Quantcast
Channel:
Viewing all 393 articles
Browse latest View live

Kota Lama dan Lawang Sewu

$
0
0
Gereja Blenduk, dilihat dari IBC.

Walau sering ke Semarang, selama ini saya cuma lewat saja, atau jika menghadiri acara tertentu,  besoknya langsung pulang ke Jakarta.  Kali ini saya pergi ke Semarang bersama suami dan adik bungsuku.  Setelah mendarat di bandara A. Yani, kami langsung menuju IBC di Kota Lama. IBC menempati bangunan tua yang masih indah, persis berada di depan gereja Blenduk yang terkenal, yang selama ini juga baru saya lihat gambarnya.

Gereja Blenduk (sering disebut), sesuai Wikipedia adalah Gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh masyarakat  Belanda pada tahun 1753, berbentuk heksagonal (persegi delapan).  Kubahnya besar, dilapisi perunggu, dan di dalamnya terdapat sebuah orgel Barok.  Gereja ini direnovasi pada 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan gedung gereja ini. Nama Blenduk adalah julukan dari masyarakat setempat yang berarti kubah. Gereja ini hingga sekarang masih dipergunakan setiap hari Minggu.

Bangunan IBC di Kota Lama, Semarang

Bangunan yang sekarang merupakan lokasi IBC di Kota Lama Semarang dulunya merupakan gedung Pengadilan Negeri. Bangunan nya masih kokoh dan bagus.

Masakannya pun enak.   Kami memesan sup ikan nila, gurame bakar dan ca pucuk labu. Suamiku yang selama ini menganggap bahwa sup ikan akan terasa amis, menyadari bahwa sup ikan nila IBC ini memang lezat dan tak tercium bau amisnya.

Sup ikan nila, gurame bakar dan ca pucuk labu yang sedaaap

Dari sini, pak Anto (driver) mengajak kami berputar-putar di Kota Lama, melewati stasiun Tawang yang keindahannya berkurang, karena setiap kali  harus ditinggikan, daerah di sini sering terkena tumpahan rob dari laut.

 

Depan Lawang Sewu, bersama adik bungsu dan suami

Dari Kota Lama, kami menuju Lawang Sewu, dan ternyataa…Lawang Sewu ada di tengah kota Semarang, kok ya selama ini saya tak pernah teringat untuk mampir ke sini. Kami menyewa guide agar bisa memahami tentang sejarah Lawang Sewu ini, yang arsitekturnya terlihat megah. Lawang (bahasa Indonesia nya pintu). Dinamakan Lawang Sewu karena mempunyai banyak pintu, dan bagi orang Jawa hal-hal yang bersifat banyak sering dikatakan sebagai “seribu” atau “sewu” dalam bahasa Jawa nya.

 

Mengintip dari balik pintu Lawang Sewu

Lawang Sewu merupakan gedung bersejarah, yang dulunya merupakan kantor Nederlands Indische Spoorweg (Kantor Jawatan Kereta Api) atau disingkat NIS, sebelum kantor Kereta Api dipindahkan ke Bandung. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai tahun 1907, terletak persis di pinggir bundaran Tugu Muda.

Bangunan tempat pompa air sedalam 40 meter.

Bangunan nya memiliki banyak jendela yang tinggi, di bawah nya dibuat kolam lebar dan dalam yang diisi air, dimaksudkan sebagai pendingin ruangan. Pompa terletak di bangunan yang terletak persis di depan kiri bangunan Lawang Sewu, yang kalau tidak tahu awalnya saya kira pos jaga.

Halaman terbuka yang membuat sejuk.

Di tengah bangunan bertingkat ini terdapat halaman yang luas dan ada pohon besar rindang yang telah berumur puluhan tahun.

Deretan pintu seperti dalam gerbong kereta api.

