Rasanya udah lama sekali nggak mengunjungi Campus BRI Bandung, yang dulunya dikenal sebagai Sendik BRI Bandung. Campus BRI yang menurut pengamatan saya paling indah, mungkin karena jenis tanahnya serta letaknya di daerah Lembang sehingga tanam-tanaman nya bisa tumbuh subur.
Senangnya telah tiba di stasiun Bandung.
Saya dan teman naik kereta api dari stasiun Gambir menuju stasiun Bandung, dijemput oleh Riki. Setelah mampir untuk membeli tahu Sumedang, perjalanan kami berlanjut ke Campus BRI Bandung.
Kali ini saya menginap di Guest House Campus BRI Bandung. Hujan yang sejak siang tidak berhenti bahkan makin deras, terasa dingin menggigit tulang.
Bunga bermekaran di depan Guest House Campus BRI Bandung.
Awalnya saya mengira, mungkin karena saya kurang sehat dan sudah makin bertambah usia, ternyata temanku yang usianya jauh di bawah ku merasakan juga bahwa hawanya dingin sekali.
Bagaimanapun. saat pagi hari saya dan teman jalan-jalan di sekitar kampus, senang melihat lingkungan kampus yang bersih, rapi dan penuh bunga berwarna warni.
Campus BRI Bandung
Rumah-rumah dinas yang digunakan untuk Kepala Campus BRI Bandung dan para Instruktur terlihat bersih, halamannya penuh dengan berbagai jenis bunga yang sedang bermekaran.
Bunga-bunga di Campus BRI Bandung
Bunga di depan Guest House sungguh menyegarkan mata dengan warnanya yang indah.
Hari ini temanku akan mengajar Manajemen Risiko, selesai mengajar kami menunggu sholat Magrib dan makan malam, kemudian baru pindah ke hotel yang letaknya di dekat terminal Ledeng, lumayan agak terasa hangat, tidak sedingin di Lembang. Jadi sisa waktu dua malam saya gunakan untuk menginap di hotel ini, agar tak kedinginan.
Foto beserta peserta pelatihan.
Besok nya, selesai mengajar, saya diantar pak sopir ke tempat Citri Trans, untuk pulang ke Jakarta menggunakan Citi Trans. Lokasi Ciri Trans ini lokasinya dekat rumah, sehingga cukup dijemput pak bajaj langganan untuk sampai ke rumah.
Saya dan teman mendapat tawaran mengajar di Pekanbaru, kesempatan ini tak di sia-sia kan untuk mengunjungi daerah wisata di sekitar Pekanbaru. Teman saya mengajak putrinya, yang sedang libur kuliah. Kami berangkat menggunakan pesawat Garuda dari Jakarta, cuaca kurang baik sepanjang perjalanan, bahkan saat mau mendarat pesawat terpaksa berputar sampai sekitar 20 menit.
Di depan istana Siak Sri Inderapura bersama bu Gayatri.
Pada hari Rabu 9 Januari 2019, setelah sehari sebelumnya mengajar, saya bersama teman dan putrinya mengunjungi Istana Siak Sri Inderapura. Perjalanan Pekanbaru-Siak ditempuh 2,5 jam karena di beberapa tempat rusak, sehingga mesti pelan-pelan. Jadi perlu waktu 5 (lima) jam untuk perjalanan pulang pergi, waktu yang cukup lama.
Di tengah jalan hujan deras turun yang terus berlanjut sampai mobil memasuki jembatan Siak. Syukurlah hujan mulai rintik-rintik saat kami memasuki Siak.
Di depan pintu masuk istana
Raja Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II, telah menyumbang 13 juta gulden Belanda kepada Presiden Soekarno untuk membantu Indonesia yang sedang merdeka, saat ini nilainya sekitar Rp.1 triliun (Kompas,19 Januari 2019 halaman 17). Nama Sutan Siak ini, yang pernah menjadi ajudan bung Karno, sekarang diabadikan menjadi nama bandara di Pekanbaru. Sultan Siak Syarif Kasim II mendapat gelar pahlawan nasional.
Kaca hias permaisuri Siak yang unik dibuat dari kristal
Sebenarnya teman saya ingin menikmati pergi ke Siak melalui sungai, tapi saya kawatir karena sungainya sedang penuh, cuaca musim hujan dan juga pak sopir tidak merekomendasikan naik perahu. Istana Siak Sri Inderapura dibangun sekitar 100 meter dari tepi sungai Siak.
Syukurlah guide yang menemani sangat menyenangkan, walau sayangnya tak ada buku yang dapat dibeli, yg bisa menjelaskan riwayat Istana Siak ini.
Dinding keramik dari Turki
Banyak benda-benda di istana Siak ini yang berasal dari luar negeri, seperti dinding marmer ukiran yang berasal dari Turki.
Hasil foto kaca kristal yang unik
Yang menarik adalah kaca hias yang terbuat dari kristal, yang menghasilkan foto-foto unik, seolah kita berada di dalam nya.
Tangga berhias yang dibuat dari Belanda
Tangga yang menuju lantai 2 (dua) dibuat oleh orang Belanda, berwarna kuning cerah.
Komet
Disini terdapat Komet, yang hanya tinggal dua di dunia ini, yaitu di Jerman dan di Indonesia (di istana Siak). Komet adalah sejenis musik gramopon, piringnya terbuat dari baja yang terdiri dari musik-musik instrumen klasik Jerman abad ke VIII ciptaan komponis terkenal Bethoveen, Mozart dan Strauss. Komet di Istana Siak, dibawa oleh Sultan Siak XI dari lawatannya ke Eropa.
Kota Siak termasuk kota Kabupaten, dan bupati Siak yang sekarang nantinya akan menjadi Gubernur Riau. Kotanya bersih dan rapi, jalannya luas, di kiri kanannya terdapat pohon-pohon besar yang rindang.
Masjid Syahabuddin
Masjid yang digunakan keluarga kerajaan, namanya masjid Syahabuddin, letaknya tidak jauh dari istana Siak Sri Inderapura. Di belakang masjid ini terletak kompleks pemakaman para Sultan Siak.
Menurut teman yang sedang bertugas di Siak, sebetulnya kota Siak ini kecil, kita cukup berkeliling mobil selama 15 menit telah bisa melihat seluruh kota Siak. Walau begitu, ternyata ada yang terlewat tidak sempat kami kunjungi, yaitu bekas tangsi zaman Belanda yang baru selesai dipugar tahun 2018.
Tentu tidak afdol jika pergi ke Siak tanpa mampir di rumah makan “Pondok Bambu Jihan” yang masakannya khas Melayu. Kelihatannya restoran ini merupakan rumah makan yang terkenal di Siak, karena pengunjungnya penuh, dan makanannya sungguh sedap.
Depan Masjid Agung Sultan Syarif Qasim
Setelah makan siang, kami ingin sholat Duhur, jadi kami menuju masjid Sultan Syarif Qasim yang luas, dekat dengan jembatan Siak yang indah. Bentuk bangunan masjid ini mirip dengan masjid Islamic Center di Samarinda. Setelah mengambil foto di depan masjid, kami melanjutkan mampir ke Kantor Cabang BRI Siak, di lobby sedang banyak nasabah, rupanya para guru honorer yang baru lulus sertifikasi sedang membuka tabungan di BRI guna menampung gaji setiap bulannya.
Di tepi Jembatan Siak yang indah.
Hari semakin sore, kami memutuskan segera kembali ke Pekanbaru. Kami sengaja mampir di pinggir jembatan Siak yang indah ini untuk mengambil fotonya, karena saat berangkat tadi kondisinya sedang hujan. Susah juga mengambil foto jembatan karena kendaraan yang lewat semuanya ngebut.
Jembatan Siak yang indah (foto by Ridha)
Akhirnya dapat juga foto jembatan Siak, diambil dari dalam mobil. Di foto ini terlihat betapa indahnya sungai Siak yang luas ini, yang dulunya merupakan urat nadi perdagangan di kerajaan Siak Sri Inderapura.
Duhh banyak sekali rupanya yang pengin diceritakan tapi tertunda terus oleh kegiatan lainnya. Rupanya dunia nyata memang menyibukkan ya, ditambah macetnya Jakarta semakin menggila, bikin badan udah capek sampai di rumah, dan tak ada niat lagi untuk sekedar menulis catatan ringan di blog.
Namun karena ke resto ini merupakan pengalaman yang menarik buatku, jadi pengin cerita, siapa tahu ada yang pengin menikmati masakan asli Yunani di Jakarta.
Hari Minggu, saya diajak menantu dan anakku mencicipi makanan khas Yunani, yang dimasak oleh koki Yunani asli. Sejak lama anak dan menantuku mengajak makan siang di “HaloNiko, Greek & Javanese in one place“, tapi susah sekali cari waktu yang semuanya bisa kumpul.
Our Greek Salad-amix of fresh tomato-cucumber-green paprika-olive-feta cheese in olive oil dan venegar dressing.
Hari ini awalnya ingin makan di HaloNiko yang dekat dengan resto Kembang Kencur, persis di jalan sebelah Gonzaga, sayang tempat penuh dan harus reserved dulu.
Tempatnya menyenangkan, cocok buat kumpul dan mengobrol dengan sahabat. Jadi kami beralih ke HaloNiko yang pertama kali dibuka, di belakang PromenadeBuilding, persis di belakang Starbuck.
Sage-greek tea with honey
Syukurlah masih ada tempat untuk 4 (empat) orang. Kami memesan Spanako Pita, Omeleta, Our Greek Salad, Sunny Day Pizza. Untuk minum nya Greek Coffee, Milk Shake, Ronde Bule dan Sage (Greek tea with honey).
Hujan mulai turun, makin lama makin deras. Kami mengobrol sambil menikmati makanan. Ronde Bule biasa saja, saya surprised dengan minuman sage….enak sekali.
Omelete
Omelete nya juga enak, cucu saya hampir habis dimakan sendiri. Spanako Pita, rasa bayamnya sangat terasa. Saladnya enak, tapi untuk seleraku, saya lebih suka salad nya Komunal 88. Pizza rasanya standard, atau saya sudah terlalu sering makan Piza?
Lain kali ingin mencoba HaloNiko yang di Pejaten, tempatnya lebih menyenangkan untuk makan bersama sahabat dan keluarga, serta harganya relatif terjangkau..
Di perjalanan pulang dari kota Siak ke Pekanbaru, kami berdiskusi, enaknya mau pergi kemana lagi. Kami masih punya waktu seharian hari Kamis, tanggal 10 Januari 2019, karena Jumat sore sudah kembali ke Jakarta. Dari beberapa pilihan yang kami diskusikan dengan pak Al (driver), kami sepakat melihat Ulu Kasok Kampar, yang konon mirip dengan Raja Ampat sehingga oleh orang-orang Riau disebut sebagai Raja Ampat KW, dan mirip dengan Puncak Mandeh di Sumatra Barat. Bedanya Puncak Mandeh berada di pinggir laut, sedang Ulu Kasok di tepi danau PLTU Koto Panjang.
Fakultas Pertanian Universitas Riau
Keluar kota Pekanbaru menuju Bangkinang, kami melewati Universitas Riau. Sesuai kebiasaan kami, dalam setiap perjalanan ingin menengok universitas yang berada di kota tersebut. Jadi kami berbelok memasuki kampus Universitas Riau, melewati jalan yang lebar dan terdapat pohon karet di kiri kanannya.
Kami hanya berkeliling tanpa tujuan sambil melihat-lihat, mampir dan mengambil foto Fakultas Pertanian Riau.
Hutan di lingkungan Universitas Riau
Gedung yang terlihat banyak mahasiswanya adalah gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Semakin dekat terlihat beberapa mahasiswi sedang berfoto sambil membawa buket bunga. Ada wisudakah? Saya dan teman yang ingin foto di situ mendekat dan setelah mengobrol, rupanya mereka baru lulus untuk mendapat persetujuan melakukan Tugas Akhir (thesis). Agak bingung juga kok sudah foto-foto…ya sudahlah situasinya mungkin berbeda dengan zaman saya dulu.
Pintu masuk Ulu Kasok Kampar
Dari Universitas Riau kami melanjutkan perjalanan ke kota Bangkinang, saya pernah ke sini tapi sudah lama sekali dan jauh sekali bedanya. Masuk ke kota Bangkinang terlihat ada masjid Agung yang indah di kiri jalan, dalam hati, sempatkan kami nanti mampir ke sini?
Pemandangan indah di Ulu Kasok Kampar
Perjalanan dari Pekanbaru ke Ulu Kasok Kampar cukup lama, jarak sekitar 100 km dari Pekanbaru ditempuh 120 menit (Pekanbaru-Bangkinang 90 menit dan Bangkinang-Ulu Kasok 30 menit).
Lokasi Ulu Kasok Kampar persis di pinggir jalan Pekanbaru-Padang. Daerah wisata ini baru dibuka 1,5 tahun lalu sehingga alamnya masih asli. Untuk mencapai puncak Ulu Kasok Kampar, harus jalan kaki menanjak atau naik ojek. Saya yang takut naik ojek deg-deg an, tapi kalau jalan kaki dan naik ke atas sendirian juga nggak kuat.
