berbagai sumber energi permanen dan tidak terbatas. Sakichi terus berpikir, kesulitan ibunya dalam menenun menginspirasinya. Sakichi berpikir jika dia bisa menemukan cara untuk meningkatkan efisiensi alat tenun tangan, akan bermanfaat bagi ibunya dan banyak orang. Sakichi mulai bekerja di gudang, percobaannya mengakibatkan kerusakan sejumlah alat tenun. Beberapa orang mulai menganggapnya aneh. Tenggelam dalam usahanya, Sakichi tidak merasa terganggu sama sekali.
Pada tahun 1890, Sakichi melakukan perjalanan ke Ueno di Tokyo untuk mengunjungi Pameran Mesin Nasional Ketiga. Banyak mesin baru buatan Jepang dan luar negeri yang dipamerkan. Sakichi sangat terkesan, sehingga menghabiskan setiap hari selama sebulan berikutnya untuk mengunjungi pameran, bertekad untuk memahami cara kerja masing-masing mesin.
Pada musim gugur tahun yang sama, penemuan sukses pertama Sakichi tercapai. Alat ini dikenal sebagai alat tenun tangan kayu Toyoda. Sakichi menerima paten pertamanya untuk alat tenun itu pada tahun 1891. Saat itu Sakichi berumur 24 tahun. Berbeda dengan alat tenun sebelumnya, alat tenun tangan kayu Toyoda hanya memerlukan satu tangan untuk mengoperasikannya, bukan dua tangan. Hal ini menghilangkan ketidakrataan pada kain tenun sehingga meningkatkan kualitas. Kondisi ini meningkatkan efisiensi sebesar 40 hingga 50 persen. Namun alat tenun tersebut masih menggunakan tenaga manual. Hal ini membatasi peningkatan lebih lanjut dalam kecepatan dan efisiensi secara keseluruhan. Jadi Sakichi mengalihkan perhatiannya pada penemuan alat tenun listrik.
Pada tahun 1892, Sakichi memulai membangun sebuah pabrik kecil di Distrik Taito Tokyo yang menggunakan beberapa alat tenun kayu Toyoda yang ditemukan oleh Sakichi. Sakichi melakukan ini karena ingin kemandirian finansial untuk mengejar berbagai penemuannya dengan lebih baik. Sakichi membutuhkan dana untuk mendukung usahanya. Sakichi juga berpikir bahwa akan lebih meyakinkan hasil penemuannya kepada pelanggan, jika telah menggunakannya sendiri dan memastikan kualitasnya unggul.
Kain yang diproduksi oleh pabrik Sakichi didistribusikan ke pedagang grosir dan memiliki kualitas yang baik. Sakichi mengelola usahanya sambil melanjutkan upaya penemuan. Sayangnya pabrik tersebut tidak berjalan dengan baik dan harus ditutup setelah satu tahun beroperasi. Sakichi kembali ke kampung halamannya. Segera setelah itu, Sakichi pergi mengunjungi seorang paman yang tinggal di kota Toyohashi, di Prefektur Aichi. Sakichi memutuskan untuk tinggal di rumah pamannya dan melanjutkan usaha mengembangkan alat tenun listrik. Untuk menyediakan dana bagi usahanya, Sakichi menemukan mesin penggulung Toyoda yang sangat efisien pada tahun 1894. Ini merupakan perkembangan yang sangat penting.
Untuk mempromosikan pembuatan dan penjualan mesin barunya, Sakichi segera mendirikan Ito Shoten Co., agen Toyoda, di Nagoya. Perusahaan ini kemudian menjadi Toyoda Shoten Co. dan kemudian Toyoda Shokai Co. Setelah penjualan mesin penggulung berjalan sesuai rencana, Sakichi mengalihkan perhatiannya untuk menciptakan alat tenun listrik. Pada tahun 1896, alat tenun listrik Toyoda, alat tenun listrik pertama di Jepang yang terbuat dari baja dan kayu, disempurnakan. Gerakan menumpahkan, memetik, dan memukul-mukul semuanya bertenaga uap. Itu juga dilengkapi dengan mekanisme penghentian otomatis pakan. Mesin ini relatif murah dan sangat meningkatkan produktivitas dan kualitas.
Orang pertama yang menyadari kinerja luar biasa dari alat tenun baru ini adalah pelanggan Toyoda Shoten Co. bernama Tohachi Ishikawa. Ia mengusulkan membuka usaha tenun. Dia dan Sakichi segera menjadi mitra. Mereka mendirikan Okkawa Mempu Co. di kota Handa, Prefektur Aichi. Kain katun berkualitas tinggi yang ditenun dengan alat tenun baru mendapatkan reputasi keunggulannya. Sakichi tidak hanya menggunakan mesin uap tetapi juga motor oli sebagai sumber tenaga untuk alat tenunnya.
Alat tenun tersebut segera menarik perhatian Mitsui Bussan (saat ini Mitsui & Co., Ltd.). Pada tahun 1899, mereka mengusulkan untuk mendirikan perusahaan manufaktur alat tenun. Igeta Shokai Co. didirikan, dengan Sakichi mengawasi produksi alat tenun listrik sebagai chief engineer dan sepenuhnya mengabdikan upayanya untuk penemuan lebih lanjut. Namun, kondisi perekonomian yang buruk, perusahaan mengalami masa-masa sulit, membuat pengembangan lebih lanjut semakin sulit. Sakichi akhirnya meninggalkan perusahaan dan membuka Toyoda Shokai Co. yang dikelola secara independen, di mana dia mendedikasikan dirinya pada penemuan dan penelitian.
Sakichi melanjutkan upayanya untuk meningkatkan mesinnya. Alat tenun menggunakan gelendong untuk menahan benang pakan. Ketika benang pakan habis, alat tenun listrik harus dihentikan untuk mengisinya kembali. Jelas sekali bahwa waktu berhenti ini sangat menurunkan efisiensi operasional. Sakichi menjadi fokus pada tugas menciptakan perangkat yang secara otomatis dapat menggantikan kok ketika pakan habis.
Pada tahun 1905, Sakichi menemukan alat tenun listrik Toyota, tipe 1905, yang dilengkapi dengan mekanisme pelepasan lengkungan yang lebih baik. Alat tenun tersebut juga memiliki struktur yang kokoh, terbuat dari kayu dan baja. Ini diikuti pada tahun 1906 oleh versi perbaikan yang disebut alat tenun listrik Toyota, tipe 1906. Tipe 1906 sangat meningkatkan efisiensi dan kualitas kain.
Pada tahun 1906, Sakichi juga menyadari apa yang dianggapnya sebagai tujuan akhir adalah menemukan alat tenun otomatis, menciptakan alat tenun melingkar hemat energi yang dapat menenun kain melalui gerakan melingkar yang optimal. Hingga saat itu, alat tenun menggunakan gerakan timbal balik horizontal untuk menggerakkan pesawat yang membawa pakan dan tenun. Sebaliknya, alat tenun melingkar menggunakan gerakan melingkar untuk menggerakkan kok dan penyisipan serta pemukulan pakan dilakukan dengan tenang dan tanpa henti. Hal ini belum pernah dilakukan sebelumnya.
Sakichi menjalankan pabrik sebagai kepemilikan perseorangan selama satu tahun sebelum mengaturnya kembali menjadi Toyoda Boshoku Sho (Pemintalan dan Tenun Toyoda) pada tahun 1921. Di sana ia berkomitmen pada penelitian yang bertujuan menyelesaikan pengembangan alat tenun otomatis dan alat tenun melingkar.