Di dalam gedung dibuat suasana nya seperti di dalam kereta api, dari pintu yang di tengah kita seolah-olah melihat di dalam gerbong kereta api. Di sini juga dipamerkan sejarah kereta api di Indonesia, dari zaman ke zaman beserta bentuk-bentuk kereta api.

Mesin cetak tiket Edmonson

Juga dapat dilihat alat membuat karcis kereta api zaman dulu, karcis yang bentuk nya berlubang-lubang ini terakhir digunakan pada tahun 90 an.

Toilet dengan dua jendela serupa dua mata manusia.

Toilet nya juga indah, terdapat dua jendela bersisi an yang seperti dua mata. Letak toilet ini ada di sisi kiri depan, dekat bangunan paviliun.

 

 


Ketemuan di Pondok Serrata, Semarang

$
0
0

Saya lupa sejak kapan mulai heboh acara reuni an, mungkin diawali sejak  adanya sosmed ikut membuat saya terhubung dengan teman lama yang selama ini lama tak berjumpa. Akibatnya, jika memungkinkan,  diadakan reuni kecil-kecilan, berupa kopdar, ketemuan sambil makan-makan mengenang masa lalu. Bahkan ada beberapa kelompok teman yang membuat grup, yang tidak saja sekedar kumpul-kumpul namun juga melakukan hal-hal yang positif.

Minggu ketiga bulan April kemarin saya ada acara di Semarang, menghadiri pengukuhan adikku menjadi Guru Besar Universitas Diponegoro. Waktu luang yang ada saya sempatkan untuk ketemuan dengan teman-teman semasa SMA dan teman seangkatan di IPB. Karena waktunya nggak cukup dan acara saya lumayan padat, saya bersyukur teman-temanku bersama suaminya mau datang ke Pondok Serrata, hotel tempat saya menginap bersama suami.

Bersama Herwati, Tari, Henny dan pasangan masing-masing.

Saya agak nekat juga mengundang Tari dan Herwati (SMA 1 Madiun), disatukan dengan mengundang Henny (teman seangkatan di IPB) pada saat yang sama. Syukurlah obrolan langsung nyambung, bahkan para suami juga bisa mengobrol asyik. Suami saya yang dari mesin ITB, mas Santoso yang dari Arsitek UNDIP, mas Yudhi yang pengusaha dan mas Kus Sularso yang dokter dari UI, saya lihat asyik mengobrol dan saling bertukar nomor hape.

Saya bersama Tari, Herwati dan Henny juga langsung asyik mengobrol, obrolan tak jauh-jauh dari urusan kesehatan, dan hal-hal yang biasa diobrolkan ibu-ibu. Kami mengobrol di lobby hotel sambil minum jahe panas atau teh panas sesuai pilihan. Hotel Serrata ini menyenangkan, ada kolam renangnya, makanan nya sederhana namun miroso (sedap), dan suasana nya kekeluargaan. Ini kali kedua saya menginap di hotel Pondok Serrata, dipilih oleh adikku karena dekat dengan UNDIP dan rumah menantunya. Maklum jika sedang acara, rumah dia penuh, jadi kami menginap di Guest House atau Hotel agar memudahkan koordinasi dan tidak merepotkan. Terimakasih ya Tari, Herwati, Henny yang telah menyempatkan diri menemui saya, dan mengajak suami.

Suami saya bilang…”Teman-teman mu baik-baik ya, tahu kamu ke Semarang langsung mereka mau menengok ke hotel.” Syukurlah, semoga persahabatan kita tetap erat ya.

 

Mengunjungi Sam Po Kong

$
0
0
Naik becak bersama suami

Setelah menghadiri acara di UNDIP, saya bersama suami dan adik bungsuku masih punya waktu untuk mengunjungi Sam Po Kong. Cuaca cerah dan terasa panas menyengat saat kami sampai di halaman parkir Sam Po Kong. Setelah membeli karcis, kami menunggu guide yang akan menemani kami jalan-jalan mengelilingi kompleks Sam Po Kong.