Mirip Raja Ampat dan Bukit Mandeh
Apa boleh buat, saya memutuskan naik ojek, pegangan kuat sambil merem dan berdoa. Jalan meliuk-liuk terdiri dari bebatuan yang licin bercampur tanah ….. benar-benar serem kalau sampai jatuh. Tukang ojek yang tahu saya kawatir bilang, …”Aman kok bu, kalau ada apa-apa kan kaki saya yang kena duluan.”
Ceria
Sampai di puncak, pemandangan di Ulu Kasok Kampar sungguh indah …… dari atas terlihat keramba-keramba ikan dan kapal-kapal kecil. Jika cukup waktu ada kapal yang bisa disewa untuk melihat pulau-pulau, sayang waktu kami tak banyak. Kami memuaskan diri untuk mengambil foto, dan menikmati pemandangan alam yang indah ini.
Foto sambil pegangan kuat.
Pulau-pulau yang terbentuk berasal dari desa yang ditenggelamkan, dialiri air dari sungai Kampar, untuk membuat bendungan guna keperluan PLTU. Setelah sekian tahun pemandangan desa yang ditenggelamkan menjadi pulau-pulau yang indah. Dari puncak Ulu Kasok, saya melihat ke seberang, terlihat jejeran bukit-bukit, bis dan kendaraan pribadi ramai melewati jalan yang berbelok-belok menuju kota Padang.
Ketemu pak Dodi di RM Tapak Lapan Baru
Dari Ulu Kasok Kampar, kami kembali ke Bangkinang untuk makan siang di RM Tapak Lapan Baru ….. yang menyediakan masakan Jamin (singkatan Jawa Minang).
Asam Pedas Baung yang mak Nyuuz
Lodehnya sungguh sedap, yg terkenal di restoran ini adalah masakan ikan asam pedas Baung. Sayang saya tak berani makan pedas, jadi hanya berani mencoba sedikit. Di restoran ini ketemu teman-teman dari BRI Bangkinang yang baru saja selesai acara.
Mungkin dari salah satu staf BRI ada yang menelpon Pak Dodi, Pemimpin Cabang BRI Bangkinang, karena tak lama kemudian pak Dodi menghampiri kami yang baru akan makan. Pak Dodi mengundang kami mampir di kantornya, sekalian untuk sholat di sana. Jadi akhirnya kami mampir ke BRI Bangkinang untuk ikut sholat di mushola nya.
Perpustakaan Islamic Center di Bangkinang
Setelah mengucapkan terimakasih telah menawari kami mampir, kami kembali ke Bangkinang melewati masjid Agung tadi. Kami sempatkan untuk mampir sebentar, mengambil foto-foto. Badan terasa capek, dan kok ya sudah kangen pulang, jadi kami langsung kembali ke Pekanbaru.
Jalan dari Bangkinang ke Pekanbaru macet sekali, rupanya banyak para pegawai yang rumahnya di Bangkinang bekerja di Pekanbaru, atau sebaliknya. Jalan raya penuh dengan mobil pribadi, sudah saingan dengan Jakarta deh macetnya, apalagi kami melewati perempatan jalan yang lampu merahnya mati. Lengkap sudah kemacetan yang terjadi.
Akhirnya sampai juga ke kota Pekanbaru, mampir dulu di Ayam Suharti, agar sampai hotel kami sudah tidak harus keluar lagi untuk mencari makan malam. Makan di hotel biasanya kurang pas untuk perutku, jadi kalau sempat memang beli makanan yang sesuai di luar hotel. Masuk kamar hotel, jam sudah menunjukkan pukul 7.00 malam, kami bergantian mandi, dan setelah sholat, makan rame-rame sambil mengobrol … rupanya kami semua punya kesan yang bagus terhadap Ulu Kasok Kampar.
Sore nanti kami kembali ke Jakarta, dan karena hari Jumat maka kami harus memperhitungkan waktu, karena driver harus sholat Jumat. Pagi hari setelah sarapan di Novotel Pekanbaru, saya menanyakan jam berapa paling telat bisa check out? Mas nya menjawab check out jam 12 siang tapi bisa mundur sampai jam satu siang. Berarti tak masalah, kami bisa pergi ke Pasar Bawah sekitar dua jam, kemudian bisa sholat Duhur jam 12.30 wib kemudian chek out.
Pasar Bawah Pekanbaru.
Teman yang bertugas di Pekanbaru menanyakan, apakah kami bisa bertemu untuk sama-sama makan siang sebelum ke bandara? Temanku menjawab, kami bisa ketemu asal makannya di restoran yang dekat arah bandara agar tidak telat.
Jadi, pagi itu kami menuju Pasar Bawah Pekanbaru. Pasar ini sangat terkenal, apalagi zaman sekitar tigapuluhan tahun lalu, karena di pasar ini banyak dijual barang impor dengan harga sangat miring. Saya penasaran seperti apa situasi Pasar Bawah ini sekarang. Konon di Pasar Bawah sekarang, banyak dijual barang-barang impor produksi Malaysia.
Ayoo diborong
Hari masih pagi saat kami sampai di Pasar Bawah. Kami langsung menuju lantai 2 (dua), pas di lorong pertama dekat tangga lantai 2 (dua), ada penjual kain khas Riau. Kami mampir ke sini, sambil mengobrol dan saling berkabar tentang situasi di Pekanbaru, akhirnya kami membeli beberapa kain sarung khas Riau untuk oleh-oleh teman terdekat, maklum bagasi juga terbatas.
Berbagai kain khas Riau
Toko ini saya lihat barang dagangannya lengkap, harganya juga relatif tidak mahal. Ada berbagai jenis barang yang dijual, dari yang harga murah sampai yang paling mahal. Si Abang juga bercerita kalau bu Khofifah (sekarang Gubernur Jawa Timur) dulu sering mampir ke sini untuk memborong kain-kain khas Riau.
Berbagai jenis oleh-oleh di lantai 1 Pasar Bawah.
Dari lantai dua, kami turun ke lantai satu, teman saya langsung menuju tempat untuk membeli Milo, konon Milo buatan Malaysia lebih kental dari Milo Indonesia. Karena bukan penyuka Milo, saya hanya membeli coklat almond untuk cucu. Sebetulnya pengin juga beli yang lain, tapi males karena membawanya berat, maklum setelah faktor “U” ini tidak boleh membawa barang berat lagi.
Penjual ikan kering
Dari sini kami menuju pasar tempat menjual ikan teri, siluang (mirip ikan wader di Jawa), jambal ….. dan ternyata ada ikan baung asap. Saya pengin beli tapi nanti masakanku belum tentu bisa seenak masakan di RM Tapak Lapan Baru Bangkinang. Temanku membeli ikan asap baung ini …. dan nantinya saya ikut menikmati hasil masakan koki temenku, yaitu sayur daun singkong dengan ikan asap baung.
Selesai berbelanja, kami segera menuju hotel karena driver mau sholat Jumat dan kami masih harus merapihkan koper, yang makin sesak setelah ditambah barang belanjaan dari Pasar Bawah. Selesai sholat Duhur, kami segera turun untuk chek out dan menunggu driver di lobby.
Pos Polisi Gurindam 3
Kami langsung menuju bandara, kebetulan janji temu di restoran searah dengan bandara yaitu Pondok Masakan khas Melayu di jl. Sudirman Pekanbaru. Di perjalanan, kami melewati pos polisi Gurindam 3.
Kata temanku, nama pos polisi di Pekanbaru ini semuanya dinamakan dengan nama gurindam 1 sampai dengan gurindam 12. Hal ini disebabkan di sini tempat lahirnya gurindam 12, tepatnya di pulau Penyengat, yang termasuk Propinsi Riau.
Makan siang bersama teman-teman di Pondok Masakan Khas Melayu
Sampai di restoran teman-teman sudah berkumpul dan masakan telah siap, jadi kami langsung menikmati masakan sambil cerita, mengenang saat-saat kami masih satu Divisi dulu. Betapa dulu saat mengalami hal-hal yang berat, rasanya begitu berat, setelah berlalu menjadi kenangan manis karena bisa menyelesaikan tugas berat tersebut.
Mirip sayur lodeh tapi rasanya lebih ringan
Rasa masakan di restoran ini sungguh enak, saya jadi jatuh cinta deh sama masakan Melayu. Rasanya lebih ringan dibanding masakan Minang, sehingga lebih pas untuk seleraku.
Sayur daun pakis
Sayur daun pakisnya sungguh sedaap, juga sayur yang dimasak mirip lodeh tapi lebih ringan…benar-benar mak nyuuz.
Tak terasa kami harus segera menuju bandara kalau tak ingin ketinggalan pesawat. Kami berpamitan, saling mengucapkan doa semoga semua sehat dan bisa ketemu lagi.
Sungguh menyenangkan perjalanan ke Pekanbaru, ketemu teman-teman lama yang menyenangkan, menikmati masakan Melayu yang sedap, juga wisata alam dan budaya nya yang menarik. Hmm semoga bisa kembali ke sini, sepertinya masih banyak tempat yang belum sempat di explore.
Setelah beberapa kali panitia mengadakan pertemuan, diputuskan acara ulang tahun Stripboss (angkatan mapram Faperta IPB tahun 1969….udah tua yaaa), untuk menginap di Vila Yosky agar tidak terlalu jauh bagi teman-teman yang domisilinya di luar Bogor dan tidak macet. Stripboss singkatan dari…Study, rekreasi, pacaran..boss. (Boss merupakan panggilan ke rakawira dan rakawati saat itu). Acaranya 2 (dua) hari, tanggal 16 dan 17 Februari 2019, bagi teman-teman yang mau menginap disediakan di Wisma Yosky….gratis dong, karena ada sponsor dari beberapa rekan A6 Faperta IPB.
Jl. Prof Dr H. Andi Hakim Nasoetion
Saya janjian sama Ati serta Martha di Citos jam 9 pagi, syukurlah Tomo (adiknya Ati) bisa mengantar sampai Sindangbarang, Bogor. Rupanya jalan sangat lancar, jam 10 an kami sudah sampai ke Bogor, jadi kami mampir dulu sarapan toge goreng, di samping kampus IPB Baranangsiang.
Penjualnya kali ini cewek, terakhir ke sini penjual nya cowok, rupanya adik dari mbak yang jualan sekarang ini, adiknya sekarang mangkal dekat Rumah Sakit PMI Bogor. Sayang nggak ada krupuk, makan toge goreng tanpa krupuk rasanya ada yang kurang. Sambil menunggu pesanan, saya dengan Ati dan Martha mencoba ambil foto yang persis ada tulisannya Jl. Prof Dr H. Andi Hakim Nasoetion.
Selesai makan toge goreng, baru kami menuju Sindangbarang, Bogor. Syukurlah tak nyasar, letak Vila Yosky di belakang kompleks tentara Yonif 315. Melewati kompleks tentara ini, kami langsung belok kiri, di pojok jalan ada tanda A678 ditempel di kertas ungu …. terimakasih ya Didik yang telah bersusah payah menempelkan tanda, agar teman-temannya tidak nyasar. Kami mengikuti tanda A678 yang dipasang Didik, dan sampailah di Wisma Yosky. Di sini yang ada baru Didik, kami langsung melihat-lihat dan kemudian membagi kamar berdasar fasilitas tempat tidurnya. Ada 13 orang perempuan yang menginap di sini, sedang untuk bapak-bapak disediakan di cottage yang terpisah.
Nasi kuning ultah Stripboss A6 ke 50
Nasi Kuning yang telah dihias indah sudah siap, merupakan nasi kuning acara ulang tahun A678 Stripboss ke 50. Tadinya kami berpikir untuk pesan nasi kotak, tapi ide Didik lebih bagus, dan ternyata nasi kuning inipun terlalu banyak bagi kami.
Jika sudah berkumpul lupa usia
Makin bertambah usia, kami makan nya makin sedikit, apalagi cuaca panas, inginnya minum terus. Saya menikmati buah nangka yang dibawa Ati dari kebunnya, manis sekali rasanya.
Tak lama teman-teman dari Bogor berdatangan, dan kemudian … turun hujan deras sekali. Terpaksa acara memasang backdrop ditunda menunggu hujan reda.
Seolah berdiri di depan Kampus BRI Baranangsiang
Backdrop yang idenya dari Tinoek sungguh indah, Tinoek membuat backdrop yang lebar dan tinggi, sehingga jika berfoto didepannya, seolah-olah kami berdiri di depan kampus IPB Baranangsiang.
Kembang api dan hujan mengiringi Alda membaca puisi, membuat terharu.
Sebetulnya kami ingin memasang api unggun, tapi Didik nggak setuju karena nanti mengganggu tetangga sekitar, serta sayang rumputnya. Dan ternyata memang malam itu hujan deras, jadi kalau memasang api unggun beneran, akan repot dan kami yang sudah usia ini rentan masuk angin.
Alda membaca puisi, terpaksa dibantu Is dengan menyalakan lampu dari Hp
Api unggunnya di ganti menggunakan stick senter (dan ternyata para nini dan akung ini mesti diajari dulu oleh cucunya Gunawan (?) untuk menyalakan stick senter.