Sakichi menyatakan, “Buka jendelanya. Ini adalah dunia yang besar di luar sana!” kepada orang-orang di sekitarnya yang khawatir, saat Sakichi melebarkan bisnis di Shanghai. Saat melakukan perjalanan bolak-balik antara Shanghai dan Nagoya, Sakichi bekerja dengan putranya Kiichiro Toyoda dan bawahannya untuk memperluas upaya menuju penyelesaian alat tenun otomatis. Menyadari kebutuhan akan fasilitas pengujian yang memasang sejumlah besar alat tenun otomatis, Sakichi membangun Toyoda Boshoku Kariya Shiken Kojo pada tahun 1923 di Kariya, Prefektur Aichi. Pada tahun 1924, setelah serangkaian paten penting dan penemuan baru serta saat melakukan uji coba komersial, alat tenun otomatis Toyoda yang dapat diubah ulang tanpa henti, Tipe G, selesai dibuat. Lebih dari 30 tahun telah berlalu sejak Sakichi muda bertekad mengabdikan hidupnya pada penemuan.
Mekanisme penggantian antar-jemput otomatis yang dipasang pada alat tenun ini memungkinkan penggantian antar-jemput otomatis dan memasok benang pakan tanpa kehilangan kecepatan selama pengoperasian kecepatan tinggi. Fitur-fitur lain termasuk panduan shuttle-change, break auto-stop, warp break auto-stop dan perangkat lain untuk menyediakan otomatisasi, perlindungan, kesehatan dan keselamatan. Alat tenun ini memberikan kinerja teratas dunia dalam hal produktivitas dan kualitas tekstil. Seorang insinyur dari Platt Brothers & Co., Ltd. Inggris, salah satu produsen mesin tekstil terkemuka di dunia pada saat itu, dengan kagum menyebut alat tenun ini sebagai “alat tenun ajaib”.
Namun, penemuan dan kesempurnaan alat tenun otomatisnya tidak mengurangi hasrat Sakichi untuk terus melakukan penemuan, karena penyelesaian alat tenun melingkar terus menjadi pengejaran seumur hidupnya. Menyusul keberhasilan pengembangan alat tenun otomatis, pada 17 November 1926, pertemuan penggabungan Toyoda Automatic Loom Works, Ltd. (sekarang Toyota Industries Corporation) diadakan di kantor pusat Toyoda Boshoku di Kota Nagoya. Pendirian Toyoda Automatic Loom Works secara resmi didaftarkan keesokan harinya pada tanggal 18 November. Risaburo Toyoda, menantu Sakichi, diangkat menjadi Presiden. sedangkan Kiichiro Toyoda adalah Direktur Pelaksana.
Seperti yang diceritakan dalam Toyoda Automatic Loom Loom Works, di samping pembuatan dan pemasaran mesin pemintalan dan tenun, tujuan utama perusahaan “harus mengejar penemuan dan penelitian terkait.” Ini adalah konsep yang belum pernah terjadi sebelumnya yang berasal dari pengalaman Sakichi.
Alat tenun otomatis Tipe G segera menjadi terkenal tidak hanya di Jepang tetapi juga di dunia. Memfokuskan perhatiannya pada keunggulan alat tenun otomatis Tipe G, Platt Brothers & Co., Ltd., produsen mesin tekstil terkemuka dunia yang berbasis di Inggris, mengusulkan pengalihan hak paten. Pada tahun 1929, Toyoda Automatic Loom Works menyelesaikan perjanjian pengalihan hak paten dengan Platt Brothers yang memberikan hak produksi dan pemasaran alat tenun otomatis Tipe G di negara-negara kecuali Jepang, Tiongkok, dan Amerika Serikat. Pengakuan dunia atas penemuan Jepang dan permintaan pengalihan hak paten dari perusahaan asing merupakan peristiwa yang benar-benar penting dalam sejarah teknologi Jepang dan menanamkan kepercayaan pada banyak orang Jepang.
Patung Sakichi di depan rumah
==========================
Dalam video diceritakan, Sakichi Toyoda tidak pernah berhenti menemukan sesuatu. Sakichi dikenal sebagai “Raja Penemu Jepang”
” Saya mendedikasikan sebagian besar dari hidup saya untuk menciptakan berbagai jenis alat tenun baru. Kamu harus berusaha untuk menyelesaikan sesuatu yang bermanfaat bagi masyatakat,” kata Sakichi Toyoda.
Kreativitas Sakichi terus berlanjut yang kemudian mendirikan Toyota Group, yang lebih besar dari penemuan mesin tenun. Menurut Sakichi, setiap orang harus menangani beberapa proyek besar setidaknya satu kali dalam hidupnya.
Pemandangan sawah di depan rumah Sakichi
Saya sempat melihat dan mendengarkan dua video….menarik sekali melihat bagaimana cara kerja Sakichi. Sayang waktu juga yang membuat saya harus beranjak, karena masih ingin melanjutkan perjalanan, melihat museum yang lain.
Sumber Bacaan:
Melihat dan mendengarkan video perjalanan Sakichi Toyoda di Sakichi Toyoda Memorial House.
Dalam perjalanan menengok Bams di Toyohashi, jika di luar rumah, restoran yang dipilih adalah yang menyediakan masakan ikan. Hal ini agar suami bisa ikut makan karena tidak makan daging. Setiap hari saya menyediakan kacang merah rebus untuk suami sebagai pengganti nasi, sayuran dan ikan, yang ditaruh dalam kotak bekal makanan. Di Toyohashi bertebaran ikan berbagai jenis yang telah matang di supermarket. Sampai di rumah tinggal dihangatkan. Sedia kacang rebus ini, untuk jaga-jaga jika di perjalanan tidak menemukan restoran yang sesuai.
Hamasei RestaurantParkir luas
Setelah melihat rumah tempat lahir Sakichi Toyoda, kami menuju Hamamatsu, dan mampir ke “Hamasei restaurant”, yang lokasinya di pinggir jalan yang kami lewati. Restoran-nya besar dan pengunjungnya lumayan banyak, serta tempat parkirnya luas.
” Wahh berarti rasa masakannya lumayan nih,” batinku.
Saya, suami dan Narpen memesan ikan rebus. Hiro memesan masakan yang berbeda, juga untuk Bams.
“Agak lama ya,” kata yang melayani kami.
Sambil menunggu kami bercakap-cakap, masih terbawa pesona melihat rumah Sakichi Toyoda dan lingkungan sekitar yang asri. Juga perjalanan selanjutnya, yang di kiri kanan jalan dipenuhi pepohonan yang sebagian mulai menguning. Sungguh menyejukkan mata.
Hamasei Restaurant dilihat dari depanMakanan yang dipesan
Tidak lama makanan yang dipesan datang….dan rasanya sungguh lezat. Suami mengeluarkan bekalnya, kacang merah rebus sebagai pengganti nasi. Dan kami bisa menikmati masakan ikan rebus yang lezat.
Sejak pertama kali diajak Hiro makan ikan rebus tahun 2013, saat itu Narpen dan Hiro belum menikah, saya menjadi senang masakan ikan rebus. Rasa ikan yang masih terasa segar, diberi bumbu sederhana…membuat saya jatuh cinta. Mungkin yang bisa bersaing adalah masakan ikan bakar di Pondok Borneo, Samarinda.
Saya ingat pendapat teman saya, seorang blogger yang telah menerbitkan buku, mengatakan seperti ini.