 

 

Di depan tulisan Sam Po Kong= Tiga Orang yang Dihormati

Tiga Klenteng Utama

Kompleks Sam Po Kong ini merupakan kuil di dominasi warna merah, dibangun di area tanah seluas 2,4 hektar. Pertama-tama kami di ajak ke bangunan di depan, yang dimaksudkan untuk menutupi klenteng, maklum ada masa dimana ajaran Kong Hu Cu tak boleh dipraktekkan secara terbuka. Sam Po Kong artinya tiga orang yang dihormati, yaitu Laksamana Cheng Ho, Juru Mudi dan ahli navigasi yang dalam relief digambarkan sedang meneropong.

Salah satu Klenteng

Bangunan inti dari kelenteng adalah sebuah Goa Batu yang dipercaya sebagai tempat awal mendarat dan markas Laksamana Cheng Ho beserta anak buahnya ketika mengunjungi Pulau Jawa di tahun 1400-an. Tempat ini adalah persinggahan kapal Laksamana Cheng Ho yg merupakan orang China daerah selatan dan beragama Islam. Sedangkan masjid Cheng Ho berada di Jawa Timur. Saya sendiri pernah mengunjungi masjid Cheng Ho di Pandaan dan Surabaya.

Delapan patung dewa

Di depan klenteng ada delapan patung dewa yang digambarkan mempunyai kemampuan masing-masing. Ada dewa harta, dewa ilmu pengetahuan, dewa kebaikan, dan lain-lain.  Intinya ada tiga klenteng utama yang berjejer, sayang karena waktunya mepet saya tak sempat memakai baju China.

Replika kapal Cheng Ho

Di dalam klenteng terlihat ada makam, serta ada bekas jangkar sehingga dikenal dengan sebutan Kyai Jangkar. Di area belakang ada replika kapal Laksamana Cheng Ho.

 

 

Akar rantai

Terdapat pohon yang merambat di antara bangunan klenteng dan mempunyai akar seperti rantai.

Di bangunan pinggir kiri, pada pagar digambarkan relief perjalanan Laksamana Cheng Ho, dan saat Laksamana Cheng Ho sedang ke Indonesia bersamaan dengan adanya perang antara Wirabumi (Jawa Timur) dengan Wikramawardhana (Raja Jawa Barat). Saat Cheng Ho melewati Jawa Timur, mengetahui bahwa sebetulnya perang tersebut disebabkan karena kesalahpahaman. Pada akhir hayatnya Cheng Ho meninggal karena sakit saat dalam pelayaran dan jenazahnya dibuang ke laut.

Patung Cheng Ho

Pada pintu gerbang belakang, disebelah kanannya terdapat patung Laksamana Cheng Ho yang tinggi dan besar.

Di sebelah kiri ada lilin yang menyala terus dan digantinya setahun sekali.

 

 

Gedung pertemuan

Sebelum selesai, kami melewati bangunan tinggi dan besar yang merupakan gedung pertemuan. Di halaman depan gedung tersebut di beri tanda berupa lingkaran, tempat paling strategis untuk mengambil foto.

Grup pertemanan yang berbeda namun tetap sehati

$
0
0

Apa grup pertemanan anda? Grup manakah yang paling kompak dan paling seru?

Saya mulai bergabung di grup teman-teman Smasa (singkatan dari SMA satu) Madiun ini baru setahun yang lalu. Awalnya ragu-ragu dan sempat keluar dari WA grup, mungkin karena lama tak ketemu (sekitar 48 tahun sejak lulus SMA…ooo udah tua ya), jadi obrolan tak nyambung. Syukurlah ada beberapa teman yang selalu menyemangati, jadi saya mulai datang ke acara kumpul-kumpul di Citos triwulan 2 tahun 2017. Banyak wajah-wajah yang pasti saya nggak kenal jika ketemu di jalan.