Alda mulai membaca puisi, dibantu Iswandi menyalakan lampu dari Hp… sungguh terharu mendengarnya.
Selanjutnya Alda mendampingi Gregory membacakan sajak tentang “Baranangsiang”, diiringi nyala kembang api dan stick senter yang dipegang masing-masing anggota A678 ….. diiringi suara hujan … sungguh syahdu, seolah kami berada di kampus IPB Baranangsiang.
Acara Sabtu malam ini dilanjutkan dengan acara nostalgia, mengenang hal yang lucu-lucu di masa lalu. Apa yg dulu rasanya serem dan tertekan, setelah melewati itu semua menjadi lucu kalau diingat sekarang. Dosen Kimia Analit, alm pak Haryadi termasuk yang ditakuti oleh mahasiswa. Di tengah-tengah praktikum, pak Haryadi masuk ke ruangan, teman mahasiswi yg bahenol, yg seharusnya menggoyang tabung erlemeyer, bukannya menggoyang tabung, tapi bokongnya yg bergoyang. Kami yang melihat menahan tertawa tapi takut. Setelah pak Haryadi keluar ruangan, semua seisi ruangan baru bisa ketawa.
Ada lagi alm pak Tjahyono Samingan, dosen Taksonomi. Suatu ketika di Kebun Raya, beliau meminta salah satu mahasiswa merogoh tas kresek untuk mengambil salah satu spesies tanaman dan ditanya. Karena panik, mahasiswa ini nggak bisa menjawab, keluar keringat dingin. Dan karena yang diambil bukan rumput, dia menjawab, “Gnetum gnemon.” Dan sukses mengulang kuliah beliau…dan jika mengulang rata-rata tiga kali baru lulus. Acara Sabtu malam ini sungguh seru dengan banyak teman yang menceritakan kenangan manisnya selama kuliah di IPB Bogor. Termasuk bunda Rini, yang menceritakan pengalaman beliau saat menjadi mahasiswa. Bunda Rini ini masih angkatan Fakultas Pertanian IPB, namun ngefans berat sama angkatan A678, beliau hampir ikut di setiap acara yang diadakan A678. Juga mbak Kennieta Soetardjo, manager Kuntum farmfield, A3 (?) … seneng ketemu teman-teman A678.
D, yang sekarang sudah Professor Doktor, menceritakan kenangannya saat ujian ulangan pak Tjahyono Samingan. Saat ujian ulangan, dia duduk di deretan kursi paling akhir, satu persatu dipanggil masuk ke ruangan pak Tjahyono untuk diwawancara kedalaman ilmunya tentang taksonomi. Dan masing-masing keluar ruangan dengan menangis. D yang ingin ujian ulangan agar nilainya naik, karena kalau nilainya tambah satu poin saja, dia bisa lulus sangat memuaskan. Melihat tiga orang berturut-turut keluar ruangan dengan menangis, maka D akhirnya pelan-pelan keluar ruangan untuk ngabur. Berpuluh tahun kemudian, D sudah menjadi dosen di IPB, saat menunggu bis IPB yang akan membawa para dosen ke kompleks IPB Dramaga, D ketemu pak Tjahyono dan cerita peristiwa tersebut. Pak Tjahyono tertawa terbahak-bahak dan mengaku, walau para mahasiswa keluar menangis, mereka yang ujian ulangan lulus semua dan nilainya ditambah satu sampai dua poin.
Dosen yang terkenal killer lainnya adalah bu Sri Haryadi, siapapun yang pernah dibimbing bu Sri, pasti sering menangis. Walau sebetulnya niat bu Sri baik, ingin mahasiswanya serius, dan baik sekali setelah para mahasiswa ini lulus wisuda. Dan lucunya, siapapun yang menangis, setelah keluar ruangan bu Sri, selalu mampir ruangan pak Watimena. Di sini pak Watimena memotivasi teman-teman ini untuk tetap semangat dalam berjuang sampai lulus.
Selesai acara, teman-teman banyak yang masih mengobrol sampai jam 12.00 malam. Saya langsung tiduran karena badan rasanya lelah, besoknya acara masih padat. Walau begitu, mendengar tertawanya teman-teman dari ruang makan, susah juga bisa tidur. Ingin rasanya bergabung, kalau nggak ingat badan sudah capek.
Uji kaki apa masih kuat diangkat.
Minggu pagi besoknya, jam 5.45 wib, kami berempat sudah siap memakai kaos seragam hijau daun yang cantik. Kami berniat jalan-jalan dulu sebelum acara senam sambil berfoto-foto. Lingkungan sekitar Vila Yosky ini indah dan udara masih bersih, enak buat jalan-jalan.
Foto sehabis senam pagi
Tak lama kemudian teman-teman lainnya dengan memakai kaos hijau Stripboss, mulai berdatangan untuk bersiap senam pagi.
Selesai senam, foto duluu
Instruktur senamnya cantik, alumni Fakultas Pertanian Universitas Andalas, membuat kami semua semangat senam pagi yang dilanjutkan dengan tarian Maumere.
Kami makan pagi dengan nasi uduk,ditambah ada kiriman roti Johnson dari Nungki, juga Panada buatan Beti Hasi Hashim. Senangnya melihat Hadi Hashim sehat, dengan Beti yang selalu ceria. Panada buatan Beti memang dikenal oleh teman-teman, dan rasanya enak sekali, dengan isi dagingnya yang lumer dimulut.
Foto dulu keburu panas, sayang belum semuanya hadir
Minggu siang ini acara puncak sekaligus launching buku A678. Senang sekali teman-teman bisa berkumpul sampai sekitar 60 orang. Banyak yang datang dari jauh, dari Malang, Surabaya, Garut, Lampung dll. Acara dimulai dengan doa, kemudian kami semua berdiri untuk menyanyikan lagu “Hymne IPB”.
Senangnya ketemu teman lama
Sebetulnya kami juga mengundang pencipta Hyme IPB ini, sayang beliau tak bisa hadir karena ada acara ke Surabaya. Sebelum acara lainnya, kami berfoto bersama dulu sebelum cuaca makin panas, di depan backdrop yang bergambar gedung IPB Kampus Baranangsiang. Rasanya terharu, berasa foto di depan Kampus IPB Baranangsiang.
Foto bersama para pendamping A678
Dipandu Alda dan Ati, serta Tinoek, acara demi acara berjalan lancar. Selanjutnya launching buku A678, Wartono mempresentasikan isi buku A678 Faperta IPB secara garis besar, ditayangkan melalui infocus, agar teman-teman bisa melihat seperti apa kira-kira jika bukunya sudah jadi.
Siapa bilang ini udah oma?
Sayang badanku mulai nggak kuat, mungkin masuk angin, suara serak …. saya mendahului masuk kamar untuk tiduran dan tidak ikut acara selanjutnya.
Alhamdulillah Ati dan Tomo berbaik hati mengantarku sampai rumah. Saya langsung diantar si sulung ke RS Setia Mitra untuk berobat.
Biasanya kalau ada rencana bepergian ke Samarinda, mesti menyiapkan mental dulu, karena perjalanan nya cukup panjang. Dari Jakarta naik pesawat menuju Balikpapan, kemudian dilanjutkan perjalanan darat dari Balikpapan ke Samarinda, yang rata-rata ditempuh antara 3,5 – 4 jam perjalanan. Jadi, masuk hotel di Samarinda sudah tepar.
Bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto
Namun sejak ada penerbangan langsung Garuda dari Jakarta ke Samarinda, maka kali ini kami pergi ke Samarinda dengan semangat, sehingga menghemat waktu 3-4 jam perjalanan. Saat pesan tiket pesawat ke Samarinda, Angger bilang kalau mau pesan pesawat Garuda ke Samarinda untuk 4 (empat) orang. Mbak nya ganti tanya….”Nggak ada bandara Samarinda mbak, yang ada bandara Tumenggung.” “Lha ya itu mbak ke bandara Tumenggung, yang dekat dengan kota Samarinda”, jawab Angger. Ternyata nama bandara di Samarinda adalah bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto, lokasinya di antara kota Samarinda dan Bontang, jadi mbak nya nggak salah juga kalau bilang nggak ada nama bandara Samarinda.
Tim Dewina
Penerbangan Garuda dari Jakarta ke Samarinda hanya satu kali sehari, sebelum jam 7 pagi, sehingga sampai bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto masih pagi.
Di tangga rumah adat Dayak Kenyah
Kami masih punya waktu untuk menikmati wisata di kota Samarinda, rencana utama nya ke masjid Islamic Center yang terletak di tepi sungai Mahakam. Kami berempat sudah siap berpakaian nasional untuk foto-foto di masjid. Kami tak lupa untuk mengambil beberapa foto di bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto.
Welfie
Ternyata dari Prant Airport (nama populer untuk bandara Aji Pangeran Tumenggung Pranoto) menuju kota Samarinda melalui desa Pampang, yang ada rumah adat Dayah Kenyah. Kami langsung memutuskan untuk mampir ke sini. Ini ketiga kalinya saya ke desa Pampang, entah kenapa terasa rumah Adat Dayak Kenyah ini sepi, padahal hari libur.
Di tangga masjid Islamic Center, Samarinda
Setelah mengambil beberapa foto di depan rumah adat Dayak Kenyah, kami langsung menuju masjid Islamic Center untuk sholat Duhur. Selesai sholat dan mengambil beberapa foto, kami menuju Pondok Borneo untuk makan siang.
Ikan trakulu bakar, sayur daun pakis, bakso ikan…hmmm sedaap
Setiap kami ke Samarinda, tak lupa mampir ke Pondok Borneo untuk menikmati ikan bakar dan sayur pakis. Selesai makan siang, kami ke kompleks Citra Niaga untuk melihat-lihat, siapa tahu ada yang bisa dibeli. Citra Niaga merupakan kompleks pertokoan yang menjual berbagai souvenir khas Kaltim.
Selanjutnya kami menuju Karya Bahari untuk mencari oleh-oleh makanan khas Kaltim. Badan terasa lelah….kami menuju hotel Aston untuk istirahat, agar besok saat acara kick off meeting dengan klien kami telah segar kembali.
Makan siang di Selyca Mulia Hotel bersama teman-teman Bank Kaltimtara
Besoknya kami siap melakukan presentasi dan diskusi dengan teman-teman Bank Kaltimtara, dan sorenya kami sempatkan mampir ke BRI Samarinda, ketemu teman-teman lama. Rasanya senang bisa mengunjungi Samarinda lagi.
Day 1: Amphiteater Panenjoan dan Museum Konservasi Geopark Ciletuh
Bagaimana rasanya jika kita punya impian dan akhirnya terlaksana? Perjalanan ke Geopark Ciletuh ini telah kami impikan sejak 2 (dua) tahun lalu, namun kesibukan masing-masing anggota A678 walau usianya makin bertambah, membuat sulit mencari waktu yang pas. Akhirnya putusan ditentukan oleh Tinoek, yang merupakan motor A678 untuk jalan-jalan, yang kami juluki sebagai Menpar A678. Sayang sekali, tidak semuanya pencinta jalan-jalan ke wisata alam bisa ikut serta.
Sebelumnya telah dipesan oleh teman-teman, bahwa perjalanan ke Ciletuh lumayan berat bagi usia kami, yang rata-rata telah melewati 65 tahun, bahkan ada yang hampir 70 tahun. Namun semangat ingin jalan-jalan bersama sahabat tak menghalangi kami untuk berangkat. Kami janjian pada hari Selasa tanggal 23 Juli 2019 jam 7.00 wib berangkat dari terminal Damri, di depan Botani Square Bogor. Saya berdua Ati yang tinggal di Jakarta, janjian ketemu di Citos jam 5 pagi, kemudian naik taksi ke Bogor. Rombongan kami berjumlah 15 orang.
Amphithetaer Geopark Ciletuh
Syukurlah perjalanan dari Bogor ke Ciletuh lancar karena hari kerja, jam 10.30 wib sudah sampai di pantai Sangrawayang. Panas menyengat, namun pemandangan laut dengan ombak yang berdebur memecah pantai, membuat kami segera membuat foto-foto dengan berbagai gaya. Setelah mengambil beberapa foto, perjalanan dilanjutkan menuju penginapan Bukit SOCA, tempat A678 menginap selama di Ciletuh. Penginapan ini terletak di bukit dengan pemandangan laut yang indah, dengan teluk yang melengkung, dan sawah serta bukit terhampar di sebelah kirinya.
Taman Bumi Panenjoan-sayang keindahannya kurang tertangkap kamera saya
Setelah makan siang dan sholat, kami menuju Amphitheater Panenjoan untuk melihat teater taman wisata bumi yang sungguh memukau. Sayang matahari sedang berada di bukit di hadapan kami, sehingga foto-foto yang kami buat kurang bagus, apalagi hanya menggunakan smarphone. Sebaiknya jika ingin menikmati amphitheater geopark Ciletuh pada pagi hari. Setelah puas menikmati amphitheater Panenjoan, sungguh aslinya benar-benar indah, rasanya terharu bisa sampai di sini dan melihat pemandangan indah ini.
