Quantcast
Channel:
Viewing all 390 articles
Browse latest View live

Trem Listrik di Toyohashi

$
0
0

Sabtu, 21 September 2019

Saya sudah 2 (dua) minggu berada di kota Toyohashi, kegiatan utama adalah mengajak Ani mengobrol, membantu merawat dedek bayi, ke supermarket belanja dan beberes apato. Mungkin anakku nggak enak juga melihat ibu kok cuma di apato saja, jadi dia menyarankan saya untuk jalan-jalan agar tetap sehat, walaupun hanya jalan kaki dan naik kendaraan umum. Lagipula hari ini akhir pekan, sehingga Ani bisa dibantu Hiro yang akhir pekan libur, juga agar mereka bertiga bersama dedek bayi menikmati waktu sebagai orangtua baru.

Sejak awal saya ingin mencoba naik trem listrik jika ada kesempatan. Jadi malam sebelumnya, saya dan si bungsu sudah menghitung jarak dari apato sampai perempatan Kantor Pos kira-kira  1,1 km, kemudian dari kantor pos ke stasiun Toyohashi, jaraknya total 1,5 km.

Gedung JPos

Paginya saya agak kesiangan bangun, syukurlah cuaca mendung sehingga jalan kaki sambil menikmati pemandangan sekitar tidak capek. Gedung Kantor Pos, syukurlah ada tulisannya JPos, sehingga tidak terlewat.

Di seberang jalan terlihat halte trem listrik. Di perempatan jalan saya melihat beberapa anak sekolah naik sepeda, apakah mereka tidak libur di hari Sabtu?

 

 

Halte trem

Saya menyeberang jalan, dan berhenti di halte trem yang bernama  Shinkawa. Nahh saat mau bayar terjadi kekonyolan, karena penumpang penuh, saya segan untuk menanyakan cara membayar.

Trem listrik

Seharusnya biaya naik trem Y 150,  saya masukkan uang Y 500 dan ternyata tidak kembali. Saya lupa-lupa ingat cara membayarnya, karena terakhir naik trem listrik saat menengok si bungsu tahun 2013, itupun didampingi si bungsu.  Dari halte Shinkawa, trem berakhir di stasiun Toyohashi.

Karena tujuan saya memang ingin melihat-lihat kota dengan naik trem, saya kembali antri naik trem, dan kali ini saya nggak mau rugi. Saya tanya ke masinis bagaimana cara bayarnya, ehh dia ngomong apa, saya tetap nggak ngerti. Akhirnya dia mengambil uang Y200 dari tanganku, kemudian dimasukkan ke lubang sebelah kanan … keluarlah pecahan Y50, Y10 dan Y5. Dia mengambil Y150, dimasukkan ke lubang sebelah kiri dan sisanya dikembalikan ke saya. Ooo…jadi saya salah lubang ya ….

Jalan masuk ke Undoekoen

Trem berangkat, saya menikmati suasana kota, sampai di halte  Undoukoen-mae kok semua penumpang turun, saya ikut turun. Saya melihat sekeliling .. di depan terlihat banyak pepohonan, sebagian daun nya sudah berwarna kuning dan sebagian telah gugur.

Gedung Olahraga

Saya menyeberang jalan … rupanya ini daerah Iwata Sport Park (namanya saya cek setelah kembali ke apato). Saya berjalan terus, terlihat di sebelah kiri orang-orang sedang main tennis, di sebelah kanan ada bangunan yang bentuknya seperti stadion.

Jalan setapak di pinggir Suijin Ike

Saya melanjutkan jalan, melewati jalan setapak yang di kiri kanan nya terdapat pepohonan yang rimbun … ternyata ada danau kecil, namanya Suijin Ike (Ike= danau). Setelah puas mengelilingi danau, saya kembali ke arah jalur trem.

Toyohashi City Hall

Trem kembali ke Ekimae, di halte Keirinjo-mae terjadi pergantian masinis. Saya menengok ke sebelah kanan, terlihat beberapa trem sedang diparkir. Trem melanjutkan perjalanan, pas trem berhenti di halte Shiyakusho-mae, saya melihat di sebelah kanan ada bangunan bagus, ingat-ingat lupa, jangan-jangan itu bangunan City Hall.

Yoshida Castle

Saya segera turun, ternyata betul itu bangunan Toyohashi City Hall, saya pernah foto di bawah bunga yang sedang berkembang bersama si bungsu tahun 2013. Saya terus berjalan kaki menuju taman yang terletak di belakang City Hall. Taman ini penuh pohon-pohon tinggi dan rimbun, di ujung paling jauh terdapat Yoshida Castle, persis di pinggir Toyokawa River.

Jalan masuk ke Yoshida Castle

Kali ini saya tak masuk ke Yoshida Castle, tapi duduk-duduk menikmati pemandangan sungai, melihat orang berjalan-jalan di tepian sungai.

Tak terasa waktu sudah siang, saya segera kembali naik trem menuju stasiun. Mampir di toko Ceria, toko yang barang-barang nya semua berharga Y100. Toyohashi kota kecil dan bukan tujuan turis, barang yang dijual tidak terlalu khas, setelah membeli kaos kaki untuk Ara, saya melanjutkan jalan-jalan ke Kalmia, nama pertokoan di stasiun ini.

Setelah mendapat 2 (dua) blouse bukaan depan untuk si bungsu, yang semoga cocok, saya merasa haus…jadi kembali ke TullY’s Cafe. Kenapa kembali ke sini? Selain free wifi, ada toilet bersih, yang kita bisa pilih cara mengguyurnya.  Sambil makan dan minum teh hangat, saya melepas lelah sambil menikmati suasana cafe.

Setelah rasa capek berkurang, saya menuju stasiun Shin Toyohashi….mulai bingung deh. Jadi saya masuk ke kantor pegawai stasiun untuk bertanya. Pegawainya pinter, walau bahasa Inggris nya terbatas, tapi dia bisa menjelaskan dengan menggunakan denah…rupanya sudah disiapkan jika ada yang bertanya.

Saya kembali ke lorong melalui TullY’s Cafe lagi, turun ke bawah…dan sampailah ke Shin Toyohashi. Di sini bingung lagi… tapi akhirnya dengan bahasa tarzan, saya bisa naik kereta api menuju Mikawatahara, dan turun di stasiun Yagyubashi. Dari sini jalan kaki ke apato si bungsu.

Proliman dekat apato si bungsu

Rasa nya dulu cuma sekali belok, kok sekarang beda ya. Untung tadi pagi pas berangkat, saya sudah memotret perlimaan (bukan perempatan) jalan, dan menandai gedung-gedung di setiap ujung jalan. Legaa…. setelah melihat nama Valor di kejauhan, berarti nggak salah jalan.

Pembelajarannya: Jalan-jalan sendiri tetap diperlukan, karena memaksa kita untuk selalu mengingat, tanda-tanda yang harus diperhatikan.


Survei Jalur Kereta Api Toyohashi-Centrair Int’l Airport

$
0
0

25 September 2019

Kereta dari Yagyubashi ke Shintoyohashi penuh dengan anak sekolah dan orang berangkat kerja.

Dua hari berturut-turut saya tidur dengan mimpi yang membikin lelah. Mimpinya seperti ketinggalan kereta, dan berkaitan dengan kereta api. Mungkin karena jauh di lubuk hati, saya agak kawatir tentang naik kereta api ini, takut kesasar dan lain sebagainya.

Stasiun Shintoyohashi

Maklum sendirian, tanpa memahami tulisan kanji, dan kalau bingung sulit bertanya karena perjalanan dari Toyohashi ke  Centrair Japan Airport yang terletak di Chubu, atau biasa juga di sebut Chubu Int’l airport.

Meitetsu Tourist Information di stasiun Toyohashi

Akhirnya, saya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Chubu int’l airport mumpung masih ada waktu, agar pada waktunya nanti sudah tidak kesasar.

Tiket kereta api dari Toyohashi ke Chubu Kuukou (chubu int’l airport)

Hiro mengingatkan, agar sekaligus pesan hotel untuk akhir pekan minggu depan, karena saya harus menginap di hotel dekat bandara, terlalu berisiko jika berangkatnya pagi-pagi sekali ke bandara langsung dari Toyohashi.

Saya membawa catatan dari Ani, juga telah ngeprint email yang telah dikirim sebelum saya berangkat ke Jepang. Ternyata bagi orang seusia saya, hanya sekedar membaca catatan tidak mudah, tetap harus dipraktekkan. Untuk anak usia milenial, catatan dari Ani, yang telah dilengkap dengan foto-foto yang dibuat Hiro, bagaimana cara naik kereta api dari Chubu int’l airport ke Toyohashi,  akan terlihat mudah.  Jalan keluar, ya harus dicoba, dengan risiko kesasar, mumpung masih ada waktu longgar.

Saya jalan kaki dari apato ke stasiun Yagyubasi sekitar 5 (lima) menit, Ani membekali saya dengan kartu untuk naik kereta api dari stasiun Yagyubasi ke Shintoyohashi, sehingga saya tinggal ngetap, dan nanti setelah tiba di stasiun Shintoyohashi di tap lagi, persis seperti naik MRT di Jakarta. Saat tiba di Toyohashi, saya segera ke tempat loket Meitetsu line untuk membeli karcis ke Chubu int’l airport, dengan transit di Jinggu Mae.

Ani sudah berpesan dan memberi catatan di kertas kecil, untuk diberikan kepada petugas yang melayani pembelian karcis. Saya menunjukkan catatan untuk beli karcis ke Chubu Kuukou (Chubu int’l airport), untuk yang jiyuu seki (non reserved). Kenapa non reserved? Agar saya tidak harus lari-lari di Jinggu Mae karena mengejar kereta ke arah Chubu int’l airport, karena waktu transit hanya sekitar 5-10 menit, mesti naik tangga dan kembali turun tangga. Ada lift nya, tapi untuk mempelajari di platform mana perlu waktu. Belakangan saya tahu, bahwa andaikata pesan reserved seat dan akhirnya tidak dipakai ya masih bisa naik kereta lain, cuma menjadi rugi 360 Yen.

Petugas karcis rupanya bisa berbahasa Ingris, dia memberi tahu agar saya ke platform tiga. Di platform ini telah siap kereta express Meitetsu line menuju Gifu, dan saya langsung naik ke gerbong 3 (gerbong 1 dan 2 untuk yang beli reserved seat). Kereta nya bagus dan bersih, saya mendapat tempat yang menghadap ke depan, sehingga bisa memperhatikan tanda keberangkatan kereta dan nanti mau stop di stasiun mana…serta ada pengumuman bahasa Inggris. Ternyata kereta yang saya naiki hanya berhenti di 2 (dua) stasiun sebelum saya turun di stasiun Jinggu Mae, yaitu: Higashi Okazaki dan Chiriyu. Saya dan Ani telah mempelajari hyperdya.com untuk melihat perjalanan kereta dari Toyohashi ke Jinggu Mae turun dimana saja, dan stasiun terdekat sebelum Jingu Mae adalah Chiriyu.

Stasiun Jingu Mae

Saya turun di Jingu Mae, kemudian melihat tanda arah ke platform kereta api yang menuju Chubu int’l airport. Ternyata harus melalui tangga menurun yang cukup curam, jadi saya mulai berpikir, saya nanti harus melalui lift jika pas membawa koper.

Seingat saya ada lift, karena pas baru datang dari Indonesia, saya diantar petugas kereta api sampai lift yang menuju platform kereta api ke Toyohashi.

Saya menunggu di platform 3, dan bertanya kepada pemuda di sebelahku, apakah benar ini ke arah Chubu int’l airport. Pas ada kereta datang, dia melarangku naik kereta tersebut, tapi karena saya dan dia berbahasa tarzan, saya juga nggak tahu maksudnya. Belakangan nanti, saya keliru naik kereta api, yang ternyata menuju Kowa….jadi rupanya di platform 3 (tiga) ini dilalui oleh dua kereta api yang arahnya berbeda.

Bandara Chubu

Kemudian ada kereta datang, dan pemuda tadi mengangguk kepadaku, sayapun ikut mengangguk dan naik kereta tersebut. Rupanya ini kereta lokal menuju airport, seperti KRL, dengan kursi memanjang menempel dindingnya. Saya merasa tenang karena banyak penumpang yang membawa koper besar-besar, jadi ini pasti ke airport. Kalaupun salah, waktu masih siang dan saya hanya membawa tas kecil. Kereta ini nyaris berhenti di tiap stasiun, saya hitung kereta ini berhenti  di 8 (delapan) stasiun, sebelum stasiun Tokoname, stasiun yang terdekat dari Chubu int’l airport.

Pemandangan dari jendela Kereta api

Letak Chubu int’l airport di pulau kecil, pemandangan dari jendela kereta sangat bagus, terutama saat melewati laut yang biru dan luas. Tak lama kereta api sampai di Chubu int’l airport.

Hallway yang menghubungkan hotel dengan bandara Chubu

Saya duduk-duduk dulu sambil melihat sekeliling, di papan atas terlihat berbagai iklan hotel: ada Toyoko Inn, Comfort Hotel, Four Season. Hotel yang langsung berhubungan dengan airport adalah Centrair hotel. Saya kemudian berjalan ke lobby hotel ini, namun tak jadi pesan karena ingat saran Ani, sebaiknya saya melihat Toyoko Inn, kemudian baru Comfort hotel karena pemandangan di belakang hotel sangat indah.

Setelah istirahat sebentar dengan duduk di depan lokasi meitetsu line, saya mulai menuju hallway ke arah hotel. Hotel Comfort punya lift sendiri yang langsung masuk ke lobby hotelnya. Hotel ini juga menjadi tempat menginap pilot dan pramugari pesawat.  Namun jika ingin ke arah Toyoko Inn, lift nya berada di seberang lift yang menuju Comfort hotel.

Laut di belakang hotel

Saat lift sampai lantai dasar, saya terpukau dengan pemandangan laut, dan langsung menuju pinggir laut untuk mengambil foto. Lautnya begitu bersih dan biru, juga langitnya biru  … terlihat bersih dari polusi. Dari hallway saya bisa melihat pemandangan jalan lebar di bawah yang sepi, karena orang bisa pergi ke airport dengan naik kereta api, sehingga tak perlu capek menyetir mobil.

Ada dermaga di pinggir laut, jika ingin naik kapal

Saya menuju Toyoko inn, ternyata kamarnya telah penuh. Saya lihat ada bis-bis di depan hotel, rupanya hotel ini memang tujuan grup turis, karena memang harganya paling murah dibanding ketiga hotel lainnya. Apa boleh buat, saya kembali menuju Comfot hotel.

Syukurlah saya bisa mendapat kamar di Comfort hotel dan segera reserved untuk chek in tanggal 4 Oktober dan check out tanggal 5 Oktober. Saat saya tanya apa perlu bayar dulu dan menyerahkan kartu kredit, petugas counter mengatakan tak perlu, dan saya diberi form bahwa saya telah reserved untuk tanggal 4 Oktober 2019. Woo… tanpa bayar uang muka. Kemudian petugas menjelaskan bahwa chek in jam 3 sore dan check out jam 10 pagi besoknya. Jika saya datang sebelum jam 3 (tiga) bisa menitip koper di counter tanpa dikenakan biaya. Namun jika saya mau early check in, bayarnya 1000 yen per jam. Biaya kamar semalam termasuk breakfast 12.800 yen atau Rp. 1.664.000,- (kurs saat itu 1 yen setara Rp.130,-)

Syukurlah diingatkan Hiro agar segera pesan hotel karena hotel di dekat bandara sedikit dan sering penuh. Benar juga, Toyoko Inn kamarnya telah penuh, saya bersyukur masih dapat kamar di Comfort Hotel. Semoga flight Garuda on schedule, sehingga pesanan hotel nggak rugi. Comfort Hotel, Toyoko Inn dan Four Season lokasinya berdekatan, di belakangnya langsung berbatasan dengan laut. Kalau tidak mendung, mudah-mudah an  pas menginap di hotel, saya bisa menikmati sunset.