Di depan rumah mas Eko di Harjobinangun, Yogya.

Dari acara di sini, akhirnya saya hadir ke acara makan siang di PIM 2, kemudian acara reuni yang dihadiri sekitar 70 orang di Yogya. Saya mulai bisa menemukan irama yang sesuai dengan beberapa teman Smasa, yang saya anggap sebagai anchor nya, yang membuat saya tetap bergabung.

Ada hal berbeda yang diamati oleh menantuku, apa bedanya grup teman Smasa dan grup teman kuliah. Teman Smasa karena setelah lulus menempuh jalan yang berbeda-beda, situasinya juga sangat berbeda. Teman-teman di Smasa ini saya akui stamina nya sangat bagus, jika ada acara ketemuan, sering diadakan sambil makan-makan, dan lebih disukai jika ada arena untuk berkeringat alias bisa melantai.

Di Petite France, Seoul

Sedang teman kuliah, rata-rata setelah lulus kuliah menjadi dosen dan peneliti, hanya beberapa yang bekerja di luar bidang nya, termasuk saya yang keluar dari pakem. Akibatnya obrolan lebih mudah, kondisi lebih homogen, baik dari sisi finansial maupun selera. Dan teman-teman seangkatan ini lebih suka bepergian ke alam, backpacker an, dan kalau kumpul-kumpul masing-masing membawa pot luck yang berupa makanan sehat.

Yang menyenangkan, grup yang saya ikuti saat ada pertemuan selalu mengajak pasangan masing-masing, kecuali  pasangan nya sudah mendahului ke alam baka. Dengan demikian saya juga mengenal keluarganya, mengenal anak-anaknya, cucu nya, sehingga seperti menjadi keluarga besar. Di WA grup juga ada aturan, tak boleh membahas politik, etnis ataupun hal-hal yang menjurus kepada perbedaan pendapat. Dan selalu ada admin atau teman yang mengingatkan jika ada teman yang lupa pada aturan ini.

Pengajian bulan April 2018 dengan Ustadzah Poppy

Grup MT NurSakinah, awalnya merupakan kerinduan kami untuk bertemu teman-teman ex kampoeng BRI Cipete Selatan,  saat ini telah menginjak tahun ke enam. Pengajian rutin sebulan sekali ini, mengundang Ustadz dan Ustadzah yang tiap kali berbeda agar kami mendapat ilmu dari berbagai sumber. Dan yang menyenangkan, selain mendapat tambahan ilmu, kami bisa mengobrol serta bertemu teman-teman yang dulunya satu kantor dan tinggal di satu kompleks perumahan dinas. Anggota MT NurSakinah juga berkembang dengan mengajak teman-teman di luar ex kompleks BRI Cipete dan saudara. Semoga kebersamaan serta keinginan menambah ilmu di bidang ini terus terjaga. Aamiin.

Refreshment Sertifikat Manajemen Risiko

Nahh…ada lagi kumpulan teman yang niatnya untuk berusaha secara produktif. Di sini kami mulai membangun perusahaan, yang tentu saja bergerak di bidang jasa manajemen dan keuangan, sesuai potensi yang kami miliki. Tak terasa usaha ini telah berjalan melewati enam tahun, memang tidak terlalu melejit, namun bagi kami, ini merupakan sarana berbagi ilmu, kompetensi serta agar kami tidak mudah pikun. Allah Maha Besar, saya selalu bersyukur mendapatkan teman-teman yang tidak hanya saling mendukung dalam pertemanan, namun juga teman-teman yang mendorong untuk terus aktif membagi ilmu.

 

 

Menikmati Masakan Ikan Bakar di Balikpapan

$
0
0
Duduk berdesakan menunggu pesanan ikan bakar.

Pertama kali mendengar  “Warung Ikan Bakar” yang terletak di belakang Kantor Pos Besar, Balikpapan ini sudah lama, dari salah satu pejabat bank di Samarinda. Dengan syarat mau antri, dan berpeluh karena saat makan siang, pengunjung sangat penuh.