” Menjadi penulis, yang paling penting adalah berani menerima kritik pembaca,” kata Daniel Mahendra . ” Menerbitkan buku, berbeda dengan menulis di blog, yang setiap kali dapat dikoreksi,” kata kak Retty N. Hakim
Ya, buku saya prosesnya lama, menulisnya sekitar 3 (tiga) bulan, tapi merenungnya lama. Layak kah buku ini? Sulit untuk menebak apakah tulisan saya bermanfaat bagi pembaca. Belajar dari saat menulis di blog, justru tulisan yang awalnya saya ragu-ragu, banyak yang yang memberi komentar dan ‘like’. Meski blog saya saat ini tidur panjang, tulisan dengan tag manajemen, keuangan, pendidikan dan motivasi lumayan masih ada pengunjungnya, walau tidak meninggalkan jejak.
Hal yang membuat saya yakin, paling tidak tulisanku ada manfaatnya bagi pembaca, terutama bagi staf pemula yang bekerja di bank, teman-teman anakku yang tertarik belajar manajemen dan keuangan…dan hukum. Narpati yang mendorong saya untuk berani terus maju, setelah selesai membaca draf buku saya. Karena kesibukannya, Narpati hanya melakukan koreksi secara garis besar. Justru bungsuku Narpen, yang sebetulnya sangat sibuk karena punya anak balita, bekerja dan tanpa ART, berusaha menyediakan waktu sempitnya untuk membaca. Diskusi kami ber bulan-bulan…Narpen hanya sempat diskusi lewat WA saat jam istirahat kantor. Kadang diskusi bisa ber jam-jam di saat dia bisa curi-curi waktu saat Bams asyik main sendiri atau diajak papa.
Dari diskusi ini saya mencoba memahami sudut pandang pembaca. Jika sulungku sudah tertarik dengan bidang hukum dan keuangan, dan punya pengalaman di bidang jasa konsultasi dengan klien bank, berbeda dengan bungsuku yang pemahamannya tentang keuangan dan perbankan sangat sedikit. Justru ini yang menarik…saya serasa kembali seperti mengajar staf MDP ( Management Development Program) bertahun yang lalu. Dan diskusi buku ini semakin mempererat hubunganku dengan si bungsu yang tinggal jauh di negeri matahari terbit.
Saya makin pede setelah para reviewer memberi komentar yang bagus, yang bahkan tidak pernah terbayangkan olehku bahwa buku saya diapresiasi sebagus ini. Terimakasih ya pak Nur Budi, pak Andry Brew, pak Zulfikar Yurnaidi dan mas Wolfgang Jalma …yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca dari awal dan memberikan testimoni. Saya menjadi semakin berani melangkah.
Di bawah ini tulisan dari reviewer yang telah membaca buku saya. Buku ini secara lugas dan sistematis bercerita perjuangan Nana, seorang perempuan yang menekuni dunia perbankan dari bawah hingga mencapai posisi manajerial dalam salah satu bank milik pemerintah. Tantangan demi tantangan dapat diselesaikan dengan baik oleh Nana dengan ketekunan, keuletan, dan kemauan untuk belajar. Disini pembaca dapat memetik satu hikmah bahwa grit (passion & perseverance) merupakan faktor kunci untuk berhasil di bidang apapun yang diinginkan. Selain itu, dinamika perubahan mekanisme dan prosedur yang dialami oleh bank baik di masa tenang maupun masa krisis, dengan apik diceritakan di dalam buku. —Dr. Eng. Nur Budi Mulyono, Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen, Institut Teknologi Bandung
Buku ini sangat bagus, terutama dalam pengenalan seluk beluk pekerjaan banker. Saya baru tahu sedetail itu, harus menguasai banyak proses bisnis dan cash flow. Cerita yang dibalut dengan pengalaman pribadi (otobiografi), menjadi sangat menarik buat pembaca karena bisa mengetahui perjuangan (cerita) dari awal. Banyak contoh kasus yang diberikan menunjukkan pengalaman penulis yang matang dengan berbagai macam kondisi lapangan. Semua bagian seru. Saya enjoy bagian Nana sebagai analis kredit yang berarti butuh memahami berbagai macam bisnis model sehingga bisa menilai kelayakan debitur. —Dr. Andry Alamsyah, Associate Professor, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Telkom University
Disajikan secara unik, buku ini membawa kita menyelami dunia perbankan dari kacamata Nana. Kita dibawa menemani perjuangan Nana sejak awal karier, mengenal beragam istilah hingga sejarah perbankan, hingga memahami pentingnya kepemimpinan dan manajemen, baik risiko maupun sumber daya manusia. A must read untuk mereka yang ingin atau tengah berkarier di dunia perbankan, namun banyak insights menarik juga untuk pelaku usaha, maupun pembaca umum seperti saya. —Dr.Zulfikar Yurnaidi, ASEAN Centre for Energy
Meskipun buku ini mungkin ditujukan bagi para banker/orang yang memiliki aspirasi untuk menjadi banker, buku ini berharga bagi semua orang. Betapa tidak, penulis yang telah memiliki pengalaman 29 tahun bekerja di Bank BUMN terbesar di Indonesia, berkenan untuk membagikan insightnya, tetapi dengan format yang menghibur. Bagi saya pribadi, membeli buku ini merupakan salah satu keputusan investasi terbaik yang pernah saya buat. —Wolfgang X.D. Jalma N., Radar Engineer di Taiwan
Semoga teman-teman yang telah membaca buku saya, dapat menikmati dan serasa ikut dalam perjalanan karier saya, merasakan kekhawatiran, dan kebahagiaan saya. Dan semoga anak-anak saya memahami dan memaafkan ibu yang sering meninggalkan mereka untuk bertugas.
Setelah melihat rumah tempat Sakichi Toyoda dilahirkan di Kosai, kami melanjutkan perjalanan menuju Hamamatsu. Pemandangan awal musim gugur sangat indah, di kiri kanan jalan pohon-pohon daunnya mulai menguning. Kota yang sangat bersih, kemudian kami melewati berbagai macam bangunan pabrik, rupanya Kosai merupakan daerah industri.
Setelah mampir makan siang di Hamasei Restaurant, kami melanjutkan perjalanan ke musium musik. Rasanya tidak tega melihat Hiro nyopir, menantuku ini baru pulang dua hari, setelah bistrip ke luar negeri. Tidak sempat istirahat, sampai rumah langsung bersih-bersih, dan belanja. Satu hari penuh di hari minggu, Hiro sibuk memasak untuk satu minggu, masakan kemudian disimpan di lemari es, sehingga setiap hari tinggal menghangatkan.
Hari Senin tgl. 9 Okt 23 Jepang libur, jadi Hiro berusaha menyenangkan bapak ibu mertua dengan mengajak jalan-jalan ke Hamamatsu. Tujuannya adalah melihat Sakichi Toyoda Memorial House dan Hamamatsu Museum of Musical Instrument.
Bersama suamiHamamatsu Museum of Musical Instrument
Kota Hamamatsu sebagai pusat industri ini dimulai pada tahun 1887 dengan berdirinya perusahaan organ buluh, Nippon Gakki, yang sekarang dikenal dengan nama Yamaha. Kawai menyusul pada tahun 1927 dan Roland pada tahun 2005. Industri lain memantapkan diri dengan cara yang sama, termasuk manufaktur sepeda motor dan mobil. Namun identitas Hamamatsu tetap melekat pada alat musik.