Flight of dream

Saya kembali menuju hallway ke arah Chubu int’l airport, di ujung hallway saya tertarik dengan iklan meriah tentang “Flight of the dreams“. Jadi saya menuju ke sana, ternyata ini untuk tempat keberangkatan dan kedatangan pesawat yang low cost carrier , seperti Air Asia, Jeju airlines dan lain-lain. Penumpang banyak sekali yang datang dan pergi berombongan, ya kalau kita pergi bersama teman-teman, naik penumpang murah asal aman sih tak masalah, karena di sepanjang perjalanan bisa bersenda gurau bersama teman-teman.

Capek muter-muter, saya menuju ke arah tempat keberangkatan dan kedatangan pesawat Garuda nantinya. Menuju tangga di atas, merupakan hall tempat kita bisa berbelanja, membeli oleh-oleh dan makan minum dengan berbagai pilihan. Dan karena budaya orang Jepang adalah oleh-oleh berupa makanan, maka tempat oleh-oleh dipenuhi berbagai makanan khas Jepang…wahh berat nih bawanya, apalagi saya cuma bawa koper kecil.

Agar aman dalam memilih makanan, saya mampir ke Starbucks, pesan wafel dan hot chocolate, sambil melepaskan lelah. Saya kirim WA ke Ani, komentarnya…”Ibu pasti sedang ngafe ya, biar bisa internetan?” Anakku benar-benar tahu sifat ibunya. Saya bilang di depan lokasi Meitetsu Line juga ada free wifi, tapi tiap setengah jam harus diperbarui. Kemudian di bandara ada  free wifi  yang kenceng sehingga bisa mengabari melalui WA. Saya kemudian muter-muter di bandara,  agar tahu tempat-tempat dimana pesan tiket kereta api, cari makan, letak toilet (ini perlu banget). Bandara Chubu relatif kecil namun nyaman.

Petugas KA di Jingu Mae , bisa berbahasa Inggris, menyarankan agar saya menunggu kereta berikutnya yang lebih cepat.

Puas muter-muter, saya kembali  ke arah stasiun yang tersambung dengan bandara, beli tiket Meitetsu Line untuk kembali ke Toyohashi, dan ganti kereta di Jingu Mae. Sampai Toyohashi sudah jam 3 pm, mampir ke Cafe Danmark untuk beli kue.

Toyotesu dari Shintoyohashi menuju Tahara

Selanjutnya saya menuju stasiun Shintoyohasi, naik kereta lagi turun di stasiun Yagyubashi. Dari stasiun ini ke apato Ani cukup jalan kaki karena dekat sekali.

Uniqlo di Toyohashi

$
0
0
Rumah penduduk

Hari ini rencana mau ikut si bungsu kontrol ke RS Kota Toyohashi. Tapi semalam kaki kok pegal dan seperti mau kram, terpaksa blonyohan (hmm apa ya bahasa Indonesia yg tepat?) balsem tawon, yang saya peroleh dari mantunya Eisrin Risri Alda.

Senang melihat rumah ini, ada taman nya

Tujuan utama ke Uniqlo mau cari blouse bukaan depan untuk Ani.  Jarak Uniqlo dari apato Ani tidak jauh, sekitar 500 m, tapi saya tertarik menjelajahi jalan dan perumahan di sepanjang jalan ini. Apato Ani sebetulnya termasuk di tengah kota, tapi suasananya sepi, kendaraan hanya ramai di pagi hari dan sore hari.

Rumah penduduk

Bangunan rumah tinggal di daerah sini tidak terlalu banyak, lebih banyak berupa apato (apartemen), karena minat untuk menyewa apato cukup tinggi. Apato di sebelah kanan Ani dan Hiro banyak dihuni orang asing karena pemiliknya bisa berbahasa Inggris.

Mini stop

Lampu merah kedua belok kiri bu, jalan lurus saja, nanti ketemu Uniqlo“, kata Ani. Saya berjalan santai, di sini masih ada Seven Eleven, yang tidak kita temui lagi di Jakarta. Selain Seven Eleven, minimarket yang saya lewati adalah Mini Stop.

Uniqlo di Toyohashi
Edion

Lokasi Uniqlo berdampingan dengan EdiOn…sejenis Electronic Center, menjual berbagai peralatan elektronik.

Tempat parkir di Uniqlo penuh pengunjung, begitu masuk Uniqlo, saya berpapasan dengan pengunjung yang sebagian besar membeli baju untuk persiapan musim dingin. Saat ini mendekati akhir musim panas, cuaca tak sepanas seperti saat saya baru datang di Jepang.

Susah juga cari blouse bukaan depan, mungkin lagi tidak model, saya ulang lagi menyusuri lorong sambil melihat satu persatu. Yang banyak blouse bertema polkadot (Ani tidak suka polkadot), dan blouse kotak-kotak.

Saya ragu untuk beli … kembali lagi menyusuri lorong demi lorong, akhirnya ketemu blouse model sederhana dengan pilihan warna putih dan coklat. Saya naksir blouse hitam sederhana lengan tiga perempat, setelah mikir-mikir akhirnya saya ambil blouse hitam ukuran M dan blouse coklat ukuran S untuk Ani.

Tempat parkir sepeda di Uniqlo, Toyohashi

Saat mau mencoba baju, saya ditanya apa akan coba baju (kira-kira, karena saya nggak bisa bahasa Jepang). Saya diberi plastik yang modelnya aneh…sayang lupa memotret. Rupanya untuk penutup kepala agar baju yang dicoba tidak terkena bedak atau lipstik. Sepatu saya lepas dan ditinggal di luar sebelum masuk tempat untuk mencoba baju yang di bawahnya dikasih karpet… syukurlah saya sudah dikasih tahu Ani saat mencoba baju di Mal Apita tahun yang lalu.

Setelah saya coba pas….saya ke kasir, rupanya pembayaran sudah otomatis. Banyak juga yang masih bingung, terutama ibu-ibu sepuh, termasuk saya, ibu sepuh yang nggak bisa bahasa kanji. Syukurlah kasirnya bisa berbahasa Inggris, sepertinya dia bukan orang Jepang dari bentuk hidungnya yang tinggi. Saya dipandu untuk menjawab pertanyaan di mesin….dan semua tulisan berupa  huruf kanji. Dia tanya, saya mau bayar kas atau pakai credit card. Saya jawab kas….saya disuruh memasukkan uang…dan keluar uang kembalian beserta struk bukti bayar, lengkap dengan harga masing-masing barang yang dibeli. Benar-benar efisien dan cukup satu kasir untuk melayani Uniqlo yang besar.

Jalan ke arah Uniqlo, sepi di siang hari

Keluar dari Uniqlo, saya tergoda ambil jalan lain. Tapi ingat pesan Ani, jalan di Toyohashi bukan berupa kotak tapi melingkar, nanti bisa surprised dengan ekspektasi kita. Akhirnya saya kembali menyusuri jalan seperti pergi nya…kok kaki terasa pegal ya.

Valor supermarket sudah kelihatan, jadi saya mampir dulu ke Valor dan langsung menuju Fujiya untuk pesan  jus, saya minum sambil beristirahat, dan melihat orang lalu lalang di supermarket ini. Di depan saya kelihatannya anak SMA sedang belajar bersama teman-teman nya.

Jus mangga, yang asam…tak seenak mangga Indonesia.

Saya masuk supermarket, betapa senangnya ketemu buncis, hanya tinggal 2 (dua) pak, langsung saya beli semua. Saya mulai menyusuri lorong, mencari ikan teri yang kecil-kecil yang bisa dimasak dan dimakan, seperti yang ditunjukkan Hiro. Pas ketemu petugas, saya tanya apa ada ikan jambal, sambil menunjukkan hasil google translate. Ehh dia ganti tanya petugas lain, dan petugas kedua tanya petugas ketiga. Dan heboh diskusi….saya melongo karena nggak ngerti diskusinya. Akhirnya salah satu menghadap saya sambil ngomong dan membungkukkan badan 2x (dua kali). Saya menafsirkan barangnya tidak ada….jadi saya ikut membungkuk sambil bilang “hai”….dijawab oleh mereka “arigato gozaimaze“.

Saya melanjutkan cari tamago (telur ayam)…ehh ketemu ikan yang seperti ikan jambal. Saya foto untuk ditunjukkan pada Hiro….dan Hiro cuma bilang…iya itu ikan asin….mungkin di Jepang tak mengenal ikan jambal, tapi ikan yang diasinkan. Sepanjang saya berada di Jepang, cerita ikan jambal ini jadi gurauan kami sehari-hari.

Oseng-oseng toge teri dan oseng2 buncis wortel

Dan pagi nya, saya jadi masak oseng-oseng tauge ikan teri, dan oseng-oseng buncis dan wortel. Hiro ikut mencoba tapi nggak komentar…. tapi yang penting, Ani makan dengan lahap.

Mukaiyama Park

$
0
0

Hari ini saya berniat mengunjungi Mukaiyama Park, taman yang luas  ke arah jalan menuju Apita Mal. Taman ini sering disebut juga Taman Sakura (eeh atau istilah anakku ya?), karena didominasi oleh pohon sakura. Pada saat sakura berbunga, taman ini sangat ramai, karena banyak keluarga atau rombongan orang yang menikmati bunga sakura bermekaran.

Taman Sakura

Sayang saya datang pada saat menjelang musim gugur, cuaca tidak panas menyengat seperti sebelumnya, namun juga belum terasa dingin. Ini memang waktu yang enak untuk berjalan-jalan menikmati udara segar. Jalan terlihat padat kendaraan karena waktunya orang berangkat kerja.

Dari apato Ani, saya berjalan kaki, melewati Valor Supermarket, kemudian belok ke kiri.  Jalan mulai menanjak…hosh…hosh. Jalan sepi sekali, terdengar suara anak-anak  kecil sedang bernyanyi,  di bangunan sebelah kiri yang saya lewati kemungkinan sekolah TK atau day care…. karena saya berpapasan dengan seorang ibu yang menggandeng putri kecilnya, berbelok ke tempat tersebut. Di depannya ada bangunan tingkat dua, di depannya ada ambulance, belakangan saya tahu dari Ani, ternyata ini bangunan untuk Panti Lansia.

Bangunan rumah

Saya agak ragu saat melihat pepohonan rimbun di belakang jejeran rumah, apakah saya salah jalan? Saya lihat peta lagi, dari peta taman ini terlihat luas, ada beberapa pintu untuk masuk ke taman ini, salah satunya melalui jalan yang saya lalui ini. Tak lama terlihat pintu Mukaiyama Park yang terbuka lebar. Taman ini benar-benar sepi … saya tidak kawatir sama sekali. Ya memang total penduduk Toyohashi tidak sampai 400.000 orang, dengan luas 261, 86 km2. Hanya satu dua orang yang lewat di taman ini.

Daun pohon sakura mulai rontok

Taman ini penuh dengan pohon sakura yang daun-daun nya sedang rontok, terbayang indahnya saat nanti hamparan sakura berbunga di awal musim semi. “Bagusan bunga sakura di belakang apato bu“, kata si bungsu.” Kenapa?”, tanyaku. ” Ya, karena sepi sehingga bisa dinikmati. Kecuali kita sedang Hanami, menggelar tikar untuk menikmati bunga sakura, baru Mukaiyama Park sesuai,” jawab si bungsu.

Monumen di dalam Mukaiyama Park

Saya memasuki taman ini, suasana yang sepi  membuat suara burung bersahut-sahutan terdengar jelas. Agak seram juga karena terlalu sepi. Dari jauh saya hanya melihat dua orang melewati pinggir jalan ini, apakah jalan itu yang menuju Apita Mal?

Di sebelah kanan terlihat ada tugu/ monumen  dengan tulisan kanji, kemudian ada tempat minum terbuka. Di sini air kran bisa diminum, ini nantinya saya lihat selalu ada di taman-taman umum.

Air minum di Mukaiyama Park

Ada bapak- usia 40 tahun an  sedang berjalan kaki sambil sibuk melihat hape nya, saya mengikutinya dari jauh karena ingin tahu taman ini isinya apa saja. Makin lama bapak ini makin masuk ke dalam taman, melalui pohon yang besar-besar…belakangan saya tahu, bahwa Mukaiyama Park ini terbagi dua bagian, bagian yang dekat Valor Supermarket dipenuhi tanaman Sakura, sedang di sisi yang lain penuh dengan tanaman bertajuk rimbun dan tinggi…ini yang terlihat di belakang perumahan tadi.

Membuntuti bapak yang sibuk main hape..kok masuk ke kuburan?

Saya terus mengikuti bapak yang sibuk melihat hapenya tadi…dia belok kanan…lho..lho…kok masuk ke dalam kompleks kuburan. Jangan…jangan….wahh…saya langsung balik badan dan cepat-cepat mencoba mencari jalan keluar dari Mukaiyama Park ini.

Power plant

Saya menuju jalan keluar, lebih aman melalui jalan umum, rasanya agak kawatir juga jalan-jalan sendirian di taman luas yang sepi sekali, karena hari ini merupakan hari kerja, jadi salah deh saya jalan-jalan ke taman pas hari kerja. Setelah di jalan raya, saya menuju ke arah kanan, kemudian belok kanan lagi, melalui bangunan  “power plant“.

 

Mukaiyama Foresta

Saya melanjutkan perjalanan melewati bangunan power plant, tak lama kemudian sampai di “Mukaiyama Foresta“. Ternyata di depan Mukaiyama Foresta ada pintu masuk ke Mukaiyama Park yang lebih luas dan terang.

Di sebelah kiri ada bangunan tempat main anak-anak, ada beberapa ibu muda mengajak anaknya  bermain di perosotan, di ayunan, juga ada  yang sedang menyuapi anaknya.  Rupanya dari pintu ini, melalui jalan di dalam Mukaiyama Park, bisa sampai di pintu jalan lainnya. Saya berpikir, pas pulangnya saya akan mencoba melalui jalan di dalam Mukaiyama Park ini, yang terlihat lebih dekat dibanding memutari jalan raya.

Rumah dekat Mukaiyama Park

Saya melanjutkan perjalanan melalui perumahan di pinggir Mukaiyama Park ini. Saya terus berjalan sambil memotret rumah penduduk. Saya ingat kata-kata Hiro .. “Rumah-rumah di sini bisa dibangun secara knock down…ada ukurannya“. Saya memperhatikan dengan teliti. Walau berbeda, tapi ukuran jendela, pintu, memang terlihat ada ukurannya. Kalau kita ke toko, kita bisa beli korden yang sudah jadi, sesuai ukuran jendela kita.

Tak lama sudah terlihat bangunan warna kuning orange, berarti Mal Apita sudah dekat.  Saya melanjutkan jalan kaki … kakiku mulai pegal, maklum beberapa hari ini jalan terus,  ke  Chubu Int’l Airport, ke Uniqlo dan jalan-jalan di sekitarnya. Besok harus istirahat dulu, biar ada jeda…

 

Mencoba memasak untuk sehari-hari

$
0
0

Andai disuruh memilih, memasak atau menjahit, saya akan memilih menjahit. Rasanya memasak adalah pekerjaan yang cukup sulit buatku, selain rasa masakanku sangat biasa, juga badan rasanya gerah. Jika si mbak pulang kampung dan saya harus memasak untuk anak-anak….wahh tiap habis memasak, saya mandi dan cuci rambut…jadi cucian bertambah drastis. Saya salut dengan orang yang hobi memasak.