Bersama sebagian rombongan
Selanjutnya kami menuju museum Konservasi Geopark Ciletuh, kami kecewa karena museum tutup. Tinoek yang memang aktif di bidang pariwisata dan Berkraf, menelpon beberapa orang dibantu guide yang menemani kami dari Bukit SOCA, tak lama kang Ramelan datang.
Asyiknya diskusi dengan kang Ramelan
Awalnya kang Ramelan agak kagok, namun dengan pertanyaan kami yang beruntun, tak terasa kang Ramelan telah menjawab semua pertanyaan kami, dan kami telah duduk di karpet dua jam lebih untuk berdiskusi, bagaimana awalnya alam Ciletuh yang indah ini diakui oleh Unesco, dan sekarang namanya menjadi Unesco Global Geopark (UGG) Ciletuh- Palabuhan Ratu.
Geoarea Ciletuh
Tinoek ikut menjelaskan, bahwa untuk memenuhi syarat disebut sebagai geopark, ada 3 syarat:
Geo-diversity
Bio-diversity
Cultural-diversity
Kawasan UGG Ciletuh-Palabuhan Ratu meliputi kecamatan Cisolok, Palabuhan Ratu, Simpenan, Waluran, Surade, Ciracap dan Ciemas, merupakan kawasan seluas 126.100 hektar. Keindahan alam UGG Ciletuh-Palabuhan Ratu sangat lengkap, ada lanskap: gunung, air terjun, sawah, ladang dan berujung di muara sungai ke laut (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2019, hal 1 dan 6).
Namun, kita tak boleh langsung bersenang hati, karena UGG CP ini akan dievaluasi lagi, apakah tetap memenuhi syarat disebut sebagai UGG Ciletuh-Pelabuhan Ratu. Unesco mensyaratkan 13 item yang harus terus dipelihara/dipenuhi agar tetap berstatus sebagai taman bumi dunia. Sayangnya ada 2 (dua) item yang masih berat, yaitu: 1) Inventarisasi warisan tak berwujud di kawasan sebaiknya diarahkan kepada cerita rakyat lokal, legenda, kepercayaan, lagu, tarian dan musik lokal/tradisional. 2) Kembangkan nilai kerja sama internasional dan pertukaran pengalaman dalam mempromosikan geologi, alam, nilai-nilai kemanusiaan, dan memperkuat peran geopark dalam pengembangan sosial ekonomi komunitas masyarakat lokal.
Biar mendung, tetap ceria. A678 di pantai Palawang.
Masih berat pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh Pemda dan masyarakat kawasan Ciletuh-Palabuhan Ratu, marilah kita ikut mendukung pemeliharaan ini, minimal dengan menjaga kelestarian alam, tak membuang sampah sembarangan jika berkunjung ke UGG Ciletuh-Palabuhan Ratu.
Dari Panenjoan, rombongan kami menuju pantai Palawang. Maksud hati mau menikmati sunset, sayang matahari tertutup awan, jadi akhirnya kami bersenda gurau dan berfoto ria di pantai.
Pagi jam 7.00 wib rombongan kami sudah siap, tujuan utama adalah menyusuri pulau Kunti dengan perahu, dan jika memungkinkan bisa menginjakkan kaki di pulau Kunti. Pulau Kunti terletak di teluk Ciletuk, berbatasan dengan Samudra Hindia.
Pelan-pelan turun ke perahu
Kami menuju dermaga yang sangat sederhana di perkampungan nelayan. Kapasitas perahu maksimal 14 orang, namun kali ini diisi dengan 15 orang, ditambah mas Andri sebagai owner Bukit Soca, yang bersedia mendampingi rombongan kami sebagai guide.
Agak serem juga saat melalui dermaga sederhana yang bergoyang-goyang jika diinjak, dermaga berupa rakitan dari bambu. Namun semangat untuk bisa menjelajahi pulau Kunti, walau sambil deg-deg an campur penasaran, membuat saya dan teman-teman berjuang menuruni perahu, bahkan ada yang merangkak.
Semangat….merangkakpun dilakoni.
Dan kok ya mas Ical, driver yang menemani kami sejak dari Bogor, yang pendiam dan murah senyum, diam-diam iseng mengambil foto teman yang sedang merangkak ini. Lucu dan seru, jadi kenangan manis yang tak mungkin terlupakan.
Batu punggung naga dari kejauhan
Perahu mulai berjalan pelan, dari perahu terlihat bebatuan beraneka warna dan bentuk di depan pulau Kunti, tegak berdiri terkena benturan ombak. Sayang ombak yang lumayan besar tak memungkinkan perahu kami mendekat. Perjalanan dengan perahu ini dilanjutkan sampai ke Batu Batik, melewati batu punggung naga.
Bebatuan dilihat dari perahu
Batu batik dan punggung naga ini merupakan ikon bebatuan purba, termasuk yang dipamerkan di museum Konservasi Geopark Ciletuh. Di sini ombaknya makin besar, karena telah mendekati ujung teluk Ciletuh, mungkin juga terpengaruh oleh angin yang datang dari Samudra Hindia.
Gua buntu yang dihuni kelelawar
Perahu kembali ke arah semula, kemudian merapat ke White Sand, namun yang berani turun hanya para bapak-bapak karena bisa pakai celana pendek. Dari perahu terlihat gua buntu dengan jelas, yang banyak dihuni oleh kelelawar.
Ombak menerpa bebatuan di pantai pulau Kunti
Perahu kembali menyusuri pulau Kunti kembali ke Dermaga, perjalanan dengan perahu ini pulang pergi memakan waktu 2 (dua) jam. Sampai di perkampungan nelayan, mata kami tertarik melihat ikan yang dijemur di halaman depan rumah.
Memborong ikan asin
Namanya ibu-ibu, langsung deh menyerbu ke tempat penjualan ikan ini. Ikan yang diperoleh dari nelayan langsung direbus, kemudian dijemur. Harga nya sangat murah, 1 kg ikan tembang harganya Rp.15.000,- sedang harga ebi 1 kg sebesar Rp.35.000,- Masing-masing akhirnya membeli minimal 1 kg ikan kering untuk oleh-oleh ke Jakarta.
Rupanya perjalanan ke Geopark Ciletuh ini sungguh berkesan, kami melanjutkan diskusi melalui Whatsapp Group (WAG), ingin tahu cerita tentang bebatuan purba yang ada di pulau Kunti. Sayang tak semua orang bisa menjelajahi pulau Kunti untuk melihat dan mengabadikan bebatuan purba ini, karena medannya yang sulit.
Ini komentar Tinoek di WAG, yang berprofesi sebagai Perencana Pariwisata berbasis lingkungan (ecotourisme planner)
“Di Geoarea Ciletuh terdapat fosil dan batuan langka sebagai bagian dari situs warisan geologi. Batuan langka tersebut berupa batuan ofiolit dan batuan metamorf yang berumur lebih dari 60 juta tahun serta batuan bancuh (melange), dan fosil numulites yang berumur Eosen. Batuan ofiolit berasal dari kerak samudra yang terdiri atas: Peridotit, Gabro berlapis, dike gabro, plagiogranit, lava basalt berstruktur bantal dan bagian atasnya di tutupi oleh endapan sedimen laut dalam, berupa rijang atau chert.
Sedangkan batuan metamorf adalah batuan yang dihasilkan karena adanya proses tumbukan antara kerak benua dan kerak samudra karena tekanan dan temperatur yang tinggi, batuannya terdiri atas: sekis mika, sekis hijau, amfibolit, dan serpentinit, serta batuan sedimen terdiri atas batupasir kuarsa di bagian atas serta batuan bancuh di bagian bawah. Batuan sedimen ini kemudian dikenal sebagai Formasi Ciletuh.
Lokasi yang paling ideal untuk melihat berbagai jenis batuan langka ini adalah di kawasan Gunung Badak hingga pesisir selatan Pulau Kunti, Kompleks Batu Naga di dekat pantai Batununggul, Sodong Parat di dekat pantai Cikepuh, serta kawasan Gunung Beas, Tegal Pamindangan, Tegal Sabuk, Keusik Luhur, Sungai Cikepuh, Sungai Cikopo dan Citirem. Di kawasan Gunung Badak dapat di jumpai batuan peridotit, gabro, serpentinit, lava bantal, melange, dan fosil nummullites.
Sedangkan di komplek batu naga dapat dijumpai lokasi tipe batuan sedimen Formasi Ciletuh yang sebagian telah terkekarkan karena pengaruh tektonik, kekar-kekarnya kemudian diisi oleh kuarsa dan karbonat sehingga membentuk pola tertentu dan kemudian mengalami proses oksidasi sehingga berwarna kuning kecoklatan hingga merah tua sehingga menghasilkan pola yang indah. Batuan di komplek ini oleh penduduk lokal di kenal sebagai batu batik.
Kawasan Gunung Beas, merupakan tempat yang paling ideal untuk melihat dan mempelajari batuan peridotit yang berasal dari lapisan paling atas mantel bumi. Tempat ini juga memiliki bentuk bukit morfologi yang khas dimana hanya tumbuhan berupa rerumputan yang hidup di atasnya, karena lapisan tanah penutupnya sangat tipis dan kaya akan unsur ferro (Fe) dan magnesium (Mg). Sementara daerah Sungai Cikepuh dan Sodong Parat, merupakan singkapan terbaik untuk mempelajari batuan kerak samudra gabro, plagiogranit dan batuan metamorfik amfibolit dan serpentin yang terjadi karena proses tumbukan”.
Setelah makan siang dan sholat Duhur, rombongan kami menuju curug Cimarinjung, yang letaknya tidak jauh dari penginapan Bukit SOCA. Lokasi curug Cimarinjung dekat dengan jalan raya, sehingga bagi kami yang udah berusia ini tidak terasa berat.
Mobil bisa parkir di dekat pintu masuk curug Cimarinjung. Dan sebelum memasuki Kawasan curug Cimarinjung, kami berfoto bersama dulu memakai kain nusantara.
Jalan menuju curug Cimarinjung
Jalan memasuki curug Cimarinjung telah di beton sehingga memudahkan pengunjung. Di pinggir kanan jalan terdapat selokan yang airnya sangat jernih. Di kiri jalan banyak penjual makanan, ada penjual pisang goreng, serta penjual air kelapa.
Saya langsung terpesona melihat curug Cimarinjung, yang dari jauh sudah terlihat, dikelilingi batuan purba yang saat terkena sinar matahari berwarna kemerahan.
A 678 di depan curug CimarinjungMas Andri menyarankan agar kami melanjutkan perjalanan, menunduk dibawah batuan, kemudian ada jalan setapak ke arah air terjun. Batu-batuan besar terasa licin jika kami tidak hati-hati dalam melangkah.
Walau musim kemarau, air curug cukup besar, air ini digunakan untuk mengairi sawah di sekitarnya. Kami diperkenalkan dengan wak Dadih yang bertugas memastikan sawah diairi, dan tugas ini dilakukan sejak tahun 1970 an. Senang mendengarkan cerita wak Dadih, orang yang sangat menyenangi bidangnya, melakukan tugasnya dengan senang hati.
“Curug Cimarinjung, yang terletak di Ciletuh, kabupaten Sukabumi Selatan, adalah fenomena alam dari sebuah proses yang memakan waktu puluhan juta tahun. Karya alam yg sangat indah tersebut menyimpan cerita tentang bumi yg belum seluruhnya terungkap. Itulah salah satu alasan melestarikan dan merawat curug Cimarinjung, yang merupakan salah satu geosite di wilayah Geopark Ciletuh yg telah diresmikan menjadi UNESCO Global Geopark tahun 2018 lalu. Geopark mengangkat konsep manajemen pengelolaan kawasan yang menyerasikan keragaman geologi, hayati, dan budaya, melalui prinsip konservasi, edukasi, dan pembangunan yang berkelanjutan” (diambil dari tulisan Tinoek, yang berprofesi sebagai ecotourisme planner, yang doyan ngajak teman-teman A678 jalan-jalan melihat keindahan alam di Indonesia).
Bersama Ati n Martha
Tak terasa kami lama bermain-main dan menikmati keindahan alam di curug Cimarinjung ini, waktu beranjak sore, kami masih punya satu acara lagi, yaitu menuju Puncak Darma untuk menikmati sunset. Di perjalanan, Ati membeli pisang goreng yang dibagikan kepada teman-teman satu rombongan. Di daerah Ciletuh ini pisang nya sungguh legit.
Kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Darma, merupakan bukit tempat menikmati sunset. Sayang sekali, matahari tertutup awan, disamping itu pengunjung juga makin banyak, sehingga mesti antri jika ingin memotret tempat tertentu. Setelah mendapatkan foto sebagai kenangan, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan Bukit Soca.
Bukan A678 namanya kalau acaranya nggak seru. Ini hari terakhir kami kumpul-kumpul sebelum siang nanti kembali ke Jakarta. Hari ini acaranya melihat curug Sodong, yang juga sering disebut curug Kembar karena ada dua air terjun yang berdekatan.
Merah putih di curug Sodong
Curug Sodong dan curug Cimarinjung lokasinya dekat dengan penginapan Bukit SOCA. Hari ini mas Andri masih bersedia mengantar kami, dan mengabadikan melalui foto-foto tentang kegiatan A678.