Kelompok musik dari Amerika
Hamamatsu kemudian dikenal sebagai City of Music. Pada tahun 1981, kota ini membangun “Hamamatsu Museum of Musical Instrument“. Museum Alat Musik Hamamatsu memiliki banyak koleksi instrumen dari seluruh dunia. Termasuk beragam gamelan dari Indonesia dan pilihan piano antik Eropa yang mengesankan. Roland muncul bersama raksasa alat musik Jepang lainnya dengan synthesizer langka, mesin drum, dan karya lainnya.
Musium musik ini menampung sekitar 1300 instrumen dari seluruh dunia yang dipajang di pameran terpisah yang mewakili Asia, Oseania, Afrika, Amerika, Eropa, dan Jepang. Sejumlah alat musik dan atribut budaya asal Indonesia juga turut ditampilkan dari sini, antara lain Gamelan dan Topeng Bali.
Tentu saja, selain melihat wujud visual dari setiap alat musik, pengunjung dapat menikmati suara setiap instrumen melalui speaker yang tersedia di setiap stand. Pada sejumlah stand juga terdapat monitor yang menampilkan video bagaimana setiap instrumen tersebut dimainkan. Jika beruntung, pada waktu-waktu tertentu dapat ditemui demonstrasi langsung dari alat musik yang ada oleh staf museum tersebut. Menyaksikan pertunjukan secara langsung tentu memberikan pengalaman yang berbeda dari mendengar audio atau melihat video yang disediakan pada tiap stand.
Saya tertarik instrumen musik dari Afrika…betapa sebetulnya setiap bangsa mengekspresikan budayanya melalui musik. Sayang sampai di sini sudah sore, sehingga kami tidak dapat mengeksplore musium ini secara maksimal. Sungguh sayang sekali, semoga suatu ketika punya kesempatan untuk kembali ke sini.
Depan musium musik…Bams sudah capek difotoSiap pulang …kota Hamamatsu yang bersih dan indah
Terima kasih Hiro yang bersedia mengantar bapak ibu ke sini…walau saya tahu, Hiro lelah sekali. Pulangnya kami berhenti sebentar di pinggir danau Hamanako, terlihat tori berwarna merah berada di tengah danau. Hiro membeli kopi di minimarket untuk mengurangi kantuk.
Daun mulai berubah warna di awal musim gugurKota Hamamatsu….letak musium musik 10 menit jalan kaki dari Stasiun JR Hamamatsu
Kami melanjutkan perjalanan melewati rumah kuno era Tokugawa, yang pernah dijadikan stasiun, konon dulunya digunakan untuk menerima pembayaran dari orang-orang yang melewati jalan tersebut. Sayang sudah sore dan hujan deras, sehingga kami hanya dapat melihat dari jendela mobil.
Sepanjang perjalanan kembali ke Toyohashi diiringi dengan hujan deras, syukurlah saat di musium musik cerah, sehingga kami dapat mengambil beberapa foto dengan nyaman.
Pada akhirnya saya, suami dan Narpati harus kembali ke Indonesia. Lega melihat anak menantu dan cucu terlihat hidup bahagia, dengan Bams yang kawai. Sebelumnya Narpati mendapat tugas mempelajari rute kereta api dari Toyohashi ke Tokyo, dan rute yang menuju ke Haneda Excel Hotel Tokyu. Jika saat pertama kali kami mengambil jalur dari Haneda Int’l Airport ke stasiun Tokyo, kemudian naik shinkansen ke Toyohashi, kali ini ingin mengambil jalur berbeda. Saya dan Narpati juga mempelajari, dimana letak Kuroneko Yamato, tempat kami akan mengambil koper di Haneda airport terminal 3.
Lokasi Kuroneko Yamato persis di tempat jalur check in pesawat ANA dan JALFoto depan rumah: ayah, si bungsu, ibu dan si sulung
Setelah diskusi bersama Narpen dan Narpati, kami sepakat mengambil jalur shinkansen dari Toyohashi ke Shinagawa station, satu stasiun sebelum stasiun Tokyo. Dari stasiun Shinagawa, kami berencana naik kereta Keikyu menuju Haneda terminal 3, dilanjutkan dengan naik free suttle bus ke terminal 2, lokasi dimana hotel tempat kami akan menginap berada.
” Siap-siap berpetualang ya bapak ibu, ada risiko nyasar. Tapi semoga tidak, ” kata Narpati.
Setelah Narpen pulang dari mengantar Bams ke hoikuen, kami berfoto dulu berempat, yaitu ayah ibu dan dua anak di depan rumah Narpen Hiro untuk kenang-kenangan.
Foto depan rumah
Selanjutnya Narpen mengantar kami ke stasiun Toyohashi. Narpen parkir di dekat pintu masuk pertokoan yang ada di stasiun Toyohashi. Tepat kami keluar dari tempat parkir, pintu ke pertokoan di stasiun baru dibuka. Kami melalui supermarket, yang rupanya banyak menjual makanan untuk vegetarian. Tepat di kiri kanan lorong dijual berbagai makanan, dan Narpati tertarik untuk membeli kue dango yang selama ini sering dilihat di film-film anime.
Hakari shinkansen
Saya sendiri membeli berbagai roti, untuk jaga-jaga jika nanti sulit mencari makan, agar tidak masuk angin. Kami berjalan sampai mengobrol, kemudian membeli tiket shinkansen yang reserved, agar pasti mendapat tempat duduk. Narpen mengantar sampai pintu masuk ke shinkansen. Kami berpelukan, setelah mengambil foto bersama.
Saya, suami dan Narpati menunggu di platform 12, dan berdiri tepat di angka 15 yang tercetak di lantai, yang merupakan nomor gerbong kereta tempat kami mendapat tempat duduk. Pintu shinkansen nanti akan berhenti tepat sesuai nomor yang tercetak di lantai. Shinkansen Hakari 644 datang tepat waktu, kami masuk ke gerbong 15.
Senang bisa duduk berdampingan di shinkansen
Penumpang yang duduk disebelah kiri saya menawarkan, apa mau change? Tentu saja saya terima dengan senang hati sehingga saya bisa duduk berdampingan dengan suami. Setelah berhenti di stasiun Shin Yokohama, Narpati mulai menurunkan koper karena 6 menit lagi akan berhenti di Shinagawa. Kami menunggu di lorong dekat pintu, karena shinkansen hanya berhenti sekitar satu menit.
Suami dan si sulung di depan Keikyu Shinagawa StationMenuju ke arah Keikyu Shinagawa station
Saat shinkansen berhenti di stasiun Shinagawa dan pintu membuka, kami keluar dari shinkansen, menuju pintu keluar stasiun Shinagawa. Saya tap suica ( kartu pembayaran seperti e money) dan pintu membuka. Dari sini mencari arah menuju kereta Keikyu Line..rupanya singkatan dari Keihin Kyuko Line. Perjalanan cukup jauh, ada sekitar 300 meter…dan rupanya menuju pintu keluar stasiun.
Rupanya stasiun untuk kereta Keikyu berbeda…kami keluar dari stasiun shinkansen dan berjalan menuju ke Keikyu Shinagawa Station. Narpati mempelajari peta…syukurlah ada tanda kotak merah di atas platform yang menunjukkan arah kereta yang menuju Haneda Airport.