 

Antri membeli ikan bakar.

Namun beberapa kali keinginan tak tercapai, karena pak sopir nggak tega melihat ibu-ibu dari Jakarta kepanasan dan keringatan. Kali ini kami benar-benar menekankan pada driver untuk mengantar ke tempat ikan bakar yang terkenal di belakang kantor pos Balikpapan.

Ikan yang sedang di bakar.

Jadi, dari bandara SAMS Sepinggan kami langsung menuju “Warung Ikan Bakar Banjar” yang tak ada papan nama di depan nya. Masakan ikan bakarnya khas masakan Banjar….. pengunjung penuh sesak, kami menunggu sekitar 25 menit untuk bisa duduk di bangku warung …. dan menunggu lagi 15 menit agar ikan bakar nya masak. Warung ini dimulai 40 tahun lalu oleh ibu Nur, yang sekarang dilanjutkan oleh anak dan menantu nya. 

 

Potongan ikan trakulu siap dibakar.

Kami sabar menunggu, peluh bercucuran, namun tetap antusias. Tak lama ikan bakar trakulu lengkap dengan sambal, kemangi, sayur asem serta es teh manis datang.

Rumah Makan Haur Gading di belakang Pasar Kebun Sayur, Balikpapan.

Hmm…sedaap.

Dari sini, kami check in dulu di hotel Novotel Balikpapan, yang merupakan hotel langganan kami untuk sholat Duhur, kemudian kami menuju ke Pasar Inpres Kebun Sayur. Lagi-lagi saya tergoda untuk belanja kain khas Kaltim di ibu Diana, kemudian mampir ke ibu Upik yang jualan nya khas berupa kalung/gelang dari batuan yang unik.

Seperti biasa, dalam perjalanan, untuk makan malam kami  membeli makanan dari luar yang nantinya dimakan di kamar hotel setelah mandi, dan sholat Magrib. Biarpun menginap di hotel berbintang, namun beli makanan di luar tetap lebih sedap.  Jadi ….. kami mampir ke RM Haur Gading yg letaknya di belakang Pasar Inpres Kebun Sayur. Di sini yang dijual adalah udang bakar dan ikan bakar patin…

Udang dan Ikan Patin Bakar di RM Haur Gading.

Ikan bakar di sini cara masaknya dibumbui dulu sebelum di bakar. Yang dibelakang Kantor Pos, ikan nya tanpa bumbu tapi langsung dibakar…jadi enaknya karena dicocol pake sambal….serta rasa ikan yang segar. Selera tentu tergantung orangnya masing-masing, ada yang lebih suka beli di belakang Kantor Pos karena ikan segar langsung dibakar, jadi rasa ikannya lebih terasa. Sedang menurut yang lain, ikan bakar di RM Haur Gading lebih nendang karena bumbunya lebih merasuk.

Pembelajaran Ara selama Liburan (libur puasa dan libur akhir tahun pembelajaran).

$
0
0
Mampir dulu ke ATM

Sebetulnya telat ya nulis ini. Draf nya sudah selesai di bulan puasa, tapi karena sibuk kok jadi lupa ya.

Tapi menurutku tidak apa-apa cerita hikmah selama bulan Ramadhan dan kaitannya dengan pembelajaran cucu. Ya inilah kalau sudah jadi eyang, cerita tentang cucu tak ada habisnya.

Sudah dua tahun ini Ara mulai ikut puasa Ramadhan dan sholat Tarawih di masjid dekat rumah. Tahun ini si kecil menginjak umur 7 (tujuh) tahun.