Jadi memasak ini merupakan  ilmu yang betul-betul kurang saya kuasai. Dibesarkan oleh ibu pekerja yang aktif berorganisasi, memasak bagi keluargaku yang penting sehat dan praktis. Bahkan saat saya kecil sampai remaja, jika musim ujian, yang penting masak nasi, lauknya bisa dibeli.

Bayangkan saat saya mahasiswa dan harus tinggal di APIPB (Asrama Putri IPB),  penghuni dalam satu kamar bergiliran masak untuk seluruh penghuni asrama yang berjumlah 50 orang. Jenis yang dimasak: sayur, tempe/tahu, daging/telor/ikan, buah dan sambal (ada dua jenis sambal, sambal terasi dan bukan terasi). Apa nggak ada bibi asrama? Ada dong ….. total ada 11 bibi dan satu penjaga (laki-laki). Bibi untuk bersih-bersih kamar ada 8 (delapan), bibi yang khusus untuk mencuci sprei 1 (satu), bibi yang membantu memasak ada 2 (dua). Sedang tugas pak Sukidi, selain jaga malam , juga memasak nasi untuk pagi hari, serta jika ada listrik mati atau hal-hal lain yang memerlukan tenaga laki-laki.

Kalau begitu, kenapa harus masak bergiliran? Karena bibi tukang masak baru datang jam 6.30 pagi, sedang kami mulai kuliah tepat jam 7 pagi. Bibi biasanya hanya membantu saja karena jam 6.30 pagi kami harus berangkat kuliah. Dan susahnya teman sekamarku, alm Uni Zalidar Jacub yang asli Minang, pintar memasak. Kebayang kan, betapa stres nya dia punya teman sepertiku yang kikuk urusan dapur. O, ya kalau pas giliran belanja untuk memasak, belanja nya bisa 3 (tiga)  jam di pasar Bogor…pulang nya satu bemo penuh belanjaan kami untuk keperluan masak makanan 2 (dua) hari. Ada hikmahnya sekamar sama Uni, minimal saat awal menikah saya bisa memasak seperti yang selama ini dimasak oleh kamar M (kamarku).

Sapo tahu buatan Hiro

Nahh menantuku yang dari Jepang pinter masak. Dia udah bisa masak masakan Indonesia yang rasanya udah persis aslinya, antara lain: pepes ikan, ayam bumbu rujak, semur daging, kare, sop, soto ayam, sapo tahu. Adanya dedek bayi membuatku harus terjun ke dapur juga, karena saya nggak tega lihat Hiro jempalikan ngurus dedek dan harus selalu masak.

Orak-arik telor

Walau keder, akhirnya saya terjun juga ke dapur…masakan pertamaku “ca pocai” (sayang lupa difoto), kemudian pagi besoknya dadar telur…. selanjutnya orak-arik telor. Hahaha…masakan sederhana kok dibanggakan. Bagaimanapun itu suatu achievement lho….dan Hiro ikut makan masakanku, entah apa yang dipikirkan…semoga nggak terlalu kacau. Buat anakku, komentarnya ” masakan ibu enak kok”….mungkin agar ibunya semangat…hahaha.

Begitulah, saya bergantian memasak  dengan Hiro. Saya membuka kulkas, menemukan daging, kemudian saya lihat ada kentang. Jadi saya kemudian memasak semur daging kentang. Bawang merah diganti dengan bombay, karena Ani nggak punya persediaan bawang merah. Karena bumbu dapur seperti laos, salam, cabe merah, ditaruh di freezer, maka terpaksa saya menunggu agak lama agar laos bisa diiris. Sebetulnya Ani sudah dibawakan temannya layah (apa ya bahasa Indonesia nya) dan uleg-uleg, tapi saya malas menguleg, jadi pilih masakan yang bumbunya cuma diiris saja. Senang melihat anakku makan dengan lahap.

Tumis buncis tahu

Hiro tanya, “ibu mau dibelikan buncis?” Tentu saja saya menjawab mau, karena di Valor supermarket nggak selalu ada buncis, sayur yang selalu ada adalah wortel. Jadi bisa ditebak, selanjutnya saya buat oseng-oseng buncis dan wortel. Dan ternyata Hiro suka sekali masakanku oseng-oseng buncis dan daging cincang. “Oishi“, kata Hiro….Wahh serasa sudah lulus ujian.

Pas ada tempe, yang harganya sama dengan harga daging, saya mencoba membuat kering tempe. Karena bagi orang Jepang, minyak sisa tak bisa dibuang sembarangan, harus dicampur dengan tepung, kemudian baru dibuang ke tempat sampah, saya menggoreng tempe dengan minyak secukupnya…. artinya minyaknya hanya sisa sedikit, dan cukup untuk memasak bumbunya sebelum dicampur dengan tempe dan diberi kecap manis. Ini masakan yang disukai anakku, sehingga selama berada  di Toyohashi, saya membuat kering tempe dua kali.

Semur daging, kentang, wortel.

Sebelum pulang ke Jakarta, saya sempat memasak semur daging kentang….betapa bahagianya saat anakku kirim WA, bahwa Hiro menanyakan resepnya apa. Saya percaya, Hiro masakannya akan lebih enak dibanding saya.

Pas draf tulisan ini dibuat, baby D bolak balik  minum susu, sehingga mamanya klenger. Saat jam 9 malam, kami baru bisa menikmati makan malam, mengobrol sambil menikmati pisang goreng buatan Hiro.

 

 

Baby D jalan-jalan ke Miyuki Park

$
0
0

Sabtu, 28 September 2019

Baby D bersama Papa dan Yangti

Hari ini diramalkan cerah dan kemungkinan hujan di sore hari. Sudah agak lama ingin mengajak baby D jalan-jalan sebentar agar kena panas matahari. Mungkinkah?  Setelah berkutat di kesibukan akhir pekan, beres-beres dan beli kebutuhan yang diperlukan, Hiro sempat istirahat sebentar.

Maklum tugas belanja yang harus pakai kendaraan pribadi dan bebersih yang berat menjadi tanggung jawab Hiro, karena Ani sibuk dengan baby D. Hiro juga sangat membantu, dari mencuci botol, angkat sampah, mengayun-ayun baby D…yang belum dicoba hanya memandikan baby D. Kondisi tanpa si mbak membuat suami isteri harus bekerja sama, dan mempunyai anak merupakan komitmen jangka panjang.

Baby D bersama bunda dan Yangti

Setelah melewati 2 (dua) minggu di Toyohashi, saya lebih santai dan bisa jalan-jalan, karena mau tak mau Ani  harus mandiri kalau saya kembali ke Indonesia. Saya tak kawatir karena saya melihat, Hiro dan Ani bisa bekerja sama merawat baby D. Yaa…baby D semakin lucu, dan sensitif terhadap bunyi-bunyi nada tertentu. Jadi mesti pelan-pelan jika mencuci piring gelas, memasak, dan kegiatan lain yang bikin Baby D terbangun.

Kursi di taman untuk istirahat

Siang menjelang sore ini, Ani memutuskan mengajak jalan-jalan Baby D ke Miyuki Koen. Ini taman yang belum sempat saya kunjungi, dan merupakan taman yang disukai Ani. Jika Mukaiyama Park penuh pohon sakura dan pohon-pohon tinggi berdaun lebat, Miyuki Park tamannya lebih friendly buat family. Lokasinya tidak jauh, dari Valor supermarket jalannya lurus terus, jaraknya dari apato nggak sampai 2 (dua) km, dan jika mengelilingi danau yang ada di tengah taman kira-kira 500 m.

Taman, danau dan tempat bermain anak-anak. Fasilitas lengkap untuk sebuah taman.

Saat sampai di Miyuki Koen (Miyuki Park, Koen=park),  tempat parkir nyaris penuh, syukurlah masih ada tempat untuk parkir. Jalan ke sini lumayan macet karena Sabtu sore, syukurlah baby D  bobo tenang di tempat tidur khusus bayi (car seat kids).

Di Jepang, bayi tak boleh di gendong, tapi harus ditempatkan di kursi khusus bayi di belakang. Kami mulai berjalan dengan baby D diselimuti agar tak masuk angin. Saat ditaruh di stroler, baby D nangis dong… mukanya langsung merah, biasanya jika muka nya merah dan mulutnya bergerak-gerak, itu tanda minta susu. Jadi Hiro menemani Ani kembali ke mobil untuk menyusui Baby D dulu.

Anjing diajak jalan-jalan

Saya sibuk mengambil foto dan mengamati taman ini. Banyak yang datang ke taman ini, keluarga dengan anak-anaknya. Ada yang berlari mengelilingi danau, ada yang menemani anak-anak bermain diberbagai alat permainan, ada juga yang mengajak anjingnya jalan-jalan. Tak ketinggalan para pinisepuh jalan-jalan, ada yang harus dibantu dengan tongkat.

Shinkansen

Setelah puas menyusu, baby D kembali bergabung bersama papa mama nya. Kami meneruskan jalan mengelilingi danau, ketemu beberapa orang yang mengajak anjing-anjing nya yang besar dan berwarna putih untuk berjalan-jalan. Saya melihat beberapa kali shinkansen (kereta cepat) lewat, rupanya taman ini dekat dengan jalur perlintasan shinkansen.

Taman yang bersih dan rapih

Pemandangan taman ini sungguh menarik, ada tugu yang dikelilingi bunga berwarna ungu, serta pohon sakura yg mulai rontok daun nya.

Baby D lebih suka digendong

Beberapa pohon daun nya berubah kuning, kemerahan…dan rontok. Kami mengambil foto-foto lagi dengan dedek bayi yang tetap tidur. O, iya stroler akhirnya menganggur, karena dedek bayi lebih suka digendong mama. Kata orang, sudah bau tangan.

Setelah memutari danau, kami segera kembali ke tempat parkir, dan pulang. Jalanan macet, dedek yang sudah menikmati digendong mama mulai menangis…. makin lama makin kencang. Saya tepuk-tepuk pelan badan nya tetap menangis. Rasanya gemes pengin menggendong, tapi di sini dilarang.

Begitu sampai halaman apato, dan dipeluk mama, baby D langsung diam. Haduhh dek, berarti belum bisa diajak jalan jauh dan tak bisa lewat tol ya. Di apato, papa mengajak baby D menari “papa dance“( nama tarian papa saat momong baby D)….dedek senang sekali…

Menyusuri sungai Yagyugawa

$
0
0

Minggu, 29 September 2019

Fotoapato Hiro dan Ani dari seberang sungai, terlihat pohon sakura mulai berguguran daunnya.

Di belakang apato Hiro dan Ani ada sungai yang jernih airnya. Kalau airnya lagi surut seperti sekarang, terlihat ikan berenang-renang di sungai, tidak heran ada bangau yang sering datang ke sungai.

Bagau putih

Saya menemukan bangau warna hitam dan putih, sayang saat saya mendekat, bangau warna hitam mulai mengepakkan sayapnya dan terbang. Sepanjang menyusuri sungai saya ketemu dengan empat bangau, ada yang sedang berteduh di bawah pepohonan yang tumbuh di tengah sungai. Sayang saya tak ketemu dengan kura-kura, kata Hiro kura-kura ini sering diam saja tak bergerak sehingga kita sering menyangka batu. Ani juga baru tahu bahwa itu kura-kura saat diberitahu oleh Hiro.

Di bawah pohon sakura saat berbunga. Lokasi foto ini di belakang apato (foto diambil dari FB Ani).

Pertama-tama saya ingin memotret apato dari sisi seberang sungai, gara-gara melihat foto yang dipajang di apato, kelihatan apato nya bagus sekali dengan panorama pohon sakura. Memang sepanjang sungai ditanami pohon sakura, kecuali di belakang apato Ani dan Hiro. Ada foto lagi yang menarik, saat Ani dan Hiro duduk-duduk menikmati sakura yang sedang berbunga, dan rupanya ini diambil dari lokasi pohon sakura di dekat apato tempat tinggalnya.

 

 

Anak sekolah naik sepeda.

Saya ketemu dengan anak-anak berangkat sekolah naik sepeda pakai seragam putih biru dan mengenakan topi, juga pekerja yang naik sepeda ke tempat kerjanya.

Jalan di pinggir sungai ini memang sering dilalui orang yang pergi dan pulang bekerja dengan naik sepeda, juga para pelajar yang pergi pulang sekolah. Untuk negara yang industri manufaktur nya terkenal, rasanya memang aneh bahwa para pekerja nya lebih suka naik sepeda. Apalagi prefektur Aichi ini tempatnya industri seperti Toyota dan lain-lain. Bahkan pengiriman gerbong MRT Jakarta melalui pelabuhan Toyohashi.

Pekerja berangkat kerja

Jalan di tepi sungai ini bertemu dengan dengan jalan besar persis di ujung kanan Valor supermarket, saya mencoba memotret apato dari seberang sungai. Tentu saja hasil foto tak seindah foto di apato Hiro karena saat saya mengambil foto, sakura sedang tidak berbunga bahkan daun-daun nya mulai rontok. Setelah mengambil beberapa foto, saya melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Yagyugawa.

Rumah di pinggir sungai

Semakin jauh, saya mendapati jajaran rumah-rumah pribadi dengan halaman, lengkap dengan mobil pribadi. Sepertinya perumahan di sisi jalan dekat sungai ini lebih mahal dibanding saat saya jalan-jalan ke lokasi sebelumnya.

Rumah Nobita?

Walau bentuknya berbeda, rumah di sini mempunyai jendela yang hampir mirip, ada beberapa ukuran tertentu. Hal ini memudahkan jika ingin membeli gorden atau berbagai fasilitas peralatan rumah tangga lain.

Yang menarik ada tempat duduk-duduk di pinggir sungai ini, jadi saya beberapa kali duduk di bangku sambil melepaskan lelah, mengukur kekuatan sebelum melanjutkan perjalanan.

Istirahat dulu di bangku sambil menikmati sungai yang jernih.

Dan setiap kali saya harus berpikir dulu, nanti kira-kira pulangnya saya juga akan melalui perjalanan sejauh saya berangkat, dan berpikir kuatkah saya? Maklum saya hanya berjalan kaki dan sendirian, rasanya Jakarta menjadi nikmat, karena bisa order gojek kalau kecapekan jalan kaki, atau naik bajaj dan kendaraan umum lain yang jenis nya bermacam-macam.

Di satu sisi, kota ini sangat bersih, rapih, masyarakat nya ikut menjaga, bahkan air sungai jernih dan tak terlihat ada sampah mengapung di air sungai. Saya sempat bertanya ke anakku, “kok ibu nggak pernah ketemu orang menyapu jalan ya“. Mungkin karena sampahnya hanya berupa daun jatuh, yang nanti tersapu angin dan menjadi pupuk, menyapu jalan tak harus dilakukan tiap hari seperti di Jakarta. Kalau di tempat fasititas umum seperti stasiun dan airport, saya masih menemukan petugas sedang menyapu lantai.

Tangga batu di tepi sungai

Pinggir sungai ditata jalan yang mudah dilalui sepeda, pejalan kaki, dan ada tangga batu menurun sampai ke bawah sungai, sedang dari jalan ke arah jalan yang lebih bawah dan dekat sungai, tangga batu ini diberi pengaman berupa rantai dari besi. Maksudnya agar orang-orang seusia saya bisa berpegangan saat turun tangga.

 

Ujung sungai sebelum berbelok

Saya akhirnya sampai diujung perumahan, saat mau menyeberang, saya tak melihat tanda garis-garis di aspal jalan tempat menyeberang. Di depan ada mobil yang kelihatannya mau belok ke kanan. Saya berdiri menunggu, ternyata driver memberi kode agar saya menyeberang jalan duluan. Di sini, saya sebagai pejalan kaki benar-benar merasa dihormati oleh para pengemudi mobil. Setiap kali mau menyeberang di jalan yang tak ada lampu merahnya, pengemudi mobil mempersilahkan saya menyeberang duluan, jika melihat saya berdiri di tepi jalan dan terlihat mau menyeberang.