Memborong mangga untuk rujak
Cuaca sungguh menyengat, walau curug Sodong dekat sekali dengan parkiran, badan juga mulai terasa lelah. Keluar dari tempat parkir terlihat ada penjual buah mangga, langsung Martha memborong buah mangga untuk dimakan di bawah curug Sodong, asal penjualnya berjanji akan membuang sampah pada tempatnya.
Tangga ke arah curug Sodong
Sehari sebelumnya A678 sudah puas dengan makan rujak yang sambalnya khusus dibawa oleh Uni Anas dari Jakarta. Sebenarnya sambal rujak tersebut untuk menemani jambu air Jamaica yang pohonnya di rumah Anas sedang berbuah. Namun karena buah jambunya sudah manis, jambu sudah ludes dimakan di perjalanan dari Jakarta ke Ciletuh.
Jadi Meity beli bengkoang, mangga dan kedondong untuk dibuat rujak, itupun sudah ludes pula dimakan di penginapan Bukit SOCA, sepulang kunjungan ke pulau Kunti.
Makan rujak dan minum air kelapa muda
Makan rujak tanpa minum, bagaimana kalau kepedesan? Akhirnya ada yang beli kelapa muda untuk di bawa ke bawah, untuk dimakan sambil duduk di bebatuan di curug Sodong.
Kebetulan karena musim kemarau, air curugnya tidak terlalu besar, sehingga kami bisa menikmati sambil bersantai di bawah curug Sodong, di atas batuan yang besar-besar.
Curug Sodong, air terjun nya kembar
Rasanya nikmat sekali, apalagi diiringi semilir angin. Kalau tidak ingat akan melanjutkan perjalanan ke Jakarta, ingin sekali makan rujak banyak-banyak, namun kawatir sakit perut, bisa repot di perjalanan.
Perjalanan 3 (tiga) hari ke Ciletuh ber sama-sama sahabat yang punya minat sama, sungguh menyenangkan, kami puas tertawa, menyanyi, menari bersama-sama. Bahkan mas Pong yang sebelumnya pendiam, dan sempat bilang…”Waduhh ngapain pakai kain, kok kayak orang gila ya.” Pas di akhir acara, bahkan mas Pong foto dengan berbagai gaya, bersama kain sarungnya. Kata mas Pong, “Ternyata saya ikut gila ya”. Suasana pulang ke Jakarta sungguh cair, di perjalanan, kami menyanyi dan main tebak-tebakan dengan hadiah coklat beng-beng, tak terasa akhirnya mobil Elf yang dikendarai mas Ical memasuki pelataran terminal Damri sebelah Botani Square Bogor. Kami berpisah sambil berpelukan, rasanya berat sekali, namun keluarga masing-masing telah menunggu di rumah.
Selama acara mengunjungi geopark Ciletuh, A678 menginap di Penginapan Bukit SOCA. Penginapan ini terletak di bukit, dari penginapan Bukit SOCA, kami disuguhi pemandangan sawah dan ladang yang terhampar luas, bukit dan teluk Ciletuh yang melengkung dengan air berwarna biru.
Teluk Ciletuh, diambil dari depan kamar penginapan Bukit SOCA.
Angin dari laut membuat cuaca tak terasa panas, walau saat ini musim kemarau. Awalnya memang agak syok, saat kami harus memasuki penginapan yang jalannya bertingkat ini, syukurlah petugas penginapan sigap membantu membawa barang sampai ke depan kamar.
Bersantai di Bukit SOCA
Namun begitu mencapai lobby, kami disuguhi pemandangan yang sungguh indah, langsung semua mengambil foto dari berbagai sudut yang dirasa indah.
Rombongan A678 plus bersama mas Andri (berjongkok baju abu-abu gelap)
Penginapan ini terdiri dari beberapa saung dengan ornamen bambu, kamar mandi terpisah, jadi kami harus naik turun tangga dari batu. Setiap lantai dari satu ruangan ke ruangan lainnya harus melalui tangga bertingkat, entah cuma dua tingkat atau kadang lebih dari sepuluh tingkat.
Kamar berbentuk saung
Awalnya kami semua berkeluh kesah, walau Tinoek sejak awal sudah memberi tahu, kalau kami akan tidur di penginapan yang kamar mandinya terpisah dari kamar tidur dan mesti turun melalui tangga. Bayangan saya seperti di Tanakita, Situgintung, walau kamar mandi terpisah dari kemah tempat kami menginap, tapi turunnya tak terlalu curam.
Saat itu mas Andri, owner Bukit SOCA, menawarkan agar kami mencoba dulu menginap di kamar no 7 sampai dengan 11 yang letaknya melalui tangga ke bawah jika dari ruang makan, besok bisa pindah ke saung lain kalau tidak kerasan.
Foto rame-rame depan kamar 7 sd 11
Kami langsung makan siang dulu, makanan yang sederhana, namun terasa nikmat diiringi semilir angin dari laut. Selesai makan kami sholat dulu …. ternyata kamar kami saling berdampingan. Mulai muncul kegembiraan kami, teringat masa-masa di asrama waktu kuliah dulu. Apalagi persis dari depan kamar pemandangan nya sungguh menakjubkan. Alhamdulillah ya Allah, saya diberi kesempatan sampai ke sini dan menikmati pemandangan indah ini.
Awalnya saya tidak tahu bahwa yang mengantar makanan, membawa piring kotor ke dapur, serta ikut menyapu lantai penginapan adalah mas Andri, yang merupakan pemilik penginapan Bukit SOCA. Pada keesokan harinya, mas Andri bersedia mengantar kami sebagai guide menyusuri pulau Kunti dengan perahu, mengitari batuan purba yang diselimuti hutan suaka margasatwa Cikepuh, yang dipercaya masih ada habitat macan tutul dan owa Jawa di pulau tersebut.
Mas Andri juga menemani kami melihat batuan purba yang berada di air terjun Cimarinjung dan dikenalkan dengan wak Dadih, yang selama puluhan tahun merawat dan membagi air untuk sawah-sawah sekitar yang terbentang luas, serta menjaga Curug Cimarinjung sejak tahun 1970 an.
Musholla
Hari ketiga mas Andri mengantar kami menikmati curug Sodong, menjadi fotographer untuk para nin-nin yang masih suka bergaya macam-macam ini, bahkan ikut menikmati minum air kelapa muda dan makan rujak mangga.
Kami semua sudah berusia di atas 65 tahun, banyak sekali kejadian yang lucu. Saat jam tiga malam, saya terbangun untuk sholat Tahajud. Pelan-pelan saya menggerakkan kaki dan tangan, kemudian menuju kamar mandi yang ada di lantai bawah. Saat menuruni tangga batu, ketemu dengan teman yang tidur di kamar lain, dan sudah selesai mandi….. Apa? Mandi jam setengah tiga pagi? Mungkin maksudnya agar tak berebut mandi lagi. Ada juga sudah mandi dan naik ke kamar, dan baru ingat…belum wudu..terpaksa turun lagi ke bawah.
Jalan menanjak dari jalan raya menuju Bukit SOCA
Saya pernah mengalami sudah mengguyur air ke badan, lupa belum membawa handuk. Terpaksa memakai baju untuk mengambil handuk, sehingga bajunya basah kuyup.
Ngariun di Bukit SOCA
Namun kegembiraan kami tak berkurang, bersama-sama teman, yang kebetulan punya minat sama, membuat kami selalu bersenda gurau, tak terasa capeknya naik turun tangga. Sampai acara berakhir, kami tidak pindah kamar.
Makanan khas yang disajikan di bukit SOCA adalah ikan, rasanya sungguh sedap karena baru diambil dari tangkapan nelayan di laut. Malam terakhir di Bukit SOCA, kami menyanyi bersama, berkaraoke walau dari handphone, namun kami semua menari dan menyanyi. Mas Andri sangat terharu melihat, para mantan mahasiswa yang usianya tidak muda ini sangat bersemangat, walau jalannya tak sekuat dulu, namun tetap semangat mendaki tanpa mengeluh.
Sejak mengetahui bahwa putri bungsuku hamil anak pertama tiga bulan, saya sudah bersiap-siap kalau akan mengunjungi Jepang, menemani si bungsu saat melahirkan dan merawat bayinya. Berhubung visa waiver yang saya peroleh hanya berlaku maksimum 15 hari selama kunjungan di Jepang, namun bebas bolak-balik sampai 3 (tiga) tahun, maka saya mulai berpikir untuk mengajukan visa selama satu bulan. Kenapa tidak tiga bulan? Maksud hati sih ingin menemani si bungsu sampai tiga bulan, namun saya sendiri juga punya tugas-tugas yang tak bisa ditinggal. Saya berharap, dengan satu bulan, sudah cukup untuk membantu mempersiapkan Ani dan Hiro sebagai orangtua baru.
Saya berniat membuat tulisan bersambung tentang Toyohashi dan sekitarnya, kota kecil yang indah dan sepi, yang mungkin belum banyak yang tahu, karena kota Toyohashi bukan kota tujuan turis. Namun sejak saya menginjakkan kaki di kota Toyohashi, saya jatuh cinta sama kota ini, mengingatkanku saat awal kuliah di kota Bogor.
Mengurus Visa ke Jepang
Kegiatan sebelum pergi ke Jepang sangat padat, bahkan seminggu sebelumnya saya masih melakukan tugas ke Balikpapan, juga tugas lainnya harus saya selesaikan dulu, karena saya tak yakin bisa melakukan pekerjaan walaupun di apato Ani ada laptop yang bisa dipakai. Terbayang bayi berumur satu hari sampai satu bulan, pasti banyak bergadangnya, di satu sisi kemungkinan tata cara merawat bayi akan berbeda dengan di Indonesia. Sebelum pergi, saya masih sempat menikmati jalan-jalan ke Geopark Ciletuh bersama teman-teman seangkatan di IPB dulu, yah jalan-jalan bersama menikmati alam merupakan refreshing yang saya suka, karena merasa bebas di alam terbuka.
Perkiraan hari lahir si kecil tanggal 13 September 2019, jadi saya berencana berangkat ke Jepang tanggal 7 September 2019, sehingga masih ada waktu seminggu untuk persiapan sebelum melahirkan. Tiket Garuda pp sudah di tangan, dengan tujuan Chubu International Airport, dekat Nagoya. Mengapa tujuan ke Nagoya? Karena dari sini paling dekat dengan kota si bungsu, walau saya harus berganti kereta dua kali, yaitu Chubu Int’l Airport ke Jinggu Mae, kemudian dari Jinggu Mae ke Toyohashi. Dari stasiun Toyohashi pindah ke Shin Toyohashi , untuk naik kereta menuju stasiun Yagyubashi, selanjutnya jalan kaki ke arah apato si bungsu kira-kira 200 meter. Kondisi yang memerlukan banyak acara jalan kaki dan berpindah-pindah kereta ini, membuatku berencana hanya membawa koper kecil.
Japan Visa
Baju-baju bayi dikirim lewat paket terlebih dahulu, biar biaya nya di atas satu juta rupiah, tapi beli di Indonesia tetap lebih murah, apalagi menantuku bisa beli secara on line. Jadi, tanggal 5 Agustus 2019, saya mulai mengurus visa kunjungan ke Jepang, melalui Vfs (Japan Visa Application Centre) di Lotte Shopping Avenue, Casablanka. Dari rumah saya naik MRT, turun di Stasiun Setiabudi Astra, dan melanjutkan perjalanan naik taksi. Sampai di Lotte Shopping Avenue pintunya belum dibuka, jadi saya masuk melewati Starbucks, melanjutkan naik eskalator ke lantai 4, tempat Vfs yang khusus mengurus visa ke Jepang. Lampu masih remang-remang, tempat visa pun belum di buka, namun yang antri sudah lumayan. Saya menggunakan kesempatan untuk foto dulu, sebagai kenangan.
Setelah Vfs buka, saya mulai mengambil antrian, melalui pemeriksaan yang cukup ketat. Prosesnya cepat, dalam lima hari kerja Visa sudah dapat diambil.
Dua minggu sebelum berangkat, saya mendapat email dari Garuda, bahwa penerbangan dari Jakarta ke Chubu Int’l Airport dialihkan ke Osaka karena masalah teknis. Panik dong, sudah mempersiapkan mempelajari peta serta kiriman email dari si bungsu, naik kereta apa saja, bagaimana caranya kok diubah. Bahkan Hiro sengaja mengambil foto-foto di stasiun Toyohashi, yang kemudian dikirim melalui email berserta penjelasannya, untuk memandu saya agar tidak ke sasar.
Saya menelpon Garuda, menanyakan apa masalahnya, si mbak yang terima telepon cuma mengatakan ada masalah teknis. Saya tanya, apa penerbangan Garuda ke bandara Nagoya (ini lebih di kenal, walau letaknya di Chubu) di tutup? Maklum saat awal anakku tinggal di Jepang tahun 2009, ada penerbangan langsung Garuda ke Nagoya, kemudian ditutup, sehingga anakku kalau ke Jakarta melalui Osaka atau bandara Narita di Tokyo. Si mbak menjawab, bahwa penerbangan ke Nagoya tetap ada, namun pas tanggal keberangkatan saya tidak ada karena masalah teknis. Akhirnya kami sepakat untuk mengganti tanggal keberangkatan, dari tanggal 7 September 2019 menjadi tanggal 6 September 2019. Pas saya tanya bagaimana dengan asuransi perjalanan kerjasama Garuda dengan perusahaan asuransi yang saya beli? Si mbak menyarankan agar saya menghubungi counter Garuda terdekat agar dapat dibantu pengurusan nya.