Ara juga ikut sholat Tarawih dan rupanya mendengarkan ceramah dengan tekun yang dilaksanakan setelah sholat Isya berjamaah dan sebelum sholat Tarawih. “Yangti, kalau kita rajin baca Al Qur’an, maka amal kita di bulan puasa diterima Allah swt ya?” Karena saat itu, ceramahnya tentang amalan di bulan puasa, antara lain membaca Al Qur’an.

Masjid di dekat rumah kami melaksanakan sholat Tawarih 8 rakaat dengan setiap kali salam setelah dua rakaat, kemudian disambung dengan sholat Witir 3 rakaat. Waktu untuk sholat Isya sampai dengan sholat Tarawih sekitar 1,5 sampai dengan 2 jam, tergantung panjang pendeknya surat yang dibaca. Jadi saya mengatakan pada Ara, tidak harus ikut sholat terus menerus, boleh istirahat, yang penting tetap berada di sebelah yangti. Tahun ini Ara semakin pintar, tahun lalu masih tergoda untuk mengobrol atau berlarian bersama teman di belakang orang yang sholat.

Yang paling sulit adalah membangunkan si kecil saat sahur. Apalagi jika malamnya dia susah tidur. Akhirnya kami mencoba membuat si kecil boleh makan sahur apa saja, asal ada yang masuk perut dan terakhir minum susu. Dan rupanya hal ini lebih mudah, bagi si kecil makan roti saat sahur lebih mudah dibanding makan nasi.

Suatu sore, saat kami sedang berbuka puasa, si kecil nyeletuk.

“Yangti, ternyata kalau puasa itu enak ya saat  buka puasa. Apa aja yang dimakan enak,” kata si kecil.

“Terus yang nggak enak saat kapan?”, tanya Yangti.

“Yang nggak enak saat puasa dan harus sahur,” jawab si kecil.

Tapi sahur itu perlu nak, agar engkau kuat untuk menjalankan puasa sehari penuh.Dan senangnya, Ara tidak tergoda untuk berbuka puasa saat diajak pergi ke Mal. Dia hanya pengin dibelikan ayam dan kentang goreng untuk buka puasa sore harinya.

Tajil dan makanan untuk berbuka puasa.

Yang menyenangkan, kompleks tempat tinggalku mengajak kami bergantian untuk ikut menyumbang tajil dan makanan untuk berbuka puasa di masjid. Saat waktunya saya menyumbang makanan berbuka dan tajil, Ara ikut menemani. Jam lima sore saya mengajak Ara ke masjid untuk membantu menyiapkan, membagi tajil dan makanan untuk berbuka puasa sekitar 40 orang. Sambil menunggu buka puasa, dipimpin Ustad kami berdoa dan berzikir,  kemudian buka puasa serta sholat Magrib berjamaah. Setelah selesai, saya kembali ke rumah untuk ganti baju, dan kembali ke masjid untuk melaksanakan sholat Tarawih. Rupanya Ara terkesan dengan kegiatan ini, apalagi ibu-ibu yang dapat tugas mengajak Ara ikut serta untuk menata gelas dan piring untuk berbuka.

“Yangti, kita tiap hari ikut buka puasa di masjid saja, kan sholat Magribnya berjamaah, jadi pahalanya lebih besar, ” kata Ara.

 

Agar anak suka membaca

$
0
0
Memilih buku yang akan dibaca.

Sejak anak-anak saya kecil, saya dan suami selalu mencoba mengajarkan bahwa membaca itu menyenangkan. Jadi saat anak besar mereka tetap suka membaca buku. Kondisi lingkungan saat ini membuat saya kawatir, bagaimana agar cucu saya juga suka membaca dibanding menonton TV ataupun main gadget. Boleh menonton TV tapi tidak terus menerus.