Penumpang sabar menunggu Keikyu yang menuju Haneda Airport
Kami mulai menaiki kereta keikyu yang penuh sesak dengan orang dan koper…saya berdiri…ternyata justru dengan berdiri, saya lebih bisa memperhatikan sekitar. Terimakasih Imelda Coutrier yang menyarankan koper-koper yang besar dikirim lebih dulu melalui Kuroneko Yamato, sehingga kami hanya membawa koper kabin. Tidak terbayangkan jika harus membawa koper besar di kereta yang penuh sesak ini.
Jalur Keikyu Line dari Shinagawa ke Haneda Airport terminal 3
” Bu, semoga habis ini kereta berhenti di Kojiya ya…berarti kita nggak salah kereta,” kata Narpati.
” Kalau salah tidak apa-apa karena masih siang,” jawab saya. Rute yang betul adalah: dari stasiun Shinagawa berhenti di Sengakuji, Aomono-yokocho, Heiwajima, Kojiya, Otorii, Anamori- inari, Teukubashi, Haneda Airport terminal 3.
Kami sampai Haneda Int’ l Airport terminal 3 sekitar jam 1.15 pm. Kami keluar stasiun, menuju ke lokasi free suttle bus….kami naik suttle bus, berhenti di terminal 2. Haneda Excel Tokyu Hotel terletak persis bersebelahan dengan terminal 2. Bahkan pintu masuk hotel dapat dicapai dari terminal 2. Petugas yang saya duga berasal dari Nepal, menyambut kami dengan ramah, menjelaskan bahwa check in jam 2 pm. Wahh lebih cepat ini, kami tidak perlu menitip koper dulu, karena saat pesan hotel, di website nya dinyatakan check in jam 4 pm.
Kami menunggu di restoran yang terletak di lobby hotel dan memesan teh panas. Tidak lama menunggu, check in sudah dibuka. Saya meminta pembayaran hotel termasuk untuk makan pagi. Untuk kami bertiga total biaya 45,454 Yen…cukup lumayan ya. Kami mendapat kamar luas dengan 3 bed yang lebar, kamar mandi bersih dan bagus. Dan bahagianya, saat membuka jendela…terlihat pemandangan landasan kapal terbang dan laut nun jauh di sana.
Landasan pesawat terbang dari jendela hotel
Setelah bebersih di kamar mandi, suami langsung ngegoler. Sayapun ikutan ngegoler setelah mandi…nikmatnya. Ternyata Narpati malah buka laptop karena ada panggilan meeting…untung tidak terlalu lama. Saya menyarankan sulungku keluar untuk jalan-jalan sekalian cari makan malam untuk bapak ibu yang bisa dibawa ke kamar. Ternyata toko-toko di Haneda airport tutup jam 7 pm. Syukurlah sulungku sudah selesai beli kebab.
Mengobrol bersama teman lama…maaf hanya salad dan teh yang berani dipesan
Mas Soesilo Soedarmadji, sahabat suami yang sejak tahun 1996 tinggal di Tokyo berkunjung ke hotel dan menunggu di lobby. Saya menyusul suami yang sudah duluan menemui sobatnya….rupanya mas Soesilo mengajak mbak Tri. Kami mengobrol akrab, waktu pesan makanan yang tidak mengandung B2 agak sulit, akhirnya hanya pesan salad sayur dan minuman hangat.
Berfoto sebelum berpisah di depan Excel Hotel Tokyu
Waktu juga yang membatasi pertemuan kami, mas Soesilo dan mbak Tri juga mesti mengejar kereta. Kami berfoto bersama untuk kenang-kenangan. Malam ini kami tidur nyenyak…bahkan lupa lampu kamar masih menyala saat tertidur.
Pagi-pagi badan terasa segar setelah tidur nyenyak semalam. Narpati menawarkan bikin minuman, kopi pahit untuk ayahnya dan teh manis untuk ibu. Saya membuka jendela…dan disuguhi pemandangan indah saat fajar.
Pemandangan saat fajar dari jendela Excel Hotel Tokyu, Haneda.
Untuk breakfast di restoran, akan dibuka mulai jam 5 am. Setelah selesai bersiap-siap, kami bertiga menyeret koper kabin menuju lobby hotel untuk check out dan makan pagi.
Sarapan… ada berbagai jenis masakan ikan dan semuanya enak
Makanan yang disajikan benar-benar bervariasi dan lengkap. Ada berbagai macam masakan ikan, tahu, jamur, miso soup, udang dan makanan laut lain. Minuman juga bervariasi, ada yogurt, susu kedelai, cola, teh dan kopi, serta buah-buah an. Dengan harga 3000 yen per orang, menurut saya makanan yang disajikan sangat memadai, bahkan mewah, jika dibandingkan saat saya menginap di salah satu hotel di Chubu Int’l Airport empat tahun lalu.
Kami makan dengan tenang, waktu masih panjang. Kira-kira jam 6.30 am kami menuju tempat free suttle bus, kebetulan bus yang akan membawa penumpang ke terminal 3 telah siap. Saya memilih berdiri, rupanya rute bus ini melingkar, dari terminal 2 tempat kami menginap, menuju ke terminal 1, baru kemudian ke terminal 3.
Haneda Int’l AirportReplika Nihonbasi Bridge
Pertama-tama kami menuju lokasi Kuroneko Yamato untuk mengambil koper. Berbeda dengan petugas di Toyohashi yang sulit diajak komunikasi karena kendala bahasa, petugas Kuroneko Yamato di Haneda lancar berbahasa Inggris, sehingga kami mudah berkomunikasi. Tiga koper kami sudah siap, saya meminta Narpati mengatur koper di troli. Lokasi Kuroneko Yamato ini di lantai 3 persis di depan lokasi check in.
Kami berjalan pelan sambil mencari lokasi tempat counter Garuda. Yang banyak counter untuk JAL dan ANA. Kemungkinan untuk Garuda di lorong dekat tempat check in Cathay Pasific, China Airlines dll. Rupanya nama Garuda Indonesia belum muncul. Ya sudah kami menunggu sambil duduk di kursi. Narpati pamit mencari toilet yang terlihat ada di lantai 4.
” Kamu sekalian jalan-jalan saja Le, nanti dikabari jika counter check in sudah dibuka.”
Sambil menunggu Narpati, saya penasaran, mencari lokasi information center.
” Nanti check in Garuda mulai jam 9 am, di L,” kata petugas.
Kebetulan lokasi saya dan suami duduk dekat dengan platform L. Tidak lama Narpati mendekat, ganti saya dan suami menuju toilet. Dari sini kami ber jalan-jalan menyusuri lantai 4, melewati bangunan yang dibuat seperti jembatan dengan tulisan Nihonbashi.
“Enjoy journey begins with a first step. Historically, the Nihonbashi Bridge has symbolized that first step, and Haneda International Airport has built a scaled-down replica from Yoshino cypress. The bridge offers travelers the experience of the original Nihonbashi Bridge, which graced central Edo. Its surrounding replica folding screen wall depicts famous Edo areas, bringing to life the bustle of the former city through murals on porcelain panels.”
Lorong pertokoanMenikmati suasana pertokoan Jepang di lt 4 Haneda terminal 3Penjual cinderamata
Di lantai 4, kami seperti melihat area wisata, bangunan pertokoan yang unik. Ada toko yang menjual oleh-oleh dengan packaging yang bagus. Juga toko menjual kaos dan pernak-pernik lain. Banyak pengunjung menuju eskalator ke lantai 5. Saya dan suami ikutan naik ke lantai 5. Rupanya ada pintu kaca yang bisa dibuka keluar, dan kami sampai di area terbuka, bisa melihat pemandangan sekitar Haneda dengan sepuasnya.