Ini pertama kalinya saya ke Jepang sendirian tanpa dijemput di bandara, biasanya ada anakku yang menjemput di bandara sehingga saya nggak kawatir. Beli tiket penerbangan langsung ini juga karena kapok, dua penerbangan sebelumnya ada masalah sehingga pas penerbangan pertama tujuan dialihkan ke bandara Narita, padahal tujuan nya Osaka. Anakku yang sudah naik shinkansen dan tidur di Osaka, besok paginya terpaksa kembali ke arah Nagoya, dan menunggu saya di stasiun Nagoya, karena saya naik shinkansen dari Tokyo ke Nagoya. Penerbangan kedua naik Cathay Pacific, kok ya di Jakarta pesawat delay, jadual transit yang cukup lama (4 jam), menjadi hanya 20 menit dan saya harus berlarian menuju gate di bandara Hongkong untuk tujuan Nagoya. Jadi wajar kalau saya pengin penerbangan langsung, dan kalau naik Garuda rasanya tetap berada di rumah sendiri serta banyak teman yang serasa kenal.
Semua persiapan rasanya sudah matang, sambil menunggu keberangkatan saya tetap bekerja seperti biasa. Pada Minggu malam, tanggal 1 September, pas sedang bersantai di kamar, Tiah (si mbak yang telah momong Ani sejak kecil) mengetuk pintu kamar ngasih tahu apa ibu sudah baca WA dari Ani, karena Ani ketubannya sudah pecah. Saya segera buka HP dan ternyata anakku memang mengirim WA kalau pecah ketuban dan sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit Kota Toyohashi. Memang umur bayi sudah sembilan bulan, namun maju dari perkiraan semula. Jika ketuban pecah duluan, dokter akan menunggu sampai 24 jam, menunggu pembukaan sampai penuh dan tetap diusahakan lahir normal.
Besoknya saya bekerja seperti biasa, setiap sehabis sholat saya berdoa untuk Ani agar persalinan nya lancar. Sampai pulang kantor dan tiba di rumah menjelang Magrib belum mendapat perkembangan kabar dari Ani maupun Hiro. Sekitar jam 8 malam, Hiro kirim whatsapp, bahwa ada kemungkinan operasi caesar, dan Ani sedang dipersiapkan di ruang operasi. Saya berdoa memohon Tuhan, karena Ani hanya ditunggu oleh Hiro…syukurlah dua jam kemudian Hiro kirim wa kalau bayi laki-laki telah lahir dengan selamat, dan ibunya juga selamat. Wajah dedek bayi benar-benar mirip papanya, yang orang Jepang, walau biasanya wajah bayi masih berubah-ubah.
Saya wa an dengan Imelda, yang tinggal Tokyo, Imel ngasih tahu kalau bayi lahir caesar minimal harus lima hari tinggal di Rumah Sakit. Besoknya Ani kirim wa bahwa ada kemungkinan dia baru keluar dari Rumah Sakit hari Minggu. Mungkin Ani kepikiran karena saya berangkat dari Jakarta hari Jumat malam dan sampai Toyohashi hari Sabtu. Saya bilang nggak usah mikirin ibu, karena ibu akan pesan hotel saja dan tidur semalam di hotel.
Toyohashi Green Hotel
Saat itu saya dibantu Dwita (menantuku), pesan hotel secara on line, cari yang lokasinya dekat stasiun Toyohashi, sehingga saya nggak terlalu jauh jalan kakinya. Setelah mencoba mencari hotel lewat internet, saya pesan Toyohashi Green Hotel untuk satu malam, check in jam 4 pm hari Sabtu tanggal 7 September 2019 dan check out hari Minggu tanggal 8 September 2019 jam 10 pagi. Saya juga sekalian pesan untuk breakfast di hotel, walau lokasi hotel dekat dengan McD dan Seven Eleven. Saya berjaga-jaga kalau terlalu capek sehingga malas cari makan keluar hotel.
Saya memberi tahu Ani kalau sudah pesan hotel, supaya dia tenang. Dan Ani memberi tahu bahwa Hiro melihat internet, ada kemungkinan taifun hari Minggu tanggal 8 september 2019 siang hari. Ini yang nantinya disebut taifun Faxai. Entah kenapa saya kok tenang, karena mikirnya saat itu sudah sampai di Toyohashi, kalaupun diperlukan bisa nambah lagi semalam tidur di hotel. Rasanya sudah ingin segera terbang ke Jepang melihat dedek bayi.
Suami, anak, dan cucu mengantar sampai pintu keberangkatan
Persiapan untuk ke Toyohashi rasanya sudah matang. Saya ke grapari Telkomsel di Pondok Indah 3 untuk menanyakan cara pesan paket combo roaming ke Luar Negeri, agar saya bisa tetap terhubung dengan teman-teman dan bisa diskusi jika ada kerjaan yang perlu didiskusikan. Pesawat Garuda berangkat jam 10 malam dari bandara Soekarno Hatta, namun karena kawatir jika ada kemacetan di jalan, saya diantar suami, cucu dan anak pertama berangkat menjelang Magrib, toh di bandara ada mushola sehingga saya tetap bisa menjalankan kewajiban sholat.
Toyohashi Green Hotel
Sebelum check in saya mengirim ke My Telkomsel agar paket roaming diaktifkan. Saya menerima sms bahwa sudah roaming, jadi sudah tenang. Ini nanti menjadi bermasalah saat saya cek lagi dalam perjalanan naik kereta api dari Jinggu Mae ke Toyohashi, ternyata saya tidak memiliki paket roaming. Kemudian saya ulang lagi permintaan ke MyTelkomsel….dan jawaban tidak jelas. Saya langsung off kan internet karena kawatir tagihan meledak. Padahal justru dalam perjalanan seperti ini internet dibutuhkan, apalagi saya sendirian, biasanya bisa nebeng wifi si bungsu.
Ini nanti pas kembali ke tanah air, tagihan ku membengkak dan pada tanggal 7 Oktober 2019 (saat sudah kembali ke Jakarta), ada sms dari TselRoaming….”Paket 3in1 PROMO Asia Australia 30 hari Anda telah berakhir. Beli paket roaming lainnya di My Telkomsel App atau *266#. Kesel banget rasanya, temanku tanya mau protes nggak ke Grapari. Saya jawab nggak perlu, bikin repot aja. Terus kata temanku…”Itu berarti kamu nggak sayang sama Telkomsel, karena kalau sayang justru kritik kamu itu mendorong mereka melakukan perbaikan.” Ya sudahlah….mungkin nanti kalau ke Jepang lagi, saya mau pakai cara lain yang lebih pasti, karena sebetulnya kita bisa pesan untuk pinjam wifi di bandara tujuan, bisa juga beli paket roaming di bandara tujuan di luar negeri.
Jam 20.00 wib saya mulai menuju gate keberangkatan, di imigrasi tidak lama dan saya langsung menuju gate penerbangan menuju Nagoya. Wahh ternyata jauh juga jalannya, untungnya saya cuma bawa ransel untuk diisi mukena dan power bank, serta tas kecil. Di ruang tunggu ternyata juga ada pesawat ANA yang menuju Nagoya, cuma saya nggak ngecek apakah ANA langsung dari Jakarta ke Nagoya, karena bisa jadi pilihan jika Garuda nggak melayani lagi penerbangan langsung Jakarta-Nagoya.
Penerbangan dari Jakarta menuju Nagoya lancar, syukurlah saya bawa jaket tebal karena di pesawat sangat dingin. Saya bisa tidur nyenyak, terbangun saat merasakan pesawat tergoncang di wilayah laut utara Filipina. Pesawat Garuda mendarat di bandara Chubu, Nagoya tepat waktu. Saat antri di imigrasi ada ibu-ibu di depanku yang agak lama diwawancara petugas imigrasi, mungkin kendala bahasa atau nggak bisa menjelaskan tujuan nya pergi ke Jepang. Saya diminta petugas imigrasi untuk pindah jalur. Syukurlah saat itu saya masih teliti, petugas membubuhkan visa kunjunganku 15 hari…saya protes dong, terjadi perdebatan yang lama, dan setelah saya tunjukkan dokumen visa untuk 30 hari, serta dokumen pendukung lain, petugas meminta maaf dan kembali mengecap paspor saya untuk visa kunjungan 30 hari persis di bawah visa 15 hari.
Keluar dari urusan imigrasi, saya mencari toilet dulu karena perjalanan masih jauh. Keluar dari toilet saya ke tempat pengambilan bagasi, koper dari para penumpang GA 884 sudah berjejer, saya langsung ambil koper, kemudian menuju stasiun Kereta Api. Saat beli tiket masalah muncul lagi, karena petugas kurang menguasai bahasa Inggris dan saya tidak bisa berbahasa Jepang. Akhirnya terpaksa nelpon anak bungsu agar menjelaskan kepada si mbak penjual tiket.
Beres urusan tiket, saya menuju kereta Meitetsu Line Express, agak kawatir apakah ada tulisan atau pengumuman bahasa Inggris yang menjelaskan stasiun yang dilewati dan stasiun kereta api berikutnya. Syukurlah anak muda di sebelahku, dengan bahasa Inggris campur tarzan bisa membantuku …. dan ternyata ada pemberitahuan dalam bahasa Jepang dan bahasa Inggris tentang tujuan kereta dan setiap akan berhenti di stasiun. Dasar sudah senewen duluan
Saya turun di stasiun Jinggu Mae, petugas KA berbaik hati mengantar sampai lift, dan memberi tahu agar menuju platform 4 (empat). Saya berjalan cepat sambil menyeret koper….dan kok ya ada kereta menuju Toyohashi yang siap berangkat, petugasnya sudah mengibarkan bendera merah. Pas sudah masuk, baru tahu kok keretanya beda? Hahaha….jadi saya keliru naik kereta yang lebih murah, seperti KRL…yang penting sudah betul menuju Toyohashi.
Sampai stasiun Toyohashi, tiketku tertelan dan pintunya nggak terbuka. Pas lapor, orangnya bingung dan sayapun bingung, petugas membuat solusi mudah, saya dipersilahkan exit lewat pintu…hehehe.
Toyohashi Green Hotel, tulisan kanji
Persoalannya sekarang cari hotel….terpaksa saya mesti angkat koper naik tangga, setiap satu tangga berhenti dulu, setelah melewati taman yang di tengahnya ada bunga warna-warni, saya ketemu lift.
Bunga-bunga di lorong stasiun Toyohashi
Keluar dari lift, saya berada di seberang stasiun Toyohashi, harusnya tinggal lurus saja dan nanti ketemu hotelnya. Saya menggeret koper, lha kok semua bahasa kanji. Saya colek pak polisi, dia menunjuk gedung yang persis di depan stasiun. Pas sampai di depannya, kok tulisannya kanji….dan ada tulisan ” Inggris Cafe n Pub“. Saya bertanya pada orang yang lewat, dia menunjuk jalan lurus …. aduhh sudah mulai keringatan, dan tangan terasa pegal.
Nama Toyohashi Green Hotel di sebelah pintu masuk.
Ketemu bapak bersama anaknya, dia menunjuk arah, dimana saya harus balik lagi …. dan akhirnya tulisan Toyohashi Green Hotel yang kecil terbaca persis di sebelah pintu. Karena lelah saya melewatkan tulisan kecil dekat pintu ini, karena fokus saya melihat tulisan dalam bahasa kanji yang besar di atas.
Saya masuk melalui pintu, lobby nya ada di lantai 4 (empat), jadi saya naik lift ke lantai empat. Saya masuk dan bertanya apa bisa early check in, badan sudah nggak kuat kalau nunggu 4 (empat) jam lagi. Bisa, katanya, asal saya menambah lagi biayanya…. total biaya menginap semalam sekitar 13.000 yen.
Lobby lantai 1
Begitu masuk kamar, langsung mandi, sholat dan istirahat. Setelah istirahat, saya ke bawah menanyakan password wifi, biar sudah menjelaskan dengan gaya macam-macam, pake jurus tarzan, dua mbak yang bertugas di counter tetap nggak mudeng dan saya makin bingung.
TullY’s Coffee
Ya sudah, saya mulai lapar, jadi saya berjalan kaki menuju stasiun, mampir ke TullY’s Coffee langganan si bungsu. Saya pesan pasta dan teh panas manis. Ada satu petugas yg berhasil mengajarkan saya untuk ngeset wifi. Betapa senangnya si mbak, sampai angkat 2 (dua) jempol dan tertawa-tawa. Saya langsung bisa wa an dengan anak dan menantu, janjian kapan bisa dijemput. Sebetulnya pengin ketemu si bungsu langsung, tapi Hiro menyarankan sebaiknya besok saja ke rumah sakit sekaligus menjemput si bungsu untuk pulang.