Perjalanan saya menyusuri sungai sampai ke jalan besar, sungai nya mulai berbelok. Saya membuka peta yang sudah diberi tanda bahasa Inggris oleh anakku (maklum informasi di peta huruf kanji semua), melihat perempatan jalan yang jika saya belok ke kiri, akan sampai di Apita Mall, dan di depan nya ada Taman Lalu-Lintas, serta di seberangnya Ooike (danau Oo, Ike=danau). Saya berpikir-pikir, akankah saya meneruskan perjalanan ke Apita? Ahh masih cukup pagi, pikirku setelah melihat jam…. dan saya melanjutkan langkah kaki ke arah Apita Mall.

 

 

 

OOIKE

$
0
0
Walking Path

Perjalanan saya menyusuri Yagyu river akhirnya sampai ke jalan besar, sungainya berbelok. Saya membaca peta huruf kanji, yang di beberapa tempat telah dikasih tanda oleh Ani. Pilihannya mau balik lagi atau jalan terus, karena kalau jalan terus harus memikirkan kekuatan kaki, berarti kira-kira  saya akan jalan kaki 6 km pulang pergi. Bismillah, saya meneruskan perjalanan, sampai perempatan, saya belok kiri. Di kiri jalan ada show room Daihatsu yang berseberangan dengan show room Mazda. Berbagai toko dengan huruf kanji,  saya nggak bisa baca, apalagi ngerti artinya.

Peta Ooike

Saya melanjutkan jalan kaki, agak lelah sebenarnya, tapi saya menyemangati diri sendiri. Hosh…hosh…di sebelah kiri ada kerimbunan pohon, rupanya jalan ini berbatasan pula dengan Mukaiyama Park…kata Ani pada saat ketemu sorenya, pohon yang saya lihat di Mukaiyama Park sebelumnya adalah bagian koleksi pohon sakura…tapi di ujung berlawanan koleksi pohon nya beda…sebagian besar ueme dan pohon besar lain nya. Di kanan jalan, ada lapangan tennis, banyak orang melihat dan main tennis, saya ingat… hari ini memang Minggu pagi.

Ooike Dori

Akhirnya terlihat Apita Mal dengan warna kuning oranye, berarti Oike yang terletak di seberangnya  sudah dekat. Saya menyeberang jalan….dan sampailah di danau yang berada di tengah taman.

Taman lalu Lintas

Langsung saya duduk di kursi taman sambil menggoyang kaki. Setelah istirahat sebentar, saya mulai memotret….persis di seberang Ooike Park ini ada Taman Lalu Lintas….tapi saya sadar, tak mungkin pergi ke Taman Lalu Lintas. Mesti ingat nanti masih harus jalan kaki kembali ke apato.

Saya mulai mengelilingi danau, banyak orang  yang berolah raga di sekeliling danau, ada bapak sepuh jalan cepat sambil membawa barbel. Anak muda lebih suka memancing, ada yang sendirian, ada yang bersama teman-teman nya.

Memancing

Di beberapa tempat ada tempat istirahat di tepi danau, ataupun kursi di taman. Wahh…melihat banyak para pinisepuh, ada yang jalan nya tertatih-tatih, ada yang jalan dibantu tongkat…membuatku bersyukur, di sini saya jadi merasa masih muda, karena banyak yang jauh di atas usiaku masih aktif olah raga.

Danau di tengah taman Ooike

Saya mengelilingi danau sambil memotret dan duduk lagi di pinggir danau. Ini danau ketiga yang saya kunjungi selama di Toyohashi, yaitu Suijin Ike (dan ternyata Ani malah belum ke sini lho) di Undoukoen, Miyuki Lake dan Ooike (Ike=danau).

Taman yang indah dan segar

Rasanya nikmat hidup di kota ini, kotanya sepi, tenang dan damai….apalagi di usia senja. Hmm … namun Jakarta juga menarik, bahkan tak harus jalan kaki,  bergerak sedikit sudah ada ojek, ada go food untuk pesan makan, go massage, go clean dan lain-lain…cuma di Jakarta udaranya kurang bagus karena polusi.

Setelah puas berkeliling danau, saya duduk lagi di kerumunan para warga sepuh. Ada bangku bundar dari kayu di tengah-tengah nya, ada yang bagian lebih tinggi. Saya perhatikan bapak ibu sepuh itu bersandar di bangku bundar tersebut. Begitu seorang bapak pergi…segera saya ganti duduk di situ sambil bersandar….duhh nikmatnya…

Danau

Setelah lelah berkurang, saya menyeberang jalan untuk masuk ke Apita Mal…duduk lagi di bangku kayu bawah tangga. Duhh kalau udah usia nih memang harus bolak balik istirahat. Setelah lelah agak reda, saya mesti cari makanan nih, udah mulai agak pusing. Ingat pesan Ani, di pojok lantai 2 (dua) Apita ada cafe kecil…. ibu coba aja, karena dijual kue-kue dan bisa duduk. Saya mengelilingi lantai 2 (dua)….dan ketemu NV cafe yang kecil di pojok lantai 2 (dua).

Saya memasuki cafe dan pesan makanan. Petugasnya bisa sedikit bahasa Inggris tapi dia harus memastikan pesananku. Dia memanggil salah satu tamu yg sedang mengobrol dengan teman-teman nya, memastiksn pesananku benar. Dia menawarkan morning set… terdiri dari roti panggang, mentega, selai strawberry, telur rebus dan teh (saya pilih hot lemon tea), harganya Y520.

Habis sarapan badan terasa segar, saya putar-putar lagi di Apita Mal, di seling tiga kali duduk beristirahat di kursi. Yang menarik di Apita Mal adalah banyak tempat duduk untuk pengunjung….tak heran pengunjung nya banyak yang sudah sepuh bisa duduk di kursi, setelah lelah berbelanja. Di pinggir depan bangunan Mal juga disediakan banyak bangku kayu untuk duduk-duduk.

Setelah puas, dan tak ada yang ingin dibeli, saya ke toko roti, beli shiopan (salt bun), croissant dan roti bulat yang isinya madu (?). Saya mulai jalan lagi kembali ke apato, melewati bagian dalam Mukaiyama Park, dan mampir ke Valor untuk beli melon.


Apita Mal

$
0
0

Pertama ke Apita Mal setahun yang lalu, saat itu waktu kunjungan saya ke Jepang hanya 9 (sembilan) hari, juga saat itu awal bulan September,  saat cuaca di Toyohashi masih panas. Saat itu di Mal Apita sedang  berlangsung diskon besar-besar an, karena akhir September sudah mulai musim gugur. Anakku bilang, “Ibu, daster di Apita bagus-bagus dan murah.” Jadi akhirnya ke Apita jalan-jalan dan ujungnya beli daster. Saat itu ke Apita bersama Ani naik mobil, namun kali ini saya harus berjalan kaki, karena tentu saja Ani sibuk dengan bayinya.

Peta lokasi Kota Toyohashi

Sebelumnya saya dan Ani mengukur jarak dari apato ke Apita Mal, melewati Mukaiyama Park. Kalau lewat jalan besar jaraknya terlalu jauh. Jadi, peta yang semua nya tulisan huruf kanji, di beberapa tempat diberi tanda dan dinamakan dalam bahasa Inggris untuk memudahkan saya membacanya. Dari apato melewati Valor supermarket, belok ke kiri, jalannya menanjak, melewati Mukaiyama Park belok kanan, setelah ada perempatan jalan belok kiri dan lurus terus, sampailah ke Apita Mal.

KFC di Apita Mal

Dari jauh Apita Mal mudah dilihat, dari catnya yang berwarna kuning dan oranye. Saya melihat jam, masih jam 9.30 am. Saya lihat parkir sudah setengah penuh dan ibu-ibu banyak berlalu lalang. Saya istirahat dulu di bangku kayu depan Apita, sambil menggoyangkan kaki biar rasa lelah berkurang setelah mengelilingi Mukaiyama Park.

Lotteria di Apita Mal

Setelah lelah berkurang,  saya kemudian ikut masuk Mal, yang buka baru bagian supermarket nya. Di bawah tangga, yang masih ditutup tali, banyak ibu-ibu yang sepertinya habis olahraga, sambil duduk-duduk di bangku kayu, menunggu jalan ke arah tangga dibuka. Saya melihat-lihat lorong demi lorong…di ujung terlihat jejeran restoran, antara lain: KFC, Lotteria, Spageti House dll yang sudah buka. Karena sudah sarapan, saya nggak berminat masuk resto.

Jejeran resto di Apita Mal

Akhirnya saya menunggu sambil duduk di bangku kayu. Tak lama jalan ke arah tangga dibuka, saya naik eskalator ke lantai 2 (dua). Di sini berjejer toko pakaian yang sedang obral. Kenapa kok saya kurang berminat ya? Ada blouse yg dijual seharga Y300, Y500 dan banyak dikerumuni ibu-ibu. Mungkin saya sudah lelah berjalan. Mau mampir untuk duduk di cafe sambil istirahat juga tak berminat. Jam menunjukkan 10.30 am …. saya akhirnya kembali berjalan untuk pulang. Saya melalui jalan di dalam Mukaiyama Park, yang lebih dekat.

Saya kembali melewati jalan yang tembus ke Mukaiyama Park, rasanya capek sekali.  Sambil jalan pelan-pelan, sesekali melemaskan kaki, papan petunjuk Valor sudah terlihat… betapa leganya. Begitu memasuki Valor, saya segera ke Fujiya untuk pesan teh dan kue….nikmatnya….. bisa duduk santai sambil melemaskan kaki, melihat ibu-ibu berbelanja.  Mungkin setelah mengantar anak ke sekolah, ibu belanja.

Tentu saja saya mencari roti lebih dulu, memilih shiopan (salt bun) untuk Ani dan kue donut untuk saya sendiri. Kemudian berlanjut ke tempat sayur. Melon sudah turun rating nya, maksimal 14 walau menurutku masih sangat manis. Buncis tidak ada…jadi saya cuma beli tauge, teri, wortel….daging tugasnya Hiro karena dia yang tahu lokasinya dimana bisa beli daging halal.

Sampai apato, Ani bertanya,” ibu nggak sekalian ke Ooike, itu taman yang ada danaunya, letaknya di seberangnya Mal Apita“. Saya menjawab…”Boro-boro nduk menyeberang ke taman Ooike, sampai Apita sudah lelah sekali, dan mesti mikir masih harus jalan kaki sekitar 1,6 km untuk pulangnya. Jadi ibu mampir dulu di Valor untuk istirahat sambil minum teh”. Ani bilang…”Itu yang kulakukan saat jalan-jalan pas hamil bu, mesti mikir pulangnya bagaimana, apa masih kuat“. Ya, terbayang di sini, tak semua jalur dilalui kendaraan umum, jika tak membawa mobil atau naik sepeda, ya terpaksa harus jalan kaki.

NV Cafe

Ke Apita kedua kalinya, saat saya mampir setelah mengunjungi Ooike (ike=taman), merupakan taman luas yang ditengahnya ada danaunya. Kali ini saya sudah banyak mengobrol dengan Ani, dia cerita kalau di Apita ada cafe kecil yang kelihatannya nyaman. “Coba ibu cari“, kata Ani. Saya mengelilingi lantai 2 (dua) dan akhirnya ketemu NV cafe. Syukurlah, yang menjaga sedikit bisa berbahasa Inggris, namun untuk memastikan dia mengajak salah satu pengunjung diskusi dengan saya untuk memilih pesanan.

Menu ” morning breakfast

Rupanya di Cafe ini ada menu morning set untuk breakfast,  yang isinya setangkup roti tawar dengan mentega dan selai strawberry, telur rebus, dan minuman, boleh memilih teh atau kopi. Saya memilih hot lemon tea, yang tehnya disajikan dalam teko, dan diberi pilihan lemon terpisah. Hmm…rasanya sedap, mungkin karena saya capek dan lapar sehabis mengelilingi danau di Ooike. Harganya murah, hanya Y 520, jauh lebih murah dibanding di Fujiya resto yang berlokasi di Valor Supermarket..

Mbak di NV Cafe yang ramah

Saya bilang sama si mbak, kalau makanannya enak, dan tanya apa saya boleh mengambil foto? Ternyata si mbak langsung beraksi di depan tanda NV Cafe.…dan langsung saya foto. Saya tunjukkan hasilnya, dia senang sekali.

Saya melanjutkan jalan-jalan, menemukan blouse bukaan depan untuk Ani, sayang saya tetap tak menemukan barang yang ingin saya beli. Saya hanya membeli kue, karena kata Ani, roti di Apita rasanya enak. Pulangnya saya kembali melewati Mukaiyama Park, karena memang jalan ini yang terdekat. Sampai apato rasanya legaaa…disambut tangisan baby D. Saya menyelonjorkan kaki sambil menikmati ” cocomax“… hmm segaaar.

 

 

Latihan beli tiket lewat mesin

$
0
0

Selasa, 1 Oktober 2019

Kereta memasuki stasiun Yagyubashi

Hidup di negara serba mesin ini, memang harus belajar menggunakan nya untuk mempermudah transaksi. Konyolnya, saya lupa saat latihan naik kereta api dari YagyubashiShintoyohashi-Stasiun ToyohashiJingu MaeChubu int’l airport. Beli karcis di stasiun Toyohashi ke Chubu Int’l Airport, selain menggunakan mesin, masih ada petugas yang melayani. Selama di Jepang ini, saya dibekali kartu oleh Ani, tinggal di tap di mesin, sehingga tidak perlu beli karcis lagi.

Pintu masuk stasiun Yagyubashi

Namun saat pulang ke Indonesia, kartu dari Ani mesti dikembalikan, sayang kalau saya bawa ke Jakarta, apalagi saldonya masih lumayan besar. Jadi minimal dari stasiun Yagyubashi, saya mesti beli tiket kereta api lewat mesin.

Masalahnya stasiun Yagyubashi kecil, sering tak ada petugasnya, jadi mau tak mau harus bisa beli karcis melalui mesin.

Peron stasiun Yagyubashi

Jadi, Selasa siang, saat baby D diajak papa mama nya untuk kontrol ke dokter, saya menyusuri jalan menuju stasiun Yagyubashi. Sampai di stasiun Yaguyubashi tidak ada orang satupun, saya ketuk-ketuk jendela kantor petugas, nggak ada jawaban.

Syukurlah, tak lama kemudian ada anak muda datang. Saya minta tolong diajari cara beli karcis. Karena stasiun Yagyubashi merupakan jarak yang terdekat dari Stasiun Shintoyohashi, logikanya harga karcis paling murah.

Mesin tiket

Anak muda tadi memandu, uang Y200 dimasukkan dalam lubang…tak lama muncul di layar angka Y200. Kemudian tekan tanda 140 (ada tujuan stasiun dalam huruf kanji)….keluarlah tiket beserta uang kembalian…

Ternyata setelah lihat foto mesin tiket di apato…di dekat huruf kanji di atas, ada tulisan latin nya…dasar udah panik… ini gara-gara trauma salah memasukkan uang ke lubang  saat naik trem listrik.

 

Mesin tiket

Puas muter-muter di pertokoan stasiun, saya kembali menuju stasiun Shintoyohashi, pas tanya petugas, dia menunjuk ke loket untuk beli tiket. Saya menggeleng, sambil bilang kalau saya mau belajar beli tiket melalui mesin. Petugas yang mungkin kurang memahami bahasa Inggris bingung, dia bertanya sama petugas lain nya, yang sama-sama bingung.