Landasan pesawatLatar belakang “Tokyo International Airport”
Saat saya dan suami bergantian mengambil foto dengan latar belakang tulisan ” Tokyo International Airport“, ada pengunjung yang menawarkan diri untuk memotret saya dan suami berdua. Kemudian saya ganti memotretnya.
Setelah puas, kami turun ke lantai 4, beberapa toko yang tadinya tutup sudah mulai buka…salah satunya toko buku. Setelah keliling toko buku, saya menemukan buku dalam bahasa Inggris. Saya membeli buku “ How to read katakana“. Seharusnya saya beli 3 buku sekaligus, yaitu tentang membaca katakana, hiragana dan kanji.
Saya segera mengajak suami kembali ke lantai 3, karena yakin Narpati pasti ingin ke toko buku. Betul…Narpati bilang, kenapa hanya beli satu bu?
” Ya udah, kamu segera balik ke lantai 4,” kata saya.
” Nanti saja habis check in,” kata Narpati.
” Habis check in biasanya langsung ke imigrasi, waktu terlalu mepet. Lihat itu penumpang pesawat lain yang antri check in… setelah selesai langsung antri masuk ke imigrasi, antriannya panjang sekali,” kata saya.
Narpati segera menuju ke lantai 4, terasa lama sekali, sampai orang mulai antri didepan counter Garuda Indonesia, yang namanya sudah muncul di papan, namun loket check in belum dibuka. Saya WA Narpati hanya conteng satu, jadi saya telepon.
Rupanya Narpati nyasar…hehehe…padahal lokasi toko buku gampang dicarinya. Mungkin karena tertarik yang lain, jadi muter-muter. Syukurlah tidak lama Narpati muncul dan kami segera masuk dalam antrian check in.
Gate 141 tempat pesawat Garuda jauh dari pintu keluar imigrasi. Syukurlah kami dalam kondisi sehat. Pesawat menunggu lama untuk terbang walau pintu pesawat telah ditutup. Pilot mengumumkan bahwa pesawat mesti menunggu sekitar 40 menit untuk terbang karena langit Tokyo sangat padat dengan pesawat yang sedang terbang atau akan mendarat.
” Bu, makan siangnya Japanese style ya,” kata pramugari.
” Nggak apa-apa mbak, terima kasih,” jawab saya.
Makan siang yang enak, tumben saya habis, biasanya makanan di pesawat kurang memenuhi selera saya.
Sepanjang perjalanan saya mencoba tidur, badan rasanya pegal semua. Pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta mendekati jam 19.wib. Setelah menunggu Narpati mengembalikan modem Javamidi di lantai keberangkatan, kami pulang dengan Golden Bird. Sampai rumah segera mandi, makan mie rebus hangat, sholat dan siap-siap tidur.
Betapa usia memang tidak menipu….badan terasa lelah tapi senang. Bersyukur kami bertiga kembali ke Jakarta dengan selamat dan sehat. Terima kasih ya Narpati, yang telah mengantar bapak ibu mengunjungi adik, ipar dan ponakanmu ke Toyohashi, walau waktumu tetap dihabiskan dengan meeting. Semoga lain kali bisa kembali ke Toyohashi dan dapat cuti yang tidak terganggu, sehingga dapat menikmati perjalanan.
Pertanyaan mbak @retty67 di salah satu postinganku di FB, membuat saya dan sulungku mempunyai ide kirim kartu pos dari Toyohashi ke Jakarta. Proses untuk membeli kartu pos penuh kelucuan, sulungku tidak bisa bahasa Jepang dan petugas tidak bisa bahasa Inggris. Sulungku mencoba menuliskan permohonan beli kartu pos didasarkan bahasa Jepang yang diperoleh dari google translate.
Petugasnya ramah, berusaha menjelaskan namun malah membuat makin bingung. Seperti kata Narpen, mereka berusaha melayani dengan ramah, dengan bahasa yang makin halus…akibatnya makin bingung. Akhirnya setelah ditambah dengan menggunakan bahasa tarzan, proses transaksi selesai.
Sulungku membawa kartu pos yang dilengkapi perangko ke rumah Narpen. Kenapa kok nggak sekalian ditulis? Karena khawatir salah tulis. Setelah proses menulis selesai, masalah yang muncul adalah cara mengirimkan lewat PO BOX bagaimana? Karena jika ke kantor pos ( JPos) sulit parkir, disebabkan lokasinya persis di pinggir perempatan jalan yang ramai. Akhirnya kartu pos dimasukkan di lubang sebelah kanan dari PO BOX pada hr Minggu 8 Okt 2023.
Kartu pos untuk Saras
Betapa senangnya, hari ini tgl. 16 Okt 2023, kartu pos untuk Saras diterima dengan baik, berarti perlu waktu 8(delapan) hari.. Saya berharap kartu pos untuk mbak Retty N. Hakim juga sudah diterima.
Ternyata sampai hari Sabtu kemarin, tanggal 4 November 2023, kartu pos belum diterima mbak Retty. Saya masih berharap, pada akhirnya kartu pos tadi tetap dapat diterima oleh mbak Retty walau melalui proses yang panjang. Mengapa saya masih optimis? Karena saya pernah mengirim kartu pos ke anak bungsuku, saat saya mendapat tugas ke Belanda pada tahun 2001. Berapa lama kartu pos tadi sampai alamatku? Satu bulan penuh. Jadi, semoga kartu posnya masih jalan-jalan ya mbak Retty.
Punya menantu yang pintar masak itu memang ” sesuatu”
Walau cuma sempat ketemu 3 (tiga) hari dari kunjungan 10 hari kami ke Toyohashi, tapi kami sempat menikmati masakan PapaBams, antara lain:
1. Chahan salmon
Chahan (Jepang: チャーハン, Hepburn: Chāhan) adalah hidangan nasi goreng Jepang yang dipersiapkan dengan nasi sebagai bahan utama dan dengan berbagai bahan tambahan dan bumbu. Hidangan ini biasanya digoreng, dan dapat dimasak dalam wajan. (Wikipedia).
Chahan salmon buatan PapaBams cocok buat sarapan…rasanya sedaap.
Chahan salmon
2. Konjaku
Konyaku adalah salah satu bahan makanan khas Jepang yang bisa dibilang unik. Tidak hanya rasanya saja yang enak, konyaku juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Salah satu manfaatnya yang paling terkenal adalah kaya serat sehingga mampu melancarkan pencernaan dan menurunkan berat badan.
PapaBams mengolah konjaku ( berasal dari sejenis umbi2an dan rasanya kenyal) bersama wortel, tahu sutra dan kentang, rasa masakannya mirip capcay.
Catatan: masakan dari konjaku ini pesanan Narpati yang terinspirasi dari komik Jepang.
Konjaku
3. Karei Nitzuke
Ini sejenis sup ikan. Suami senang sekali dengan rasa masakan ini, bahkan bilang
” Dari sekian masakan ikan yang saya coba di Jepang, masakan ikan rebus buatan Hiro paling enak.”
Saya akui, masakannya terasa ringan dan segar, setelah saya tanya, cara masaknya bagaimana? Jawabnya sederhana.
Siapkan shoyu ( kecap asin), jahe, gula putih sedikit, dimasak dengan air sampai mendidih. Masukkan ikan yang telah dipotong-potong sesuai selera, tunggu sampai meresap. Sup ikan ini siap dihidangkan. Sederhana ya, tapi rasanya segaar. Yang perlu diperhatikan adalah pemilihan bahan baku masakan, harus dipastikan segar dan bagus terutama ikannya.