Sepeda pengunjung toko buku
Saya meneruskan jalan-jalan sekitar stasiun Toyohashi, banyak warga senior citizen duduk-duduk menikmati sore walau mulai gerimis. Saya membayangkan betapa nikmatnya jika ada teman. Saya menyusuri jalan di belakang hotel, banyak sepeda diparkir di depan toko buku, sayang semua buku bertuliskan huruf kanji, jadi saya melewatkannya. Setelah beli air mineral dan pancake di Seven Eleven untuk jaga-jaga kalau lapar di malam hari, saya kembali ke hotel.
Kali ini dengan bahasa tarzan, petugas pengganti (dua cowok) berhasil memahami bahwa saya butuh password. Dia ketawa-ketawa, saya nggak bisa bahasa Jepang dan petugas hotel nggak bisa bahasa Inggris. Tapi dengan segala upaya, berhasil juga menjalin percakapan dan saya bisa menggunakan wifi hotel. Petugas menanyakan apakah saya besok pagi mau breakfast ala Jepang atau western breakfast. Saya menjawab western breakfast. Restoran dibuka jam 7 pagi sampai dengan jam 9 pagi.
Malam itu saya benar-benar bisa tidur nyenyak di Toyohashi Green Hotel. Terbangun saat waktu sholat malam, selanjutnya tak bisa tidur lagi. Saya mulai menulis cerita perjalanan di facebook dulu, sebelum nanti nya dipindah ke blog.
Sun rise
Jendela kamar tempat saya menginap menghadap ke timur, saat selesai sholat Subuh, pemandangan matahari mulai terbit sungguh indah. Tadinya saya menyesal nggak bisa melihat sunset, ternyata saya malah bisa melihat pemandangan matahari terbit dari jendela kamar di pagi hari.
Setelah mandi dan beberes koper, saya mulai turun ke lantai 4 dan memasuki resto. Petugas di restoran menyambut saya sambil membungkuk, saya ikutan membungkuk, kemudian mencari tempat duduk. Tak lama makan pagi saya siap, penyajiannya dalam nampan, berisi setangkup roti tawar, mentega, selai strawberry, telur rebus, irisan buah melon dan semangka, secangkir teh dan gula batu, serta es sirup. Resto nya cukup sederhana dan tidak luas, dan tamunya semua warga Jepang. Rata-rata mereka memesan breakfast ala Jepang, hanya beberapa yang memesan western breakfast. Selesai makan saya kembali ke kamar, sambil menunggu Hiro datang menjemput.
Pemandangan dari jendela kamar perawatan
Tak lama kemudian Hiro kirim WA, sudah menunggu di lobby lantai 4 (empat). Koper saya tinggal di hotel karena bagasi mobil akan penuh barang-barang nya Ani. Dari hotel kami langsung menuju RS Kota Toyohashi, jalanan lancar karena hari Minggu, kami langsung menuju kamar tempat si bungsu dirawat.
Jendela kamar
Sebetulnya si bungsu diminta untuk memperpanjang masa tinggal di Rumah Sakit, apalagi dedek bayi juga belum boleh dibawa pulang, tapi si bungsu merasa tenggorokannya kurang enak dan ingin bikin minum panas. Apalagi hari Senin dan Selasa Ani dan Hiro ikut kursus merawat bayi dengan tidur semalam di rumah sakit, dipandu oleh nurse.
Kamar rawat….maaf ga sempat dibersihkan dulu sebelum difoto
Kamar perawatan bersih, untuk satu orang, dan pemandangan dari jendela kamar bagus sekali dengan langit yang biru. Setelah menyelesaikan urusan administrasi, kami bertiga (saya, Ani dan Hiro) menuju kamar bayi untuk melihat dedek bayi dan waktunya dedek bayi minum ASI. Saya hanya bisa melihat dedek bayi dari jendela, bersama para pengunjung lain.
Setelah dedek bayi puas, kami menuju ruang tunggu untuk makan siang, karena sekitar tiga jam lagi waktunya dedek bayi minum. Sebelum pulang, saya mampir ke toilet. Di Jepang, kran untuk mengucurkan air bermacam-macam, ada yang bidet, shower, ada juga yang pakai musik. Setelah selesai, saya memijit tombol flush untuk membersihkan. Tak lama pintu toilet di gedor-gedor, saya cepet-cepet membuka pintu dan ada nurse di depan pintu, menanyakan apakah saya butuh bantuan. Ooo rupanya saya salah pijit, yang saya pijit adalah bel minta bantuan.
Roda koper ditutup kaos kaki
Setelah Ani memberi minum dedek bayi lagi, kami pulang ke apato. Ani langsung menikmati minum panas, dan Hiro keluar untuk membeli makan malam. Kali ini makan malamnya masakan India, yang rasanya enak sekali. Kata Ani, mereka akan beli masakan India untuk menambah semangat, jika badan dirasa lelah dan kurang nafsu makan.
Besoknya Ani dan Hiro kembali ke rumah sakit untuk memulai kursus dan saya sendirian menunggu apato. Syukurlah, saat mereka pulang besoknya, dedek bayi sudah bisa diajak pulang. Malam itu mulailah acara bergadang, karena setiap kali dedek menangis jika lapar dan ingin minum susu.
Setelah sehari istirahat dan cuma bantu beres-beres apato, bosen juga. Cuaca cerah, jadi saya berniat jalan kaki di seputar apato si bungsu, sambil menuju Valor supermarket untuk berbelanja. Apalagi si bungsu cerita, sungai di belakang apato airnya jernih, ikan berenang-renang di sungai, kadang ada burung bangau datang menunggu ikan yang muncul.
Bangau kecil di sungai
Ternyata hari ini saya menemukan burung bangau kecil berwarna hitam, di kejauhan ada bebek yang sedang berenang. Sayang karena sendirian, saya nggak berani turun ke sungai, selain takut burung bangaunya kabur, juga kawatir kalau sampai tergelincir di sungai nggak ada yang tahu.
Pohon sakura di tepi sungai Yagyu.
Bunga Sakura berjejeran sepanjang Yagyu River, sebagian daun-daun nya mulai kering dan rontok. Saya membayangkan betapa indahnya saat musim sakura berbunga. Nanti pas baby D usia 7 (tujuh) bulan sudah bisa diajak jalan-jalan di bawah pohon sakura yang sedang berbunga.
Saat saya berjalan di bawah pohon sakura, burung-burung yang sedang berteduh di cabang dan di bawah pepohonan beterbangan. Senang melihatnya, di antara bangunan perkantoran, gedung tinggi, lingkungan masih asri dan disenangi burung-burung untuk tinggal.
Apato (tampak belakang). Di seberang apato gedung bertingkat dan di sebelahnya tempat industri
Apato menantuku ini termasuk di kota, dibelakangnya mengalir sungai Yagyu. Jika pagi dan senja hari, burung berkaok-kaok terbang dari pepohonan di pinggir sungai. Di seberang apato kelihatannya ada perkantoran atau mungkin industri, terdengar bel dan pemberitahuan pada saat mulai bekerja dan saat mau pulang.
Pagi hari sekitar jam 7.30 anak-anak sekolah berpakaian putih biru, berkumpul di belakang apato di dekat jalan di pinggir sungai, kemudian bersama-sama pergi ke sekolah. Jika sore atau malam hari, sering saya melihat orang pulang kerja dengan naik sepeda, bernyanyi dengan kencang, mungkin karena sendirian dan jalan sepi.
Rumah penduduk
Saya meneruskan perjalanan menuju Valor Supermarket. Di jalan menuju Valor melewati beberapa rumah penduduk yang terdiri dari satu lantai, ada juga yang dua lantai. Sayang tidak ketemu rumah tradisional Jepang.
Contoh rumah di dekat apato si bungsu
Rumah-rumah ini berpagar rendah, bahkan tanpa pagar atau berpagar rendah, menunjukkan keamanan di daerah sini masih bagus.
Saya hanya sekedar jalan-jalan di Valor, toko-toko yang tahun lalu masih ada, sudah banyak berganti. Ibu-ibu melihat pakaian yang diobral 50 persen menjelang pergantian musim, namun mereka sebagian besar hanya melihat-lihat saja tanpa membeli.
Kota Toyohashi kota yang kecil, bersih dan asri, serta bukan kota wisata sehingga barang-barang yang dijual di Mal merupakan kebutuhan sehari-hari, bukan untuk menarik minat turis atau untuk oleh-oleh. Namun kota ini menyenangkan, masih ada trem listrik, semoga saya masih punya kesempatan mencoba naik trem listrik lagi. Setelah belanja, saya merasa lapar, jadi mampir ke SugaKiya Resto. Bingung juga mau pesan apa. Akhirnya pesan nasi kare, salad dan es cream. Ternyata rasanya kurang pas buat saya, masih jauh lebih enak kare buatan Hiro, mungkin karena Hiro sudah dipengaruhi selera Indonesia.
Perempatan jalan ke arah Valor Supermarket
Mungkin karena semua orang sedang di rumah, atau sedang bekerja di kantor, jalanan lengang, termasuk jalan di perempatan dekat Valor Supermarket dan jalan di depan apato si bungsu. Pada jam sibuk, pagi atau sore hari bertepatan dengan orang pulang kerja, atau sore hari menjelang hari libur, jalan-jalan menjadi ramai, dan kadang macet di perempatan lampu merah.
Sejak awal saya berniat bahwa satu bulan di Toyohashi untuk mendukung dan membantu si bungsu merawat bayinya, sehingga memang tidak ada niat untuk jalan-jalan. Paling-paling hanya belanja ke supermarket terdekat, membantu memasak, atau beberes apato.
Sudah terbayang di kepalaku bahwa si bungsu pasti sudah sangat sibuk mengurus bayinya, apalagi anak pertama dan semua dilakukan sendiri, suami bisa membantu setelah pulang kerja sehabis Magrib.
Belanjaan
Supermarket terdekat, yaitu Valor Supermarket, berjarak kira-kira 150-200 meter dari apato si bungsu. Bagi orang yang tidak bisa membaca huruf kanji, belanja ke supermarket punya tantangan sendiri. Apalagi jika sayur telah di packaging secara bagus, sehingga beberapa kali saya keliru membeli sayur.
Saya membeli sayur yang kusangka bayam, yang ternyata bukan. Syukurlah, masih bisa dimakan, karena setelah dibuka di apato, isinya berupa berbagai jenis sayuran yang telah dipotong, tinggal di masak, yang bisa digunakan sebagai salad sayur. Dan karena tanpa wifi, maka sebelum berangkat ke supermarket, saya telah menuliskan apa saja yang akan dibeli, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang menggunakan google translate. Ternyata terjemahan google translate juga tak selalu benar, sehingga pertanyaan saya sering membingungkan mbak dan mas petugas supermarket.
Melon Hokkaido berwarna orange, rating 15, yang manis sekali.
Karena penasaran, besoknya pas kembali ke Valor , saya beli bayam…dan ternyata salah juga. Akhirnya sayuran yang mirip bayam ini dimasak juga, hanya diberi bumbu bawang putih, bawang bombay dan merica. Saya paling suka membeli buah melon, mungkin saat itu sedang musim melon. Buah melon yang sudah dibelah ini diberi rating, semakin tinggi ratingnya rasanya semakin manis. Jadi akhirnya saya nyaris beli melon tiap kali mampir ke supermarket, selama sebulan tinggal di Toyohashi.
Suatu ketika saya melihat ada tauge, saya ambil tauge dan saya muter-muter di supermarket cari ikan kecil-kecil yang telah dikeringkan, agar bisa memasak tauge ikan asin. Seneng dong saat ketemu ikan kecil-kecil seperti wader, jadi saya beli satu. Sampai apato, Hiro bilang…”Ibu, ikannya nggak bisa dimasak.” Saya bingung…”Lha kan dijual di supermarket, Hiro“, jawabku. Akhirnya si bungsu menengahi, menjelaskan bahwa yang dimaksud Hiro nggak bisa dimasak, karena ikan tadi hanya bisa direbus, airnya digunakan sebagai kaldu, dan ikannya dibuang karena keras. Wahh sayang sekali….mestinya saya bawa satu ya, saya coba masak di Indonesia, apa betul keras sekali saat dimakan.
Sayur yang tak mungkin keliru saya beli adalah wortel karena hanya diikat, suatu hari senang sekali menemukan buncis 2 (dua) pak, langsung saya beli semua. Tapi hanya sekali itu saya menemukan buncis di Valor, selanjutnya Hiro beli buncis dalam bentuk frozen di supermarket lain yang jauh dari lokasi apato. Untuk urusan daging, yogurt, Hiro yang beli agar tahu jika daging tersebut memang halal. Saat saya beli telor satu pak, Hiro kaget, rupanya dia kawatir nggak ada yang makan. “Jangan kawatir Hiro, ibu dan si bungsu pencinta telor ayam, dalam kondisi nggak punya persediaan sayur untuk dimasak, maka telor dadar sudah cukup memadai untuk sarapan.”
Wine nanas
Yang tak lupa saya beli adalah roti, di Valor rotinya enak-enak. Si bungsu suka coco shio pan (salted bun coklat, roti coklat yang rasanya asin), kadang saya beli donut yang kalau dikunyah kenyal, rupanya moci donut. Saya suka donut, tapi kurang cocok dengan moci donut. Kalau kebetulan pergi ke stasiun Toyohashi, baru saya beli donut di toko kue Danmark.