Sepertinya setiap kali pertanyaanku membingungkan petugas deh…syukurlah ada penumpang lewat yang mendengar percakapan kami, dia menghampiri kami dan bilang…”I know…I know“.  Jadi  saya memencet-mencet mesin tiket dipandu dia….dan keluarlah tiket. Saya mengangguk, sambil mengucapkan terima kasih.

Tiket Y 140

Saya jalan-jalan dulu di stasiun Toyohashi yang lumayan luas dan bertingkat dua ini. Stasiun Toyohashi juga menjadi satu dengan stasiun Shintoyohashi, dihubungkan dengan lorong panjang dan turun melewati eskalator. Stasiun Shintoyohashi ini khusus untuk kereta api yang menunju Tahara.

Saya ingat pengalaman berkunjung ke Jepang pertama kali, saat itu Ani masih sibuk dengan risetnya, dan tinggal di apato dekat Gikadai (sebutan untuk Toyohashi University of Technology). Saya sering jalan-jalan ke stasiun Toyohashi ini. Dari apato Ani yang terletak di Mecca Tempaku, saya jalan kaki sekitar 300 meter, kemudian nunggu bis ke stasiun Toyohashi. Bis ini ke arah sebaliknya,  menuju Gikadai, tempat Ani melanjutkan kuliah nya.

Di stasiun Toyohashi banyak pertokoan menjual baju, tas, koper. Beberapa kali saya mendapat baju dan baju hangat di sini, apalagi saat awal pertama datang adalah awal musim semi, jadi banyak diobral baju hangat, untuk digantikan dengan baju musim semi yang lebih tipis dan ringan. Di sini juga banyak berbagai resto, favorit saya adalah Danmark cafe, Excelsior cafe dan Starbucks…saat itu belum mengenal Tully’s cafe. Jadi, kali ini saya kembali mengulang jalan-jalan di stasiun Toyohashi. Saya mampir ke toko Ceria, yang menjual semua barang-barangnya dengan harga Y 100. Setiap kali tertarik mau beli sesuatu, saya ingat koper sudah penuh dan nanti saya akan menyeret koper sendirian menuju airport dan ganti kereta api dua kali. Pengingat ini membuatku tak jadi beli barang….lumayan ngirit ya.

Saya kembali ke stasiun Shintoyohashi menuju stasiun Yagyubashi, saya ulang lagi perjalanan sampai 4x (empat kali)  dengan jeda duduk-duduk dulu di bangku stasiun…sambil berharap tak ada petugas yang menghafal wajahku sambil bertanya-tanya dalam hati, ini orang mau apa ya kok bolak-balik.

Lelah…saya menuju TullY’s Cafe, duduk menikmati teh hangat dan wafel, sambil melihat orang duduk-duduk di taman. Awal musim gugur ini, cuaca di Toyohashi masih hangat, belum perlu tambahan pakai baju hangat. Dan rasanya cuaca saat ini pas untuk menikmati sore hari sambil duduk di taman bersama teman atau family. Andai ada teman lain yang menemani sore yang indah ini…

Tersesat sampai Kowa

$
0
0

Jumat, 4 September 2019

Pesawat yang akan membawa saya kembali ke Jakarta, direncanakan take off jam 10 pagi hari,  Sabtu tanggal 5 September 2019. Berhubung perjalanan dari Toyohashi ke bandara cukup jauh, apalagi saya harus membawa koper dan naik kereta api sendirian, maka diputuskan saya menginap di hotel dekat bandara sehari sebelumnya.  Pagi hari saya puas-puaskan menggendong dan bermain dengan baby D, karena siangnya saya sudah harus berangkat naik kereta api dari Toyohashi ke Chubu int’l airport. Hari ini waktu anakku kontrol ke dokter kandungan, jadi Hiro dan anakku beserta baby D mengantar sampai stasiun Toyohashi, kemudian melanjutkan perjalanan ke Rumah Sakit Kota Toyohashi. Sebelum berpisah, kami foto dulu di depan apato Hiro dan Ani…sayang baby D tidur nyenyak.

Hotel Comfort dilihat dari belakang, foto diambil dari pinggir laut

Setelah turun dari mobil, saya naik eskalator menuju lantai dua, karena stasiun tempat kereta api menuju bandara ada di lantai dua. Sampai lantai dua, ternyata tetap harus turun tangga karena posisi lantai di pintu masuk stasiun Toyohashi lebih rendah dari tempat berakhirnya eskalator. Saya ambil nafas panjang,  kemudian melangkah sambil membawa koper turun satu tangga. Istirahat…turun lagi satu tangga, begitu seterusnya sampai ke lantai tempat pintu masuk stasiun.  Saya cukup pede karena sudah latihan naik KA Meitetsu Line dari stasiun Toyohashi ke Chubu int’l Airport.

Laut di belakang hotel

Saya menuju ke loket untuk membeli tiket. Agar tidak lari-lari, karena ganti kereta hanya sekitar 10 menit padahal platform nya berbeda, saya pesan tiket non reserved agar lebih santai, walau ada risiko nggak dapat tempat duduk kalau kereta penuh. Kereta lumayan longgar, dari stasiun Toyohashi saya naik Meitetsu Limited Express tujuan Gifu, turun di Jingu Mae. Walau harga tiket sama  dengan  kereta yang saya naiki sebelumnya, tapi kereta api ini berhenti di 4 (empat) stasiun sebelum Jingu Mae, jadi 45 menit baru sampai Jingu Mae. Perutku terasa melilit, padahal dua hari cuma istirahat di apato dan bermain sama baby D. Ani sudah pesan agar ibu hati-hati makan nya karena mau bepergian jauh.

Sampai Jingu Mae saya turun, tanya sama petugas, dikasih tahu supaya naik lift menuju platform 3 (tiga) jika mau naik kereta ke airport. Saya melewati toilet, daripada bermasalah di perjalanan saya  mampir dulu. Keluar dari toilet saya cari platform 3 (tiga),  ternyata harus  melalui lift lagi agar sampai di platform 3 (tiga). Jadi sebetulnya lantai nya sama, tapi karena nggak mungkin menyeberang rel…mesti naik lift,  jalan memutar dan kembali turun ke lantai bawah, dengan naik lift yang berbeda.

Saya tanya petugas, kali ini dia nggak bisa bahasa Inggris, saya diajak lihat peta dan dia menunjuk nomor 48. Saat ada kereta api datang, saya dengan tenang naik kereta api, ada kursi yang maju ke depan, tapi kok nggak sebagus kereta dari Toyohashi ke Jinggu Mae? Saya tetap tenang walau hanya satu penumpang  yang membawa koper kecil.  Saat latihan, untuk kereta yang sama, beberapa penumpang membawa koper gede yang membuat saya yakin bahwa tujuannya benar ke airport.

Peta, seharusnya ke Tokoname (bandara), keliru ke Kowa di semenanjung yang berbeda.

Lama-lama penumpang makin sedikit, dan akhirnya tinggal saya sendiri. Petugas kebersihan mulai masuk gerbong, dia ngasih kode saya harus turun….saya lihat memang jalur kereta sudah mentok. Wahh bagaimana ini, saya menyeret koper dan memanggul ransel. Sampai kantor petugas, saya lihat petugas lagi ngobrol. Saya gedor pintunya, dia tanya … saya bilang, saya salah kereta, sambil menunjukkan tiket kereta. Si bapak teriak ke masinis yg sedang berjalan menuju kereta …masinis nya masih muda …syukurlah bisa bahasa Inggris sedikit dan kami selanjutnya mengobrol dibantu dengan/melalui google translate.

Ternyata saya turun di stasiun Kowa…yang jelas jauh dan arahnya ke semenanjung yang berbeda. Oleh masinis saya diperlihatkan peta, bahwa saya harus kembali naik kereta dan turun di Otagawa, kemudian ganti kereta yang menuju airport. Masinis mengajak saya duduk dibangku yang dekat dengan tempat kerja nya, jadi setiap kali kereta baru berangkat dari stasiun, masinis menghampiri saya dan kami mengobrol melalui tablet nya yang dilengkapi google translate. Lucu juga kalau dipikir sekarang ini. Mas masinis ngomong ke tablet nya pakai bahasa Jepang …diterjemahkan oleh google translate ke bahasa Inggris. Kemudian saya menjawab dalam bahasa Ingris melalui tabletnya, yang diterjemahkan kemudian ke bahasa Jepang.

Kereta yang saya naiki dari Kowa ini kereta api lokal, tempat duduknya memanjang menempel dinding, dan setiap stasiun berhenti. Entah kenapa saya merasa tenang, mungkin karena masinisnya baik. Masinis selalu mengajak komunikasi, kadang saya kawatir kalau keretanya menabrak…walau kereta api ini dilengkapi dengan sistem komputer, sehingga masinis tak harus terus berada di ruangan nya. Setiap kali mendekati stasiun yang akan berhenti, atau perjalanan dimulai ke stasiun berikutnya, masinis meninggalkan saya untuk membuat pengumuman. Jadi saya tahu kalau pengumumannya bukan direkam, tapi langsung diumumkan oleh masinisnya. Masinis memberi tahu, bahwa setelah sampai Otagawa, maka kereta ekspres yang menuju airport datang dengan jarak kira-kira 17 menit lagi dari kereta api yang saya tumpangi.  Mulai deh perutku mules, apa saya mampu pindah jalur mencari kereta api yang menuju airport ya.

Yang membuat saya terharu, begitu mendekati stasiun Otagawa, mas masinis mendekati saya, bahwa kereta api akan segera berhenti di Otagawa. Dan yang bikin surprised, saya dijemput oleh Mr Suzuki yang juga masinis, diserahterimakan oleh masinis yang dari Kowa tadi. Mr Suzuki memandu saya berjalan menuju platform kereta api yang ke arah airport, bahkan ikut membantu mendorong koperku. Mr Suzuki menemani saya sampai kereta ekspres yang menuju airport datang dan menyilahkan saya naik. Saya membungkuk, mengucapkan “arigato gozaimaze” dan naik ke kereta api. Rupanya mas Suzuki menunggu sampai kereta api yang saya tumpangi menuju airport berangkat.

Agar pintu lift terbuka, kunci dimasukkan ke dalam lubang di luar lift.

Rasanya lega sekali, saya menikmati perjalanan dari Otagawa ke bandara Chubu int’l airport. Sampai bandara jam 16.30 pm, saya langsung menuju hallway ke arah hotel Comfort untuk check in. Saya mendapat kamar di North Wing…wahh sayang nggak menghadap laut, tapi menghadap ke arah bandara. Untuk masuk ke lift, kunci dimasukkan dulu pada lubang di lift, baru lift nya terbuka. Setelah masuk lift, baru kita memencet lantai tempat kamar yang kita tempati. Ini pertama kalinya saya masuk lift dengan model kunci seperti ini, biasanya langsung masuk lift, pas di dalam lift baru kartu kamar dimasukkan dalam lubang, kemudian memencet nomor lantai yang kita tuju.

Jalan depan bandara Chubu, diambil dari Hallway antara hotel Comfort dan bandara Chubu.

Begitu masuk kamar, saya ambil wudu dan langsung sholat, kemudian keluar lagi karena ingin melihat laut yang letaknya persis di belakang hotel Comfort. Suasana sepi, angin nya kencang, terasa dingin karena memang sudah memasuki musim gugur. Jadi setelah ambil beberapa foto, saya segera kembali naik lift menuju hallway ke arah bandara, sekalian cari makan. Saya duduk-duduk di bandara melihat orang lalu lalang, dan kembali pesan makan dan minum di Starbucks, agar tak pusing memilihnya.

Sempat mampir ke toko yang saya kira supermarket, rupanya toko khusus oleh-oleh, dan oleh-olehnya orang Jepang berupa makanan. Walau terlihat enak, saya males bawanya karena memenuhi tempat dan koperku sudah penuh sesak. Saya mencari toko yang jual air mineral, muter-muter nggak ketemu, akhirnya tanya ke information center…. Setelah nggak ada lagi yang mau saya cari, saya kembali ke hotel, untuk mandi, sholat dan mulai merebahkan badan.

Pengumuman di dalam kamar mandi

Di pintu kamar mandi ada pengumuman, bahwa jika sedang mandi pintu harus ditutup karena bisa mengacaukan alarm. Agak heran juga, apa ada ya yang mandi pintunya dibuka? Atau karena tidur di kamar hotel sendirian, sehingga pintu dibuka tanpa kawatir dilihat orang.

Ternyata saya baru merasakan capek,  selama ini karena semangat untuk melihat-lihat badan capek tak terlalu dirasakan. Kamar yang saya tempati tempat tidurnya ada dua dan lebar, jadi sebetulnya bisa untuk 4 (empat) orang. Hmm…kapan-kapan jika baby D sudah besar, bisa diajak menemani yangti tidur di hotel ini.

Akhirnya …. kembali ke Tanah Air

$
0
0
Pagi yang indah

Sabtu, 5 Oktober 2019.

Saya tidur nyenyak, dini hari terbangun untuk menunaikan kewajiban. Setelah sholat, saya segera mandi dan mulai membereskan koper. Rasanya semangat karena mau kembali ke tanah air.  Saya turun menuju resto untuk sarapan pagi. Cuaca cerah, matahari bersinar terang … indah sekali terkena air laut di belakang hotel Comfort (saya langsung mengambil foto dari balik jendela).

Sarapan pagi di hotel Comfort.

Di restoran saya lihat ada beberapa pramugari dengan seragam yang berbeda-beda, anakku sebelumnya sudah cerita bahwa hotel Comfort ini tempat menginap para pilot dan pramugari dari berbagai airlines. Makanan yang disajikan bervariasi, namun saya tetap hati-hati memilih makanan untuk perutku yang sensitif, jangan sampai sakit perut di perjalanan. Walau hotel bintang 4 (empat) dan internasional, namun kami makan dengan menggunakan nampan, dan setelah selesai nampan tadi ditaruh di tempat tertentu, sehingga sangat menolong untuk staf hotel yang bertugas membersihkan,

Selesai makan, saya kembali ke kamar, masih ada waktu untuk sholat Dhuha. Saya bersujud, mengucapkan syukur kepada Allah swt masih diberi kesempatan dan karunia sehat, sehingga bisa menyelesaikan kunjungan satu bulan di Jepang dengan selamat serta sehat. Setelah mengecek semuanya, saya mulai menarik koper, menutup pintu kamar dan turun ke bawah. Proses check out sangat mudah karena pembayaran telah dilakukan sekaligus saat check in, jadi saya tinggal mengembalikan kunci kamar hotel

Di lobby hotel, saya melihat para pilot dan pramugari masih asyik mengobrol sambil minum kopi atau teh. Di hotel ini memang disediakan minuman panas di lobby hotel, makanan kecil maupun minuman dingin sampai jam 12 malam. Di kamar juga ada teko untuk memasak air panas untuk membuat teh atau kopi. Hotel yang menyenangkan, jika ada kesempatan mengunjungi Jepang melalui Nagoya, saya mau menginap di hotel ini lagi.

Antri panjang di depan counter Garuda

Dari lobby hotel Comfort di sebelah kiri ada lift, yang menghubungkan hotel dengan hallway yang menuju bandara Chubu. Betapa leganya saat sudah antri di depan counter Garuda, rasanya sudah pulang ke rumah. Saat check in, saya agak heran kok ditanya punya credit card? Saya tanya buat apa? Si mbak di counter cuma bilang, just only checking….wahh lha kalau nggak punya credit card bagaimana?

Tempat wudu

Setelah melewati antrian di imigrasi yang panjang banget, saya menuju gate 204. Saya menuju toilet dulu, di lorong ini juga ada  mushola, lengkap dengan tempat mengambil air wudu di dekat nya. Karena saya sudah sholat Dhuha, saya hanya sekedar memotret mushola ini dari luar.