Karei Nitzuke
4. Kopi di pagi hari
Akhirnya saya terpancing juga menikmati kopi buatan PapaBams, padahal saya bukan penyuka kopi. Saya penyuka teh. Wahh ternyata promosi Narpen benar…kopi bikinan PapaBams memang uenak.
Kopi bikinan PapaBamsDaftar masakan matang yang ada di lemari es, tinggal dihangatkan di oven…bisa langsung dimakan
PapaBams memang hobi masak, agar kami tidak bingung, di pintu kulkas ditempel tulisan, apa saja masakan yang telah dibuat PapaBams dan berada dalam kulkas. Masakan cukup dihangatkan sebelum disantap.
Papa membeli buku craft buat Bams, lalu sering gunting-gunting bersama, membuat macam-macam kreasi dari kertas-kertas an dan membuat surat juga. Kertasnya cantik-cantik. Terus Papa tanya: “Mau dikasih ke siapa?
Kata Bams: ” Naota-kun.”
Papa kemudian menulis nama Naota-kun. Papa tanya ke Bams, ” Mau bilang apa?” Mama Bams nggak tahu apa jawaban Bams.
Papa menulis: ” Yuuk main pasir bersama”. Lalu PapaBams memasukkan ke tas Bams. Tas dibawa Bams ke Hoikuen, MamaBams sudah lupa sama sekali. Sorenya PapaBams tanya, “suratnya sudah dikasih belum?”
Kata PapaBams, sudah nggak ada di tas Bams, tapi sensei nggak bilang apa-apa. Ternyata sensei baru ngasih tahu besoknya. Kata sensei, “Suratnya sudah dikasih ke Naota-kun, nggak tahu isinya apa.”
Terus MamaBams cerita tentang buku craft itu. Bams ternyata mendengar, langsung manyun nggak mau pulang. Kata Bams…. “Surat aku”
Lah, mama bingung. Bams mau ambil suratnya dari tas Naota-kun. Sensei berusaha memberi pengertian, ” Kan sudah dikasih ke Naota-kun” Tapi Bams nggak mau pergi-pergi untuk pulang dari Hoikuen. Pas akhirnya sampai di rak sepatu Bams stuck lama ngeliatin tas Naota-kun di kejauhan.
“Ribet banget deh 2 hari yang lalu nggak mau pulang, ” cerita MamaBams pada yangti.
Terus besok paginya ibu Naota kun lapor, bahwa menerima surat dari Bams. Kemudian MamaBams cerita tentang buku craft dan sebagainya. Sambil tertawa-tawa MamaBams cerita, Bams mau ambil lagi suratnya. Maksud MamaBams hanya bercanda….ehh sorenya suratnya dibalikin sama Mama Nauto kun. Ampuun ….Bams melihat ada surat di tasnya senang banget.
Katanya: ” Dapat surat dari Naota kun.”
Ampuun…MamaBams pusing kepala barbie. PapaBams tertawa-tawa mendengar drama surat Bams.
“Yangti kirim surat aja deh, atau Ara untuk Bams,” pesan MamaBams pada yangti. Biar anaknya senang.
Catatan:
Bams usia 4 tahun 2 bulan. Nauto kun temannya seumuran di Hoikuen ( day care). Cerita di atas obrolan di chat WA yg bikin yangti dan MamaBams terkikik-kikik. Foto hanya untuk pemanis….begitu bahagianya Bams melihat ada paket dan tak sabar menunggu Papa pulang dari kantor.
Sebetulnya saya penasaran melihat desain rumah di perumahan sekitar tempat tinggal si bungsu. Sebelum si bungsu pindah ke rumah di daerah ini, tempat tinggal sebelumnya berupa apartemen (apato), yang terletak di daerah Riverside, persis di pinggir sungai Yagyugawa. Daerah sekelilingnya banyak berupa apato, juga perumahan yang tertata rapih, serta dekat dengan supermarket yang besar.
Saat pertama kali datang di rumah si bungsu, saya melihat kompleks perumahan ini ada rumah kuno yang bercampur dengan rumah modern yang banyak dihuni keluarga pasangan muda. Saat saya diajak keliling naik mobil sambil mendengarkan si bungsu bercerita, saya sungguh menikmati perjalanan ini. Ada rumah kuno, yang masih ada lambang keluarga di dinding depan rumah. Bahkan saat melewati jalan kecil dari Azumada ke wilayah selatan, ada rumah yang dindingnya ada catatan silsilah keluarganya. Sayang saya hanya melihat dari jendela mobil, saya juga tidak berani memotret, maklum di Jepang privasi sangat dijaga sehingga tidak berani sembarangan memotret.
Kompleks perumahan tempat tinggal si bungsu ini masih dekat dengan City Halldan Toyohashi Parkyang ada Yosidha castle ( saya perkirakan jarak berjalan kaki dari Azumada ke Toyohashi Park sekitar 1km)…jadi ada kemungkinan dulunya merupakan perumahan para petinggi atau prajurit dari zaman masih ada shogun.
Penamaan masuk ke wilayah tertentu
Di sini juga tidak ada penamaan jalan, namun nama daerah terlihat di perempatan jalan mau masuk wilayah tersebut. Saya merasa masuk ke wilayah sekitar sini seperti masuk ke masa lalu, walau ada beberapa bangunan rumah yang modern. Menurun bungsuku, daerah sini rumah-rumah tua sepertinya dibangun pada kisaran 1945 (setelah Toyohashi dibombardir serangan udara ). Sedangkan daerah selatan bangunan gedung-gedung dan rumahnya lebih modern.
Rumah yang dindingnya masih ada lambang keluarga (foto oleh Narpati)
Hal lain yang saya temukan, nama pemilik rumah tercantum di depan rumahnya, hal yang tidak saya temui lagi di Indonesia. Zaman saya masih sekolah SD, nama pemilik rumah (ayah) ditempel di depan dinding rumah kami. Mungkin sekarang makin terasa tidak aman, sehingga tidak ada lagi penempelan nama pemilik rumah di dinding depan.
Nama keluarga di pagar
Jika diperhatikan, teralis jendela untuk rumah di Toyohashi ini diletakkan di depan jendela…ini berbeda dengan di Indonesia yang teralisnya berada di belakang jendela.
Rumah kuno…teralis di luar jendelaBanyak rumah yang asalnya dari kayu diganti dengan seng, mungkin untuk memudahkan perawatan, disamping harga kayu mahal.
Yang menyenangkan, Jepang sangat sadar atas kebutuhan keamanan bagi para warga senior. Baik di rumah si bungsu maupun di tempat umum, tangga, toilet selalu ada pegangan, memastikan bagi orang tua yang mulai geloyoran jika berdiri dari duduk, bisa berpegangan dengan aman.
Tanda batas wilayah….walau satu jalan, rumah diseberang jalan sudah merupakan wilayah berbeda
Teman saya memberi komentar di facebook, desain rumah di Jepang terutama fasad/exterior sangat simple. Sama dengan di Eropa dan USA. Kadang mirip kotak sabun. Di USA dan Eropa lebih fokus interiornya untuk membuat nyaman dan bagus. Bagaimana di Jepang? Berbeda dengan Indonesia, juatru lebih fokus di tampilan luar.