Kalau si bungsu paling suka donut yang dibeli dari Mr Donut, yang tokonya dilewati Hiro jika pergi pulang kerja. Sebetulnya Hiro tidak terlalu suka makanan manis, namun sejak ada dedek bayi, rupanya tenaga terkuras, sehingga selama sebulan di Toyohashi, Hiro sempat beli Mr Donut tiga kali. Yang paling saya suka ya beli shiopan (Salted bun, atau roti garam). Pernah saya bolak balik memandang minuman kotak yang gambarnya nanas, nyaris saya beli, yang untungnya nggak jadi…ternyata itu wine nanas.
Bermacam kit kat dan kue-kue lainnya.
Toyohashi di akhir musim panas cuacanya panas sekali, rasanya lebih panas dibanding Jakarta. Dan syukurlah di Valor tidak hanya supermarket, tapi ada beberapa toko yang menjual pakaian, ada toko obat-obat an, serta ada resto. Biasanya, jika lelah berbelanja, saya mampir ke Fujiya Resto untuk beli cake dan minum teh panas manis. Saya membeli kit kat untuk oleh-oleh cucu yang di Jakarta.
Toko Shoo La Rue yang sedang menawarkan diskon untuk baju musim panas.
Saat bulan September adalah waktu diskon untuk baju-baju, karena bulan Oktober sudah musim gugur. Senang juga melihat-lihat baju di toko, saya perhatikan warna baju yang dijual warna-warna yang soft, tidak seperti di Jakarta yang lebih berwarna.
Modelnya juga lebih sederhana, harganya pun lumayan, ada beberapa yang lebih murah dibanding di Jakarta. Saya sempat membeli satu blouse untuk saya sendiri, cardigan, juga blouse untuk oleh-oleh.
Biasanya saya pergi ke supermarket jika pekerjaan di apato sudah selesai, dedek bayi sudah dimandikan, yang biasanya langsung bobo. Saat seperti ini saya menyuruh si bungsu ikut tidur agar kuat jika nantinya harus momong dedek bayi kalau rewel saat malam.
Setelah beberapa hari tinggal di Toyohashi, dan nyaris tiap hari ke Valor, saya memperhatikan kegiatan ibu-ibu di sini. Pada jam-jam 10.30 sampai dengan 11.30 adalah waktu ibu berbelanja, dan jika belanja di sore hari saya ketemu dengan para pekerja yang mampir supermarket sepulang kerja. Saya sempat ngobrol dengan si bungsu, packaging di Jepang dibuat untuk memudahkan para ibu, yang harus kuat menjaga anak-anak dan rumahnya. Untuk mencuci baju juga harus melihat cuaca, jadi kalau pagi para ibu mencuci dan menjemur dulu sebelum pergi belanja. Pagi-pagi mengurus anak, antar anak ke sekolah. Jadi, saya sering melihat dua atau tiga ibu asyik mengobrol di Fujiya resto, ddisebelahnya ada kereta belanjaan, mungkin mereka sekedar ketemu teman sebelum kembali ke rumahnya.
Supermarket Valor terdiri dari dua lantai, lantai satu ada toko pakaian, toko sepatu, toko yang semua barangnya seharga 100 yen, restoran, toko obat-obat an. Sedang lantai dua adalah untuk toko alat-alat olah raga, salon, tempat massage, dan gym. Menurutku supermarket ini lumayan lengkap untuk belanja keperluan sehari-hari, namun beberapa bumbu untuk masakan Indonesia, dibeli oleh Hiro secara on line. Sedangkan tempe dibeli dari Tokyo…harganya sama dengan harga daging.
Tempat parkir sepeda
Awalnya saya asal saja masuk ke halaman Valor, ternyata untuk pejalan kaki ada pintu masuk kecil, yang menjadi satu dengan orang yang naik sepeda. Saya perhatikan banyak ibu-ibu yang belanja naik sepeda ke sini, menurutku ini menarik karena tentu bawa barang belanjaan tak terlalu berat dibanding kalau dibawa di kantong sambil jalan kaki, kecuali bawa mobil. Sayang si bungsu tak punya sepeda, jadi saya tak bisa mencoba naik sepeda di Toyohashi. Sebetulnya menarik naik sepeda di sini, karena ada jalur tersendiri, juga lampu lalu lintasnya jelas, serta setiap orang mentaati peraturan lalu lintas.
Adanya dedek bayi, membuat jadual harian orangtua mesti menyesuaikan, kecuali Hiro yang tetap harus ke kantor. Walau baby D tidak rewel, tapi mengenali bahasa bayi susah juga…tiap nangis, kemungkinan nya adalah: lapar, pipis, pup. Padahal ada kemungkinan-kemungkinan lain. Tapi yang utama ya tiga hal tadi.
Bak mandi dengan alas yang menaik, untuk memudahkan menyangga kepala bayi.
Saya berusaha meminimalisir menggendong baby D, jangan sampai bayi jadi rewel saat eyangnya pulang kampung, apalagi di siang hari, nantinya Ani sehari-hari sendirian dengan bayinya, kecuali saat Hiro libur. Memang benar, orang-orang tua selalu bilang, jangan sampai si bayi bau tangan, maksudknya si bayi karena sering digendong jadi suka digendong.
Tapi membiarkan bayi menangis lama juga tidak tega, apalagi antara kamar di dalam apato tanpa sekat, dan ruang diantara penghuni satu dan lainnya dinding penyekatnya tidak kedap suara. Jangan sampai tetangga kiri kanan ikut tak bisa tidur. Lha alarm bel tetangga sebelah sering kedengaran, yang membuat anakku hafal kapan jam alarm akan berbunyi. Selama tinggal di apato sebulan di Toyohashi, ada jam tertentu tetangga yang tinggal di pojok berangkat kerja (?) di pagi-pagi sekali, karena bersamaan dengan saya mau sholat Subuh.
Kehebohan lain adalah memandikan bayi. Sesuai cara mandi yang diajarkan di RS Kota Toyohashi, bak mandi diisi air hangat. Baby D dicemplungkan ke air dengan posisi setengah duduk. Kemudian mamanya bayi akan menyabuni seluruh tubuh bayi. Bayi dibilas dengan air yang ada di bak, kemudian dibilas dengan air bersih yang disiapkan di gayung. Kemudian bayi diangkat, dikeringkan dengan handuk, langsung dikasih popok dan baju.
Yang jadi problem, tangan ibu harus kuat untuk menjaga leher dan kepala bayi, sedang tangan anakku kecil. Syukurlah Hiro menemukan bak mandi, yang alasnya menaik (tidak datar), dari plastik dan ada sandaran punggungnya. Dan yang menyenangkan, baby D suka dengan acara mandi, dia tidak rewel bahkan menikmati mandi, ini yang membuat Ani semangat memandikan bayinya. Memang persiapannya agak ribet, maklum apato kecil, dan dua ruangan ada karpet dan tatami, yang tak memungkinkan memandikan bayi disitu. Dulu sekali, saya memandikan anak-anakku di kamar tidur (jangan ditiru ya)…bak mandi di bawa ke kamar, karena saya takut terpeleset jika memandikan di kamar mandi. Saat bayi sudah bisa duduk, baru dimandikan di kamar mandi.
Sarapan sederhana: ikan bakar dan orak arik telor
Kenapa persiapan ribet? Karena mesti menyiapkan back up untuk baju ganti. Pernah baru saja saya selesai mandi dan dipakaikan baju…ehh baby D pup dan dilanjutkan dengan pipis…wahh heboh deh. Terpaksa dibersihkan lagi dan diganti bajunya.
Saya bawa minyak telon dari Jakarta, tapi di sini tidak diajarkan untuk memberi minyak telon dan membedaki badan bayi. Dan kuatir juga jika terlanjur cocok dengan minyak telon, kalau habis repot. Yang penting bayi tenang, minum ASI nya makin banyak, dan habis mandi tidur nyenyak.
Ikan mackarel, sapo tahu, mini tomato. Ditambah teh panas tongtji…hmm yummy
Yang lain adalah soal memasak. Hiro kayaknya kalau nggak memasak, nggak happy. Jadi Hiro dibiarkan memasak pada malam hari. Jika pagi hari, masak makanan yang mudah dimasak. Saya baru menyumbang masakan telur dadar, orak-arik telur dan semur daging kentang. Hiro ikut makan masakannya, entah cocok apa tidak.
Steak ala Chef Hiro…uenakk
Di Valor juga dijual masakan matang, yang nanti tinggal dipanaskan. Masakan yang kami suka adalah ikan bakar dari ikan ” yellow tail“, dan “mackarel“…. saya tanya Hiro, apa sih bumbu ikan bakar ini? Ternyata cuma garam n merica sedikit, langsung dibakar….tapi rasanya benar-benar yummy, mungkin karena ikan nya segar.
Buah yang lagi musim selain pisang (rata-rata diimpor dari Filipina), adalah melon. Buah melon ini dibudidayakan di rumah kaca, dan melon dari Hokkaido manis sekali. Saya makan melon hijau yang ratingnya 13 saja sudah manis sekali, ternyata melon oranye dari Hokkaido yang ratingnya 15 manis nya luar biasa. Jadi penasaran cara mengukur ratingnya. Yang menarik lagi adalah kue yang dikemas dengan berbagai cara. Sebetulnya saya penasaran dengan kue-kue tradisional Jepang, cuma nggak berani beli karena setiap kali ke Valor saya sendirian, dan sudah beberapa kali salah beli.
Saya mengenal para sahabat si bungsu sejak zaman SD, entah kenapa nggak ingat sahabat si bungsu saat sekolah Taman Kanak-kanak, mungkin teman nya ya satu jemputan saja, dan nggak main ke rumah. Saat si sulung dan si bungsu masih kecil sampai mulai menjadi mahasiswa, saya beruntung mendapat rumah dinas di Kompleks BRI Cipete Selatan. Bahkan si bungsu lahir di kompleks rumah dinas ini. Si sulung dan si bungsu sekolah di SD Negeri yang dekat kompleks, walau bagi para tetangga, sekolah negeri ini dianggap kurang sesuai, maklum ekskul terbatas. Namun saat itu lingkungan sekitar kompleks masih hijau, jadi justru anak-anak bisa bermain, berlarian dan memanjat pohon sepuasnya bersama anak-anak di luar lingkungan kompleks.
Sahabat si bungsu saat SD adalah Elmana, yang merupakan putri dari instruktur BRI, jabatan ayahnya saat itu. Setelah masuk SMP, sahabat si bungsu adalah Meta, yang sampai saat ini masih berhubungan baik. Meta ini yang mendampingi si bungsu saat menikah dan pernah menginap di apato si bungsu bersama suaminya, saat berkunjung ke Toyohashi. Kebetulan Meta juga baru melahirkan putri pertamanya sekitar bulan April 2019 lalu, sehingga si bungsu mendapat teman diskusi dan pengalaman Meta dalam merawat bayinya.
Si bungsu bersama Hiro, dedek bayi serta Dina dan Elang
Sahabat saat mahasiswa di Elektro ITB adalah Dina, yang setelah lulus S1 meneruskan kuliah S2 di Korea Selatan dan menikah dengan Fikar, teman satu angkatan. Dina pernah menginap di rumah dinas di Cipete, kalau saya sedang ada tugas ke Bandung dan menginap di hotel, si bungsu mengajak Dina ikut menemani tidur di hotel. Saya akrab dengan teman-teman si bungsu maupun si sulung, dan sudah saya anggap sebagai anak sendiri.
Senangnya bertemu sahabat
Hari Sabtu tgl.14 September 2019, kami mendapat kejutan ditengok oleh sahabat si bungsu, yaitu Dina Puspitarini dan Fikar beserta putranya yang ganteng (Elang). Saat ini Dina beserta keluarga kecilnya tinggal di Korea Selatan, karena Fikar sedang ambil postdoc di sana. Terbayang betapa senangnya si bungsu, karena mereka bertiga bersahabat dan banyak melakukan hal-hal bersama sejak mahasiswa. Kami mengobrol asyik, diseling tangisan baby D yang saat itu baru beberapa hari keluar dari rumah sakit. Mengobrol dengan Dina, membuat si bungsu banyak bersyukur, karena diberi kepercayaan sebagai ibu, yang nggak semua orang mendapatkannya.
Tentu saja, begitu ada kesempatan kami foto bersama dulu, dedek bayi masih banyak bobo nya. Elang mulai bosen karena tidak terlalu mengerti obrolan orangtua, jadi Dina dan Fikar bergantian menemani Elang bermain di luar apato. Saya cerita bahwa sungai belakang apato sering ada burung bangau datang, untuk berburu ikan…., jadi saat pulang Dina bersama suami dan Elang memilih jalan pulang di pinggir sungai, akhirnya Fikar mendapatkan foto burung bangau sedang mengintai mangsanya di sungai.
Terimakasih ya Dina dan Fikar, sudah jauh-jauh dari Korea Selatan menyempatkan menengok dedek bayi.