Gate 204

Sekarang tinggal menunggu panggilan untuk boarding….Semoga engkau sehat-sehat ya baby D, doakan Yangti sehat dan punya rejeki untuk kembali menengok dedek lagi di Toyohashi.

Perjalanan di udara lancar, teman sebelahku orang Sukabumi yang menikah dengan orang Jepang dan tinggal di Hamamatsu. Dia pulang untuk menengok keluarga yang sakit. Tak banyak kami mengobrol, karena si mbak lebih banyak tidur.

Saya juga ingin tidur, namun karena bukan waktuku tidur akhirnya saya mulai membuka novel dan menikmati asyiknya cerita di dalam novel.

Pesawat Garuda mendarat tepat waktu di terminal 3 (tiga) bandara Soekarno Hatta. Begitu menginjak gedung bandara dan hape saya aktifkan, suami sudah menelpon, dia sudah menunggu di pintu kedatangan.

 

 

Bogor Heritage Trail: Blusukan di Pecinan dan Kota Tua Bogor

$
0
0
Depan Vihara Dhanagun

Acara blusukan A678 ke daerah Pecinan dan Kota Tua di Bogor ini telah diagendakan sejak 3 (tiga) minggu lalu. Awalnya yang ikut lumayan banyak, namun pada detik terakhir beberapa mengundurkan diri karena ada tugas mendadak, jatuh sakit dll.  Apa boleh buat, akhirnya hanya 5 orang yang bisa, itupun Iswandi cuma ikut di awal acara, karena harus pergi ke daerah Jasinga.

Bersajma bunda Rini, Tinoek dan Martha.

Acara blusukan ini sebetulnya merupakan survei untuk acara puncak peringatan 50 tahun A7 masuk IPB pertama kalinya. Rencana nya, sebelum acara puncak yang akan diadakan di Kuntum Fairfield, kami akan jalan-jalan pagi dulu sambil nostalgia mengenang saat kuliah di kota Bogor. Mengingat kami semua sudah menjelang 70 tahun, perlu diadakan survei, betulkah kami masih kuat berjalan?

Rute Bogor Heritage Trail adalah: Warung Bogor-Klenteng Ho Tek Bio (Vihara Dhanagun) -Soerjakancana-Perajin Barongsai-Situs Pulau Geulis-Klenteng Phan Kho Bio (Vihara Maha Brahma)-Kampung Babakan Peundeuy-Tepas Lawang Salapan.

Cerita perjalanan ini dibagi 5 (lima):

  1. Klenteng Ho Tek Bio atau sekarang dikenal dengan nama Vihara Dhanagun.
  2. Kang Lili Hambali, perajin barongsai di Bogor.
  3. Pulo Geulis, pulau di tengah sungai Ciliwung.
  4. Klenteng Phan Kho Bio (sekarang namanya Vihara Maha Brahma), yang merupakan klenteng tertua di Bogor.
  5. Jalan-jalan di Tepas Lawang Salapan.
Depan gapura “Lawang SuryaKencana”

Kami janjian ketemu di depan Warung Bogor jam 7 pagi, agar saat berjalan-jalan suasana nya masih lumayan sepi dan tidak panas. Kami bertiga bertempat tinggal di Jakarta, saya dan bunda Rini janji ketemu di Citos jam 6 pagi, sedangkan Martha langsung naik kereta api dari stasiun Manggarai dan janji ketemu di depan klenteng Ho Tek Bio.

Depan Vihara dengan latar belakang pohon mangga yang telah berusia ratusan tahun.

Sempat bingung juga lokasi warung Bogor dimana, walau Tinoek sudah memberi ancer-ancer. Syukurlah setelah saya saling menelepon dengan Tinoek, di kejauhan terlihat gadis manis remaja tahun 70 an pakai jeans dan blouse putih. Kami bertiga langsung menuju klenteng Ho Tek Bio. Kami menunggu waktu sambil berfoto bergantian di depan gapura “Lawang Suryakancana: Buitenzorg, Bogor”. Tak lama Iswandi datang, yang kemudian disusul oleh Martha.

Mendengarkan cerita kang Mardi tentang budaya akulturasi Sunda dan Tionghoa.

Kami mulai memasuki Vihara Dhanagun, sebelumnya asyik mengambil foto di depan Vihara yang dihiasi lukisan di dinding yang menarik mata memandangnya. Tak lama kang Mardi Liem datang. Kang Mardi ini seorang arsitek, pengamat budaya di Bogor, kenal baik dengan Tinoek karena sesama grup Pusaka Bogor. Kang Mardi  akan menyertai perjalanan kami blusukan di kawasan Pecinan dan Kota Tua.

Bersama petugas Vihara dan kang Mardi.

Saat orde baru, klenteng Ho Tek Bio ini tertutup oleh pedagang kaki lima, dan saat itu memang dilarang kegiatan di klenteng. Kemudian klenteng beralih fungsi menjadi Vihara karena Vihara diperbolehkan oleh pemerintah Orde Baru, namanya berubah menjadi Vihara Dhanagun, yang harus tetap eksis untuk melayani umat. Di bagian sebelah kanan Vihara ada pengobatan dengan biaya murah, yaitu Rp.15.000,- per orang lengkap dengan obatnya. Saya melihat banyak orang yang antri di depan klinik ini.

Di depan lukisan dinding yang bercerita tentang perjalanan Sun Go Kong.

Setelah Presiden nya gus Dur, aktivitas budaya Tionghoa diperkenankan lagi, hal ini membuat semangat kaum peranakan Tionghoa. Kaki lima juga mulai dibersihkan, saya yang kuliah dan tinggal di Bogor selama 7 (tujuh) tahun baru tahu, bahwa di sebelah Pasar Bogor (sekarang namanya Plaza Bogor) ada klenteng yang lumayan besar dan indah.

Acara paling ramai saat perayaan Cap Go Meh, yang merupakan pesta rakyat berupa karnaval, antara lain acara gotong Toa Pek Khong dan kolam jodoh. Hal ini melahirkan barongsai Bogor dan Liong yang terbanyak di Indonesia, sampai tercatat di MURI.

Namun saat ini kalah dengan perayaan Cap Go Meh di Singkawang.Pada saat perayaan Cap Go Meh, siapa saja bisa hadir dan ikut makan-makan tanpa biaya di Vihara Dhanagun ini. Yang unik, pembuat barongsai adalah kang Lili Hambali, yang asli suku Sunda (cerita tentang kang Lili Hambali di tulisan berikutnya).

Patung singa penjaga.

Klenteng pada umumnya menghadap selatan, didirikan di dekat pasar, karena pendirinya adalah kaum saudagar, yang menginginkan usahanya maju serta keluarga bahagia. Vihara Dhanagun dipercaya dibangun pada tahun 1672, saat etnis Tionghoa pertama kali mulai mendiami Kota Bogor.

 

Ada persembahan untuk karuhun, nenek moyang orang Sunda.

Kaum Tionghoa membuat rumahnya di sekitar Lawang Seketeng dan Jalan Suryakencana. Jalan Suryakencana merupakan etalase dan merupakan toko tempat kaum etnis Tionghoa berdagang, bentuk rumahnya memanjang sampai jalan Roda, sehingga pintu rumah untuk keluarga berlokasi di jalan Roda, sedang di jalan SuryaKencana adalah tokonya. Sampai sekarang bisa dilihat sisa-sisa peninggalan ini.

Eyang Suryakancana, pengaruh budaya lokal.

Selanjutnya setelah menikah dengan penduduk lokal menurunkan kaum peranakan. Namun kaum peranakan ini, yang kemudian bersekolah di sekolah Belanda, saat membangun rumah tidak ingin rumah khas Tionghoa, namun berupa rumah art de co yang diilhami rumah bangsa Eropa.

Ukiran naga pada tiang.

Bangunan Vihara umumnya mempunyai paviliun di kiri kanannya. Pintu masuk terdiri atas tiga pintu, serta di bagian bawah diberi tutup berupa kayu besi setinggi sekitar 20-30 cm, ini dimaksudkan agar orang yang memasuki Vihara menunduk agar kakinya tak tertabrak hambatan kayu ini. Ini merupakan penghormatan dan tata cara bertamu, yang harus menghormati tuan rumah.

Di depan pintu tengah ada tempat peribadatan, agar yang mau masuk bisa berdoa dulu di depan tempat peribadatan. Jika memasuki Vihara melalui pintu kanan, dan keluarnya melalui pintu kiri (jika dilihat dari depan). Vihara Hok Tek Bio ini menjadi pusat kegiatan keagamaan 3 kepercayaan sekaligus, yaitu Taoisme, Konghucu (konfusianisme), serta Buddha. Vihara seluas 635 meter persegi ini menjadi potret nyata kerukunan umat beragama di Kota Bogor.

Atap dari kayu dan tanpa paku.

Bangunan atap Vihara yang kokok terdiri dari kayu besi dan tanpa paku. Terlihat indah dan kokoh.

Patung yang ada di Vihara ini, selain merupakan budaya Tionghoa juga ada simbol budaya lokal, yaitu mbah Bogor dan prabu Suryakencana yang merupakan Raja Pajajaran terakhir.

Akultiurasi budaya: Lukisan maung dan perjalanan Sun Go Kong ke barat.

Yang menarik, dinding di Vihara ini dihiasi lukisan perjalanan Sun Go Kong ke dunia Barat, atau dikenal dengan “Journey to the west“. Setelah puas mendengar cerita tentang Vihara ini, sayang nya walau saya mencatat tapi nggak bisa mengikuti penjelasan kang Mardi yang cepat, ditambah saya banyak terkesima mendengar ceritanya.

 

Pohon mangga berusia ratusan tahun.

Di belakang Vihara ini, masih di dalam pagar terdapat pohon mangga yang besar dan tinggi, serta buahnya banyak.  Umur pohomn mangga ini sudah ratusan tahun. Saat kami memotret dari depan Vihara, terlihat pohon mangga ini melebar dan nyaris melindungi lebar atap Vihara. Saat Kebun Raya Bogor masih banyak dihuni monyet, banyak monyet yang bertandang ke pohon mangga ini untuk makan buahnya.

 

 

Tentang pembuatan barongsai, akan diceritakan di tulisan selanjutnya.

Bogor Heritage Trail: Kang Lili Hambali, perajin Barongsai di Bogor

$
0
0
Gang menuju jalan Roda, keramik sudah diganti, sayang kurang bersih dan bau.

Dari Vihara Dhanagun, perjalanan kami dilanjutkan dengan menyusuri jl. Suryakancana, melewati Plaza Bogor. Bunda Rini berhenti sebentar di depan Plaza untuk membeli Pocari Sweat, agar kami kuat berjalan.

Kami harus hati-hati menyusuri trotoar yang sedang dalam proses pembangunan, karena masih banyak lubang yang belum ditutup.  Kami berjalan santai sambil mendengarkan cerita kang Mardi, yang sangat mengenal riwayat kaum peranakan di Bogor.

Sisa bangunan dinding rumah Tionghoa totok.

Jl.Suryakancana ini merupakan etalase para pedagang Tionghoa, rumahnya memanjang…jalan Roda merupakan tempat tinggal yang bersambung dengan toko di jl. Suryakancana. Sayangnya rumah khas Tionghoa ini sekarang sudah sangat jarang.

Orang Tionghoa yang kemudian menikah dengan orang lokal menurunkan Tionghoa peranakan, anak-anak Tionghoa totok ini sekolah di sekolah Belanda, akibatnya saat membangun rumah tinggalnya, lebih cenderung mengikuti rumah orang Eropa yang arsitekturnya art de co.

Sisa bangunan atap rumah Tionghoa.

Dari jalan Suryakancana kami berbelok menyusuri jalan, yang telah diberi keramik bagus, sayang kurang bersih dan bau pesing. Di kiri kanan gang ini ada sisa tembok rumah orang Tionghoa.

Memasuki jalan Roda, kembali kami harus berhati-hati, jalanan padat penuh orang lalu lalang, ditambah mobil, sepeda motor, gerobak dorong yang membawa sayur mayur. Jalan Roda ini memang tempat pasar sayuran di Bogor.

Gang Angbun.

Kang Mardi bertanya, mau turun tangga pemandangannya bagus, atau jalan memutar tapi lebih jauh. Bunda Rini menjawab, lewat tangga saja, kita jalan pelan-pelan. Kebetulan rumah kang Lili Hambali, perajin barongsai searah dengan jalan menuju Pulo Geulis. Sampai gang Angbun di Lebak Pasar, kami belok ke kiri, menyusuri jalan kecil berbelok-belok dan melalui tangga yang terus menurun.

Ternyata tangganya tak terlalu berat, ada 4-5 tangga menurun, kemudian mendatar dan baru ada tangga menurun lagi. Setiap kali menemukan lokasi yang cocok untuk foto, kang Mardi mengambil foto para remaja tahun 70 an yang masih suka bergaya ini.

Kami juga setiap kali minum pocari sweat, bahkan tak terasa saat difoto, bunda Rini dan Tinoek masih memegang botol pocari sweat…jadi kayak iklan pocari sweat deh. Mendekati jembatan ke arah Pulo Geulis, kami belok ke kiri dan sampailah ke rumah kang Lili Hambali.

Kang Lili Hambali menerima kami dengan senang hati, padahal sedang sibuk membuat pesanan barongsai.

Bahan baku pembuatan barongsai.

Kang Lili Hambali, menjelaskan bahwa bahan baku membuat barongsai, kerangka nya berasal dari rotan kecil, yang diikat dengan ukuran yang pas, agar saat dipakai tidak miring.

Selanjutnya dibuat bentuknya dari bubur kertas dengan dasar kain kasa agar tak mudah robek. Warna liong dan atau barongsai disesuaikan dengan keinginan pelanggan.

Foto bersama kang Lili dengan barongsai yang sudah jadi dan kulit domba yang dicat merah terang berharga jutaan.

Pembeli barongsai antara lain, berasal dari Sumatra, Samarinda, Singkawang, Jawa, Papua bahkan dari Saudi Arabia, dan lain-lain. Kami heran…kang Lili menerangkan, ternyata Raja Saudi Arabia membolehkan rakyat bermain barongsai dengan catatan tak boleh diisi trance... jadi harus murni latihan. Wahh hebat ya…dan hebatnya pembuat barongsai ternyata dari suku Sunda asli.

Remaja tahun 70 an sibuk wawancara.

Kami asyik mewawancarai kang Lili Hambali, yang dengan senangnya menceritakan proses pembuatan barongsai, bahan baku rotan dibeli dari Jambi, serta bagaimana cara marketingnya.

Kang Lili dan kang Mardi.

Sesekali kang Mardi ikut menimpali, pertemuan yang penuh dengan senda gurau dan keakraban.

Kami sibuk mengambil foto, dan setelah dirasa cukup, kami pamit sambil berterima kasih pada kang Lili Hambali, yang telah mau berbagi cerita proses pembuatan barongsai dan menerima kami dengan ramah.

Semoga budaya aktivitas barongsai ini tetap didukung pemerintah, agar dapat terus berkembang.

Bogor Heritage Trail: Pulo Geulis, Pulau di tengah sungai Ciliwung

$
0
0
Kepadatan penduduk di Pulo Geulis (foto diambil dari rumah kang Lili Hambali, pembuat barongsai di Bogor).

Pulo Geulis adalah nama sebuah pulau kecil di tengah sungai Ciliwung, di kota Bogor. Terletak di kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah.

Sebetulnya bukan pulau dalam arti seperti yang kita bayangkan, serta bukan delta di muara sungai. Pulo Geulis terbentuk karena aliran sungai Cilwung terbelah, kemudian menyatu kembali, membentuk daerah daratan yang mirip pulau dengan wilayah sekitar 3,5 ha (Wikipedia).

Kali Ciliwung yang membelah, membentuk kampung Pulo Geulis.