Pertanyaan teman saya dijawab oleh bungsuku, bahwa banyak anak muda yang suka desain rumah kotak-kotak, simpel dan modern. Salah satu tetangga si bungsu, merupakan keluarga muda dengan 2 (dua) anak balita, gardennya super simple, pohonnya cuma batangan, mungkin supaya low maintenance karena sudah sibuk ngurusin bocah. Kalau rumah kotak-kotak menurut si bungsu, biar gaya modern, memaksimalkan tempat, dan lagi-lagi low maintenance. Hasil quick googling, konon lebih tahan gempa juga karena lebih stabil. Terlampir foto hasil quick googling di internet. Interior rumah Jepang buat orang usia si bungsu nyaman dan fungsional sekali.
Contoh foto diambil dari internet oleh si bungsu
Di bawah ini saya bagikan percakapan si bungsu dengan sensei (alm) yang pernah ditulis di FB nya, untuk memahami sejarah daerah Azumada.
…………………..
Suatu saat, ketika si bungsu dan sensei melewati daerah Ushikawa (daerah di samping/sekitar Toyohashi castle), beliau tiba-tiba saja bercerita bahwa daerah ini pada jamannya merupakan daerah yang tanahnya yang dibagi-bagikan kepada para “samrai”..
“Pada siapa, sensei?”
“Samrai..”
“Siapa sensei?”, tanya si bungsu lagi.
“Samrai..”, jawab Sensei lagi.
Si bungsu terdiam sejenak, berusaha menebak, sebelum tiba-tiba menyadari maksud Sensei.
“OOHHH.. SAMURAI YA SENSEI..”
“That’s what I said..”, ujar beliau kalem.
Hedeh, si bungsu sering lupa kalau kadang-kadang pronunciation “u” di Jepang suka pendek banget atau malah nggak berbunyi X-D (misalnya kata-kata seperti ‘desu’, ‘onegaishimasu’, ‘sentakuki’, itu semua huruf “u”-nya sering gak bunyi)
Beberapa hari terakhir, si bungsu tiba-tiba aja penasaran banget pengin baca artikel-artikel tentang sejarah Jepang . Dari jaman Jomon (masa hunter-gatherer & fisher), era Imperial, shogunate, Restorasi Meiji (modernisasi), post-war (WW1 & Pacific War), sampai ke Jepang masa modern. Tidak lupa si bungsu cari-cari info tentang beberapa hal yang selama ini bikin si bungsu penasaran, seperti (1) sejarah dan background pembangunan Toyogawa Housuiro – Discharge Canal, (2) sejarah dan background pembangunan Muro Yousui – Irrigation Canal, dan (3) Mengapa bahasa Portugis bisa jadi bahasa kedua di Toyohashi.
Ternyata perjalanan baca-baca ini aja momentnya banyak banget. Si bungsu jadi banyak flashback ke berbagai kenangan masa lalu, seperti kunjungan-kunjunganya lebih dari satu dekade yang lalu ke berbagai castle di Jepang, ke Daibutsu Nara, dan juga pembicaraan-pembicaraan dengan Sensei, tentang pembagian tanah di sekitar castle ke para samurai.
(Quick note: Setelah direnungi dan diresapi, sepertinya pembagian tanah yang disebut Sensei ini dimulai pada masa shogun Toyotomi Hideyoshi, di mana para samurai diwajibkan untuk hidup bersama daimyo – landlord di castle town).
…………………………………………………………………..
Melihat kompleks perumahan di Azumada, yang tak terlalu jauh dari Yosidha castle, dan rumah-rumah tua yang masih ada lambang keluarga, bercampur dengan rumah modern yang dihuni anak muda….jangan-jangan asal-usul rumah tradisional ini seperti yang diceritakan oleh alm sensei, pernah ada pembagian tanah sekitar castle pada para samurai.
“Bu, kalau orang di sini bilangnya, ibu tergolong ame onna,” kata si bungsu.
” Apa artinya?”
” Ibu pengundang hujan. Soalnya setiap kali ibu ke sini, kok jadi sering hujan, padahal cuaca kemarin-kemarin cerah. Ingat kan saat kita ke gunung Fuji? Cuaca cerah tiba-tiba mendung dan mulai gerimis.”
Beberapa kali saya bepergian dengan si bungsu, selalu diwarnai dengan hujan. Walau hujan ini tidak menghentikan aktivitas kami untuk jalan-jalan…maklum udah jauh-jauh ke Jepang, mosok nggak bisa menikmati jalan-jalan hanya karena hujan.
Selalu sedia payung (depan stasiun Toyohashi).
Jadi, sekiranya masih hujan rintik-rintik kami tetap jalan, tetap mengambil foto walau hasilnya tentu tidak sebagus jika cuaca cerah.
Perjalanan menuju gunung Fuji, cuaca cerahDepan Makaino Farm Resort, cuaca masih bagus, gunung Fuji terlihat jelas.
Saat ke gunung Fuji di bulan September 2018, cuaca cerah saat kami ( saya, si bungsu dan menantu) baru saja turun di stasiun Shin Fuji. “Wahh nyaman nih”, batin saya. Gunung Fuji terlihat anggun dari stasiun kereta api, dan sepanjang perjalanan kami menuju gunung Fuji.
Sampai di depan Makaino Farm Resort cuaca masih cerah, menantuku segera meminta saya dan si bungsu berfoto. Karena sudah waktu makan siang, kami mampir makan siang dulu. Kami makan sambil mengobrol…. setelah selesai menantuku mengajak ke Fumotoppara ( Fumoto= kaki gunung, Para= field) agar kami bisa menikmati keindahan gunung Fuji dan puas mengambil foto.
Di Fumutoppara…gunung Fuji mulai tertutup awanMakin mendung
Tidak lama sampai di Fumotoppara, mulai muncul awan mendung…kami masih santai. Saya melihat banyak tenda-tenda yang dihuni keluarga yang sedang camping. Menantuku menyiapkan peralatan untuk memotret. Rupanya gunung Fuji yang tadinya terlihat jelas, makin tertutup awan…dan lama-lama hanya terlihat puncaknya dibalik awan. Kami akhirnya keluar dari Fumotoppara….kemudian menuju air terjun. Kata si bungsu…” Di sini jika mau ambil foto tak tergantung cuaca bu, walau mendung atau gerimis tetap bisa puas ambil foto tanpa khawatir tertutup awan karena air terjun nya tetap terlihat.”
Perjalanan ke NjmMendung semakin rata
Pada kunjungan bulan Okt 2023, si bungsu mengajak ke Njm yang lokasinya di bukit. Lokasinya melalui sawah ladang yang sedang menguning, pemandangannya indah. Lagi-lagi cuaca cerah pelan-pelan berubah menjadi mendung dan akhirnya gerimis.
” Wahh ibu benar- benar pantas dijuluki ame onna deh. Kebalikan dengan shachou (CEO) tempat saya kerja, kemanapun pergi cuaca menjadi cerah.”
Setelah di pikir-pikir, memang saya sering dikatakan sebagai pembawa hujan. Suatu ketika saat mengunjungi suatu wilayah di Indonesia, yang sudah ber bulan-bulan tidak turun hujan, begitu saya datang…tidak lama kemudian turun hujan. Dan ini beberapa kali terjadi, anehnya hanya jika saya mengunjungi wilayah lain. Yang artinya, tidak berlaku di daerah sendiri.
Benarkah saya ame onna? Wallahu a’lam bishawab.
” Bu, begitu shinkansen yang ibu naiki meninggalkan Toyohashi, cuaca menjadi cerah deh. Padahal 2 (dua) hari mendung terus,” saya membaca chat yang dikirim si bungsu melalui WA.