Menurut Wikipedia, penduduk di Pulo Geulis sangat padat, tak kurang dari 2500 jiwa, kepadatan nya 700 jiwa/ha. Penduduk di Pulo Geulis berasal dari suku Sunda dan Tionghoa, yang telah berasal dari ratusan tahun silam. Penduduk di sini merupakan campuran akulturasi budaya yang sangat solid, saling menghormati. Di tengah Pulo Geulis ini terdapat Vihara Mahabrahma, yang dulunya merupakan klenteng, dan merupakan klenteng tertua di Bogor. Cerita tentang Vihara Mahabrahma ini akan diceritakan dalam tulisan tersendiri.

Menurut cerita pak Bram dan kang Mardi, dulunya Pulo Geulis merupakan tempat rekreasi keluarga raja Pajajaran, jadi rakyat biasa tak diperkenankan datang ke Pulo ini.

Bagaimana cara mencapai Pulo Geulis ini?

Tangga menuju Pulo geulis.

Pulo Geulis dicapai dengan berjalan kaki, melalui jalan Roda (lewat gang Angbun Lebak Pasar), kemudian kami menuruni tangga berbatu dan jalan berkelak-kelok. Atau bisa lewat jalan Riau, di belakang terminal Barangsiang. Atau lewat gang Babakan Peundeuy.

Bergaya di jembatan.

Walau jalannya lebih berisiko bagi orang seusiaku, tapi pemandangan nya menarik jika kita melalui jalan Roda, kemudian berbelok di gang Angbun, menuruni tangga yang berkelok-kelok menurun, sampai ketemu jembatan kecil ber cat merah, hijau, biru dan kuning.

Sebetulnya jalan menurunya tidak curam-curam amat karena digunakan penduduk untuk kegiatan sehari-hari. Tangga menurun terdiri dari 4-5 tangga …kemudian jalan mendatar, sekitar 10 meter lagi baru menurun, sehingga kalau kita berjalan pelan-pelan sambil menikmati pemandangan, tak terasa capeknya.

Jembatan nya kecil, hanya cukup satu sepeda motor.

Jembatan ini jika sedang dilalui sepeda motor, kami harus menunggu di ujung jembatan agar bisa lewat. Melewati jembatan kecil bercat warna-warni ini, di sisi kiri jalan masuk, ada mural bertuliskan Pulo Geulis.

Foto di jembatan merah.

Setiap kali ada pemandangan menarik kami berfoto sambil istirahat, sehingga perjalanan yang sebetulnya cukup berat ini tak terasa, apalagi sambil asyik mendengarkan cerita kang Mardi.

Penduduk yang ada di pinggir jalan sangat ramah, menyapa kami dengan senyumnya. Ada beberapa rumah yang depan nya digunakan untuk warung…..hmmm bikin lapar, apalagi melihat tumpukan udang di piring.

Foto dulu saat memasuki kampung Pulo Geulis.

Di ujung jembatan, memasuki perkampungan Pulo Geulis, ada mural, kami segera foto bersama di depan murah ini. Di sebelahnya, rumah-rumah mulai dicat warna-warni dan ada beberapa mural lagi.

Jika kami jalan sendirian tanpa diiringi guide, pasti kami nyasar karena jalan nya seperti labirin. Syukurlah memasuki Pulo Geulis diantar kang Mardi, dan setelah dari Vihara Mahabrahma, kami diantar petugas Vihara sampai mencapai jembatan satunya yang menuju ke arah Babakan Peundeuy.

Masjid di Pulo Geulis.

Pulang dari Vihara Mahabrahma, kami melewati perkampungan dengan gang yang berkelak-kelok. Kami melewati masjid yang persis berada di tepi jalan. Saya permisi pada bapak-bapak yang sedang duduk-duduk di depan masjid dan mereka menjawab dengan ramah.

Jembatan menuju kearah Babakan Peundeuy.

Akhirnya kami sampai di jembatan satu nya, yang menghubungkan Pulo Geulis dengan jalan keluar ke Babakan Peundeuy. Jembatan yang ini diberi penghalang sehingga hanya pejalan kaki yang bisa lewat.

Foto bersama anak-anak SD yang pulang sekolah.

Kami bertemu anak-anak SD yang pulang sekolah, yang senang sekali saat di ajak foto bersama. Dari jembatan ini terlihat jalan Oto Iskandardinata dan Kebun Raya di kejauhan. Juga terlihat bangunan Plaza Bogor yang tinggi.

Setelah melalui jembatan ini jalan menaik tapi tanpa tangga. Bangunan rumah di kiri kanan jalan terlihat lebih rapih dan lebih bagus.

Tak lama kami sampai di ujung jalan yang merupakan gang Babakan Peundeuy.

Menyusuri gang-gang di Pulo Geulis

Pulo Geulis ini bisa dibuat menjadi kampung wisata yang melibatkan penduduk. Saya melihat telah dimulai dengan pembuatan mural…yang nantinya akan menjadi seperti kampung warna warni. Perlu dipikirkan bagaimana tema wisata yang melibatkan penduduk di sini, sehingga penduduk merasa ikut berperan serta membangun wilayahnya. Tema perajin barongsai bisa menjadi daya tarik, karena lokasinya dekat jembatan merah yang menuju Pulo Geulis.


Bogor Heritage Trail: Berkunjung ke Klenteng Phan Ko Bio (Vihara Mahabrahma)

$
0
0
Pintu masuk Vihara Mahabrahma.

Saat orde baru, nama Klenteng tidak diperbolehkan, sehingga klenteng Phan Ko Bio yang usianya sudah ratusan tahun ini, diubah menjadi Vihara Mahabrahma. Lokasi Vihara Maha Brahma terletak di tengah Pulo Geulis. Suasana toleransi antar umat beragama sangat terasa di Vihara ini.

Tempat untuk sholat bagi kaum muslimin.

Saat ada acara keagamaan bagi kaum muslim, dapat diadakan di Vihara ini, yang aula nya cukup luas. Acara peringatan hari Maulud Nabi, Iedul Fitri, ceramah oleh salah satu Ustad kondang pernah diadakan di Vihara ini, dan dihadiri oleh banyak umat yang berbeda keyakinan. Di sini ada tempat bagi kaum muslim untuk menunaikan sholat, ada sajadah dan mukena yang disiapkan.

Petilasan dari karuhun.

Setiap minggu sekali juga diadakan pengajian. Hal itu dilakukan lantaran terdapat petilasan dan makam tokoh besar Islam di Vihara ini“,  penjelasan pak Bram yang mendampingi kami mengelilingi Vihara Mahabrahma ini. “Perbedaan itu harus dihormati, dan tidak harus disatukan, karena perbedaan itu indah“, kata pak Bram lagi. Sampai saat ini tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang beda keyakinan di wilayah Pulo Geulis ini.

Depan tempat peribadatan.

Di aula depan terlihat batu megalitikum yang sangat besar, yang diyakini berada di Pulo Geulis saat terjadi banjir bandang sungai Ciliwung,  saat  terjadinya letusan Gunung Gede, yang mengakibatkan sungai Ciliwung tak dapat digunakan untuk pelayaran kapal. Sebagaimana Vihara Dhanagun, di depan meja tempat peribadatan, terdapat dewa Bumi yang diapit oleh dewi Kuan Im, dan dewa lainnya yang menaungi keamanan.

Alat untuk melakukan sembahyang, lilin bersifat menerangi, asap hio bersifat membersihkan.

Pembangunan klenteng tidak bisa sembarangan. Klenteng yang dibangun di sini karena dekat air, yaitu sungai Ciliwung, serta daerah di Pulo Geulis ini dipercaya sebagai petilasan dan rekreasi keluarga kerajaan Pajajaran, karena ditemukannya batu megalitikum.

Karuhun lokal

Dalam budaya Megalitikum, batu itu berfungsi sebagai menhir atau tempat untuk berdoa kepada leluhur. Hingga kini, masih banyak orang berdatangan untuk berdoa.

Di ruang belakang,  terdapat makam yang diyakini sebagai Uyut Gebok, orang yang membangun kampung Pulo Geulis. Di dekat makam dan batu inilah, tulisan “Allah” dalam bahasa Arab digantungkan.

Menurut  pak Bram, di tempat ini para peziarah yang beragama Islam kerap menjalankan salat. Karena itu, pihaknya menyediakan sajadah dan mukena.

Petilasan nenek moyang orang Sunda.

Di Vihara ini ada tempat wudu di samping kelenteng. Di sini juga ada petilasan Jayadiningrat, leluhur Pulo Geulis, serta ada patung Harimau, yang merupakan budaya lokal dari suku Sunda.

Kami mengobrol sambil dijamu makan kripik dari singkong, yang disebut sermier (di Jawa), serta teh hangat.

Foto bersama pak Bram dan pak Chan (?).

Jendela dibelakang tempat kami mengobrol berwarna warni dengan bentuk segi delapan, sehingga kami ingin foto bersama pak Bram untuk kenangan.

Tak terasa hari semakin siang, kami segera pamit, dan siapa tahu ada kesempatan berkunjung lagi. Pak Bram meminta salah satu petugas untuk mengantar kami keluar dari Pulo Geulis.

Mungkin kalau tidak diantar kami bakal kesasar di jalan, karena jalannya berkelak-kelok seperti labirin.

Setelah melewati jembatan, terdapat jalan lurus yang ternyata menuju jalan Oto Iskandar Dinata, tepat di sebelah Kebun Raya Bogor dekat Tugu Kujang.

Bogor Heritage Trail: Tepas Lawang Salapan

$
0
0

 

Tepas Lawang Salapan dan tugu Kujang di belakang nya.

Apabila anda memasuki kota Bogor dari arah pintu tol di depan terminal bis Barangsiang, akan menjumpai bangunan dengan pilar putih di dekat Tugu Kujang, persis bersebelahan dengan Kebun Raya Bogor.

Lawang salapan artinya gerbang sembilan. Tepas Lawang Salapan adalah beranda yang memiliki sembilan pintu.

Bersama bunda Rini dan Martha (foto by Tinoek).

Setelah dari Vihara Mahabrahma dan menyusuri jalan Babakan Peundeuy, kami sampai di jalan Oto Iskandardinata.

Susah juga untuk menyeberang jalan Otista ini, jadi begitu bisa menyeberang jalan, kami langsung duduk-duduk di pinggir Kebun Raya Bogor sambil melepaskan lelah.

Foto dulu sambil mengendorkan nafas. Kami menyusuri trotoar luas yang mengelilingi Kebun Raya Bogor, mengambil berbagai foto.

Foto dulu sambil ambil nafas.

Kami mencoba foto bertiga (tentu saja tukang fotonya Tinoek)…rasanya sudah lama tidak segembira ini, jalan-jalan bersama sahabat. Sederhana saja sebetulnya untuk melepaskan kepenatan di kegiatan sehari-hari. Tak usah jauh-jauh, rekreasi yang dekat namun bersama teman yang cocok, itu sudah cukup membuat hati senang.

Remaja tahun 70 an menikmati jalan-jalan di trotoar yang luas dan sejuk.

Trotoar yang luas membuat kami bergembira ria, lelahpun tak terasa lagi.

Selanjutnya kami menuruni underpass untuk menyeberang jalan, dan ini pertama kalinya saya lewat underpass.

Naik sepeda yuuk.

Di underpass agak gelap, jadi serem juga jika tidak ada temannya. Di dalam underpass terdapat lukisan tentang kota Bogor, juga ada rangkaian sepeda yang bisa disewa.

Menurut Tinoek, jika akhir pekan di underpass ada yang bermain gitar, serta berbagai permainan lain.

Underpass

Melewati underpass, kami sampai di depan Taman Koleksi IPB, terdapat beberapa kursi untuk duduk-duduk menikmati pemandangan sambil melepas lelah.

Senangnya bisa bersantai bersama sahabat.

Syukurlah salah satu kursi kosong, jadi bunda Rini segera duduk disitu. Akhirnya kami ikut istirahat duduk di kursi tersebut, dan meminta tolong pada pemuda yang duduk di kursi lain untuk memotret kami berempat.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Botanical Square, karena pak sopir menunggu di parkiran Botanical Square.

Di Botanical Square sedang ada diskon sepatu dan baju. Sambil menunggu pak sopir, kami melihat-lihat barang yang dijual, dan akhirnya beli blouse yang sesuai dengan kain batik Bogor yang sedang kami pakai.

Dari Botanical Square kami menuju rumah Tinoek di kompleks dosen IPB Baranangsiang untuk makan siang. Makan siang kali ini adalah spageti yang dikirim oleh Iswandi…..hmm sedaap. Mungkin karena capek dan lapar, saya makannya nambah….wahh nanti malam mesti nggak makan nih.

Setelah sholat, kami menuju rumah Meity yang terletak di kompleks dosen IPB di jalan Ubi. Ternyata Meity hari sudah masuk kerja dan bersama Bonar (suaminya) sedang ada acara lokakarya di IPB Dramaga. Setelah ngedrop Tinoek kembali di rumah nya dan Martha yang lebih memilih naik KRL ke Jakarta, saya dan bunda Rini langsung kembali ke Jakarta.

Hari ini acaranya benar-benar menyenangkan, selain sehat karena jalan kaki, kami juga mendapat tambahan ilmu dan wawasan wisata di kota Bogor. Kota tempat kami menuntut ilmu, ternyata banyak menyisakan temapt wisata menarik, yang selama ini tak pernah kami kunjungi.

 

Pertemuan 50 tahun A7-Bitdoldut

$
0
0
Wajib foto di depan pintu i-PITOE

Tak terasa usia kami makin bertambah, awal Februari limapuluh tahun lalu adalah saat pertama kalinya kami menginjakkan kaki di kampus Baranangsiang yang sejuk. Angkatan kami merupakan angkatan tahun ke tujuh Fakultas Pertanian IPB (Institut Pertanian Bogor) sehingga lebih sering disebut A7, yang sebelumnya merupakan Fakultas Pertanian Universitas Indonesia.

Dan sebagaimana umumnya, awal penerimaan mahasiswa baru diadakan mapram selama satu minggu (?), dan angkatan mapram kami dinamakan Bitdoldut, yang merupakan singkatan dari Bibit Unggul-Indolen-Badut.

Setelah mengobrol dan diskusi melalu WA grup, akhirnya disepakati acara reuni 50 tahun Bitdoldut diadakan di Kuntum Farmfield, pada tanggal 15 Februari 2020. Bagi teman-teman (khususnya yang perempuan) yang ingin menginap, disediakan penginapan di “Rumah i-PITOE” yang berlokasi di kompleks Perumahan IPB Baranangsiang III, yang juga merupakan rumah Tinoek (A6).

Secara singkat acara reuni 50 tahun Bitdoldut sebagai berikut:

1. Rumah i-PITOE Baranangsiang i.7 Bogor tanggal 14 Februari 2020.

Rombongan dari Jakarta berangkat dari Citos jam 9 pagi, langsung menuju rumah Tinoek. Sedangkan Azmi (berasal dari Malaysia) bersama istri telah berada di Bogor sejak hari Kamis, tanggal 13 Februari 2020. Pada waktu itu, yang kuliah di IPB ada mahasiswa dari Malaysia dan Iran.

Kami sampai di rumah Tinoek masih sepi, jadi kami berempat (Tinoek, bunda Rini, Enny dan Ati) memutuskan jalan-jalan keliling dulu melihat rumah Batik khas Bogor di Handayani Geulis, setelah sibuk memilih-memilih, akhirnya  bunda Rini memilih batik Bogor “tilu sauyunan” warna ungu yang cantik. Bunda Rini merupakan senior kami (masih FPUI), namun karena cocok, sering kumpul-kumpul bersama A7. Tidak  lama kemudian Dien (Ambarini) beserta Novi (putrinya) datang, disusul oleh Tati Herawati.

Senangnya bertemu teman lama

Setelah selesai sholat Jumat, datang rombongan Meity dan Bonar, disusul oleh Iswandi dan Azmi. Kami mengobrol sambil menikmati makan siang, dan camilan. Obrolan tentu saja banyak berkisar saat-saat masih kuliah di Bogor. Tak terasa hari makin sore, agar tidak kecapekan dan bisa hadir esok harinya di Kuntum Farmfield, Iswandi berserta Azmi, Bonar dan Meity pamit pulang, agar bisa beristirahat.

Menjelang Magrib, Endang Suhartatik, juga mbak Kennieta Soetardjo (angkatan A3) datang ke rumah i-PITOE.

Serunya dara-dara tahun 70 an ini

Setelah sholat Magrib, kami turun ke lantai satu untuk makan malam. Ternyata telah ada Didik yang datang membawa rujak serut, kemudian datang Wartono, yang disusul oleh Hardi dan Irawati.

Suasana makin seru. Tati dan Endang, sibuk diskusi dengan Hardi karena besoknya Tati bertanggung jawab sebagai pembawa acara bersama Didik. Saya dibantu mbak Ken membungkus kado dengan kertas koran, serta menyisihkan kado untuk hadiah permainan, door prize, juga hadiah bagi masing-masing grup A678 yang akan tampil.

Biar nggak semua bisa datang di i-PITOE, suasana tetap meriah.

Hari makin malam, Gregory datang, suasana makin seru. Apalagi setelah ada acara tebak-tebakan yang dipandu oleh Tati. Hardi mengajak kami bermain tik-tok sekaligus olahraga tangan agar tidak bosan dan mengantuk.

Acara malam ini sungguh seru, walau banyak kegiatan per kelompok, ada yang membungkus kado, ada yang sibuk menyiapkan quis, ada yang bermain piano mengiringi penyanyi dadakan….namun semua gembira. Saat menjelang jam 22.00 wib, kami harus bubar agar besok bisa bangun pagi.

2.Acara puncak di Kuntum Farfield, 15 Februari 2020.

Sebelum berangkat ke Kuntum Farmfield

Kami bertujuh berangkat dari rumah i-PITOE tepat jam 8 pagi, sebelumnya foto dulu di depan rumah Tinoek. Sampai di Kuntum masih sepi, tak lama kemudian Hardi datang.

Saya  kemudian bersama Hardi menunggu meja di lobby, agar teman-teman bisa mengisi daftar hadir. Sedangkan Endang dan Tati langsung menuju lokasi, untuk mengecek persiapan.

Teman-teman mulai berdatangan, setelah Henny datang bersama Boga dan Marwan, maka Henny menemani saya untuk menjaga daftar hadir, Hardi bertugas membagikan karcis masuk.

Ada yang A6, ada yang A7 dan ada yang A8.

Yang menyenangkan, banyak teman-teman yang belum pernah hadir di reuni, muncul untuk pertama kalinya, seperti: Budiman Hutabarat, Aunu, Benyamin Obadyah, Priatman, dan yang membuat kejutan adalah Mahmud A. Raimadoya.

Suasana makin semarak, setelah para grup Batak menyanyi, Budiman dan Hoky benar-benar membawa suasana meriah, semua ikut bergoyang. Sudarsono yang membawakan acara kenangan perjalanan A678, tampil dengan gayanya yang khas, serta daya ingatnya yang tajam.

Semua ikut menyanyi, walau suara kesana-kemari.

Waktu Priatman diminta tampil untuk membawakan sepatah dua patah kata, ternyata nggak bisa berhenti bicara, mungkin karena senang sekali bisa ketemu teman-teman lama, dan ternyata Priatman ini menjadi anggota Dewan di daerahnya…pantas saja pintar ngomong ya.

Yang seru, Angkatan A8 (angkatan Ostilus) lumayan banyak yang hadir. Selain Anas dan Tati yang memang rajin hadir, ada Ida Indarti, Tanny Sri, Djadja, Bambang Sumantri dan nyonya.

Dan ternyata banyak A7 yang rupanya ikut mapram bersama A8, jadi reuni tahun depan A8 bisa mendapat bantuan dari A7 yang ikut mapram dengan Ostilus, antara lain: Azmi, Nungki, Benyamin Obadyah, Hoky, Henny dan Enny.

Untuk para senior yang selalu bersama A678, yaitu bunda Rini dan mbak Ken…..terimakasih ya selama ini selalu bersama A678.

Foto bersama sebelum pulang

Sebelum Priatman pamit pulang, kami berfoto dulu…seruu sekali. Acara diakhiri dengan foto pakai caping, walau ada beberapa yang kehilangan capingnya sehingga fotonya tanpa caping. Sebelum pulang, masing-masing anggota A678 mendapat bingkisan tumbler untuk kenang-kenangan.

Syukurlah cuaca cerah, kami berpisah dengan harapan tahun depan bisa ketemu lagi reuni bersama Ostilus.

Pekanbaru selayang pandang

$
0
0

Sabtu, 1 Februari 2020.

Rasanya pengin makan banyak….kalau nggak ingat kolesterol

Rasanya belum afdol jika kunjungan ke Pekanbaru tanpa mampir ke Pasar Bawah. Jadi begitu ada kesempatan, kami mampir ke Pondok Durian di depan hotel Pangeran. Wahh bahaya nihh….tapi durian Riau begitu menggiurkan. Akhirnyaaa….tergoda juga, walau nggak boleh makan banyak.

Dari sini, mas Adri ngedrop kami di hotel Novotel, untuk mengantar Ian ke bandara, kemudian balik lagi menjemput ke hotel. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore….wahh masih buka nggak ya pasarnya.

 

Berbagai jenis ikan kering di Pasar Bawah

Rupanya nggak sampai sepuluh menit sudah sampai ke Pasar Bawah. Karena tinggal punya waktu satu jam, saya dan bu Gayatri langsung menuju toko yang setahun lalu kami kunjungi. Saya ingin beli sarung khas Riau sesuai pesanan suami, sarungnya tidak berat, malah terkesan tipis (tidak nrawang) tapi panjang dan lebar, enak dipakai untuk sholat.

Setelah beli barang sesuai yang kami inginkan, kami langsung turun tangga menuju penjual berbagai ikan kering. Ternyata pembeli masih lumayan ramai. Teman saya membeli berbagai macam ikan kering untuk oleh-oleh, saya nanti ikut makan saja pas ke rumah nya, karena si mbak yang ikut teman ini pintar memasak. Saya hanya membeli ikan jambal dan teri Medan.

Pasar makin sepi, jadi kami menuju ke luar, menelpon mas Adri untuk menjemput di tempat yang disepakati, karena tadi tempat parkir penuh, jadi mas Adri hanya ngedrop. Pulang nya mampir dulu ke restoran “Garuda” untuk membeli nasi dan lauk pauk nya guna dimakan di hotel, biar nggak keluar lagi. Di RM Garuda ketemu awak kabin pesawat BA (pramugari) yg juga membeli makanan untuk makan malam.

Kami langsung menuju hotel, langsung membuka belanjaan dan disusun di koper…. terpaksa buka tas tambahan agar barang belanjaan muat. Khusus belanja ikan asin, langsung dipacking cantik oleh mbak nya. Terimakasih mbak…wahh bisa jadi langganan kalau sempat ke Riau lagi.

Minggu, 2022020

Karena sudah sempat ke Pasar Bawah kemarin, hari ini kami santai muter-muter di kota Pekanbaru dulu, sebelum menuju bandara Syarif Kasim II untuk kembali ke Jakarta.

Depan masjid An Nur, Pekanbaru

Biasanya kami selalu mencoba mampir ke masjid terbesar di kota yang kami kunjungi. Jadi pertama-tama kami menuju masjid An Nur, masjidnya indah …. dan warna hijau nya khas Melayu.

Kebetulan saya dan bu Gayatri sengaja membawa kain batik, bu Gayatri pakai sarung Palembang dan saya pakai kain batik Bogor.

Ternyata menjadi paduan warna yang indah untuk foto dengan latar belakang masjid An Nur.

Depan Kantor Gubernur Riau Kepri

Selanjutnya kami menuju kantor Gubernur Riau Kepri, bangunan nya khas Melayu.

Puas foto di sini, perjalanan dilanjutkan menuju bandara, dan melewati Universitas Islam Riau.

 

Depan Universitas Islam Riau

Seperti biasa, kami sengaja mampir melihat-lihat universitas yang ada di kota yang kami kunjungi. Jika sebelumnya kami pernah mengunjungi Universitas Riau, maka kali ini kami memutari Universitas Islam Riau, atau dikenal dengan UIR.

Foto bersama pak Satpam yang sedang jaga dan CS. Foto by bu Gayatri.

Dalam perjalanan menuju bandara, kami melewati Gedung Kantor Wilayah BRI Riau. Sebagai alumni BRI, tentu kami ingin mampir, walau cuma mampir ke ATM untuk ambil uang. Saya mengajak pak Satpam dan mbak CS untuk foto di depan gedung Kanwil BRI Pekanbaru.

Ternyata kami kepagian datang di bandara,  check in baru dibuka dua jam sebelum jam keberangkatan. Kami disarankan ketemu Customer Service Garuda jika ingin lebih maju jam berangkatnya….syukurlah akhirnya jam keberangkatan yang seharusnya jam 13.00 wib, bisa dimajukan jam 11.00 wib.

Untuk foto-foto sambil memakai kain panjang, terimakasih pak Ken, yang telah memotret dan menemani kami keliling kota Pekanbaru.

Catatan:

Agak telah nih meng uploadnya, padahal sudah ditulis di facebook dan tinggal memindahkan.

Seminggu Social Distancing-Suka duka menerapkannya di lingkungan keluarga

$
0
0
Study at Home

Sudah seminggu penerapan social distancing (pembatasan sosial), yang merupakan cara persuasif untuk mengendalikan covid19, dilaksanakan di DKI Jaya.  Presiden juga menyerukan agar mulai belajar di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Saat saya menulis ini, yang positif corona (covid 19) di Indonesia telah mencapai 514 orang dan di Jakarta saja telah mencapai 307 orang. Baik pemerintah, media semua menyarankan agar melakukan pembatasan sosial, namun  apakah mudah melaksanakannya?

Work From Home & Study at Home

Saya cerita di lingkungan keluarga saja. Hari pertama dan kedua WFH (Work From Home) semua masih mudah dilakukan. Anak sulung dan menantuku bekerja dengan target yang diberikan oleh kantor. Dan mungkin karena baru awal, dan pimpinan sendiri masih bingung bagaimana cara yang pas melakukan WFH, maka bolak balik ada vidcon (video conference), untuk para staf yang kerja di rumah, dengan bos dan staf yang saat itu giliran kerja di kantor.

 

Perlu bantuan orang dewasa saat kirim laporan ke Guru

Ini tidak mudah karena internet tak selalu bisa mendukung, bahkan sering naik turun. Di satu sisi, anaknya juga mendapat tugas belajar di rumah, yang setiap kali sibuk menanyakan soal yang sulit pada bundanya.

Lengkap sudah, stres pekerjaan sendiri, ditambah pertanyaan bertubi dari anak….lha iya bunda di rumah kapan lagi bisa bolak balik tanya….akhirnya nada tinggi mulai menyeruak.

Salah satu tugas yang dikerjakan Ara

Babenya, yang juga kerja di rumah, kondisi kesehatannya juga lagi tidak “fit” terpaksa turun tangan membantu. Ini hanya anak satu dan sudah kelas 3 SD, tak terbayangkan jika punya anak lebih dari satu dan masih kecil-kecil. Lupakan rumah bersih, semua jadi arena belajar dan bekerja.

Yangti mengintip apa yang dikerjakan cucunya

Saya sendiri giliran masuk satu kali dalam seminggu, dan karena ada dua pekerjaan yang berbeda, berarti harus keluar rumah dua hari. Lokasi yang satu sama-sama di Jakarta Selatan, sehingga naik taksi tak sampai 30 menit. Namun, dalam hati berpikir juga, apakah aman? Siapa saja penumpang yang naik taksi tersebut sebelumnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menggerogoti pikiran, karena pernah baca, bahwa di Aichi, perfektur tempat anak bungsuku tinggal di Jepang bersama suami dan putra kecilnya, penularan terjadi pada sopir taksi, karena penumpang sebelumnya  pernah pergi ke Wuhan. Jadi, naik taksipun ada risikonya.

Saat mesti pergi ke lokasi berikutnya, yang letaknya di dekat Pecenongan, saya mulai memikirkan enaknya pakai kendaraan apa yang aman? Tak mungkin meminta tolong anakku mengantar karena dia juga harus WFH. Ternyata jalan Si Singamangaraja, Sudirman dan Thamrin tetap padat, walau tak sepadat biasanya, karena yang punya kendaraan pribadi memilih naik kendaraan pribadi. Jadi perjalanan ke tempat kerja memerlukan waktu satu jam lebih. Waduhh, cuma berdua sopir, mobil ber AC dan tak tahu penumpang sebelumnya siapa. Saya lihat, bis kosong melompong, jadi pulangnya saya naik busway…hanya ada 8 orang satu bis. Kemudian turun di bundaran HI untuk naik MRT…dan satu gerbong yang saya tempati cuma dua penumpang…serasa MRT milik sendiri.

Hari Sabtu, yang biasanya senam pagi ramai-ramai terpaksa diliburkan untuk mengurangi kumpul-kumpul. Saya jalan kaki dari rumah, niat hati berolah raga, ujung-ujung nya mampir ke pasar. Saya tertarik membeli adpukat, oleh penjualnya diberi plastik kecil…”untuk apa pak, kan saya mau beli 3 (tiga) kg?” “Untuk membungkus tangan ibu“, kata penjual buah. Jadilah saya berkeliling pasar, membayar dengan tangan dilindungi kantong plastik dan pulangnya naik bajaj. Sampai rumah langsung cuci tangan pakai sabun dan mandi lagi serta ganti baju. Tas tempat belanja, saya cuci juga….sepatu saya jemur di bawah sinar matahari….duhh repotnya.

Syukurlah kami akhirnya sepakat pekerjaan benar-benar dilakukan di rumah saja…terbayang repotnya, walau masuknya bergantian. Dan teman-temanku di grup WA bilang…”Kamu jangan berani-berani nya ke pasar, kan bisa belanja on line? Nanti barang belanjaan dicantolkan di pagar, uang untuk membayar kita bungkus plastik, ” temanku berkata. Di WA grup ramai bersahutan diskusi, bagaimana mengatasi cara kita bisa bertahan hidup tanpa keluar dari rumah, semua bisa dilakukan secara on line.

Duhh kalau semua belanja on line, kasihan pedagang di pasar tradisional, itupun saya lihat pasar tidak terlalu ramai, sepanjang kita pakai masker, maka kita tak bersentuhan dengan orang. Sampai rumah memang harus segera cuci tangan pakai sabun, mandi dan ganti baju. Yang saya sedihkan, saya nggak bisa menikmati pijet, karena tukang pijet langganan saya, suka mondar-mandir memijat di rumah pelanggannya di daerah Kemang dan Pondok Indah.

Sementara ini di rumah saja ya…semoga badai covid 19 ini cepat berlalu. Hikmahnya cucuku  bisa bangun pagi, sarapan, dan jam 7.30 wib sudah siap duduk di kursi untuk belajar. Kami membuat jadual jam istirahat, sesuai jam di sekolah. Dan belajar baru selesai jam 15.30 wib…..anaknya tetap senang, menunjukkan hasil nilai PR dari bu Guru yang bagus, apalagi belajar didampingi babe dan bunda.

Viewing all 390 articles
Browse latest View live