Sebetulnya, “anak adalah peniru ulung, namun pendengar yang buruk”, kata seorang psikolog. Dia akan selalu meniru tingkah laku orang di sekitar nya. Jadi, kami membuat situasi rumah penuh dengan berbagai jenis buku, dan kegiatan kami kalau sedang ada waktu adalah membaca. Jadi akhirnya si kecil suka didongengi, kemudian saat sudah bisa membaca, mulai suka membaca. Jika menonton film di TV diusahakan ada orangtua didekatnya yang ikut menceritakan apa yang ada di TV, sehingga si kecil tidak mendapatkan penafsiran yang keliru.

Asyik membaca.

Setelah si kecil sekarang umur 7 (tujuh) tahun, saya mulai suka mengajak jalan-jalan ke Mal, dan tentu saja tujuan utama adalah toko buku. Di sini si kecil asyik memilih dan membaca buku, sayapun tenggelam dalam memilih buku-buku lain nya.

Si kecil boleh memilih buku yang disukai nya untuk dibeli, tentu saja setelah dicek bahwa buku itu sesuai dengan umurnya.

 

St Marc Cafe

Biasanya keluar dari toko buku, kami menuju ke tempat makan, akhir-akhir ini si kecil suka sekali makan di Yoshinoya. Setelah saya ikut mencoba, saya sependapat, memang restoran ini menyediakan makanan yang harganya relatif terjangkau serta rasanya enak.

Kadang si kecil ingin apple pie, kalau makanan ini kami berdua mampir di St Marc Cafe di PIM 2. Jika dulu saya suka jalan-jalan bersama kedua anakku, setelah anak-anak sudah menikah, senang sekali bisa menikmati jalan-jalan dengan cucu. Mungkin karena merasa dibutuhkan itu ya yang membuat kita bahagia?

Mencoba restoran Korea di Toyohashi

$
0
0
Central Library Toyohashi

Sejak pagi hujan gerimis, setelah sarapan dengan Kari masakan Hiro yang enak dan pedas, sebetulnya yang enak adalah ngegoler.  Siangnya Hiro (menantuku) mengajak makan siang di luar. Sebelumnya kami mampir dulu di Central Library Toyohashi, karena Narp dan Hiro ingin mengembalikan buku dan sekaligus pinjam buku yang lain. Terlihat beberapa keluarga sedang menikmati membaca buku di perpustakaan yang tenang,  saya tak mungkin ambil foto di dalam perpustakaan ini. Kondisi ini membuatku iri, betapa senangnya menghabiskan waktu sambil baca di perpustakaan yang tenang dan bersih ini.

Di luar hujan masih gerimis,  kami langsung menuju ke restoran pilihan Hiro yaitu  Moshi Moshi Restaurant yang khasnya adalah masakan Korea. Restorannya tidak besar, namun terasa nyaman, di dalam terdapat beberapa kursi yang sudah terisi. Terdengar obrolan dalam bahasa Jepang, yang saya tak tahu artinya.

Bibimbab

Kami memesan Bibimbab dan Sundubu Jjigae (rasanya seperti makan indomie rebus). Untuk makan bibimbab, telornya harus diaduk lebih dulu. Sambil menunggu makanan disajikan, Hiro mengambil salad yang terlihat seperti bihun, rasanya segar dan agak asam.

 

 

Sundunbu Jjigae

Selesai menikmati makan, Narp bisik-bisik…”Bu, coba toiletnya, bagus deh“, katanya. Saya masuk toilet… ehh tutupnya buka sendiri… dan flush nya ber macam-macam, ada juga yang pakai lagu…wahh cucuku pasti senang…jadi nyoba deh satu persatu. Norak ya…mau foto kok ga enak. Walau tulisan kanji semua, saya hafal kalau menghentikan aliran air adalah pencet kotak merah. Padahal ini berisiko… karena pernah ada yang cerita bahwa tanda kotak  berwarna merah itu adalah alarm untuk memanggil bantuan.

Rencana selanjutnya ke mesjid untuk membeli bumbu dapur….. di tengah jalan perutku sakit sekali. Terpaksa Hiro balik jalan menuju ke Valor ( nama supermarket dan pertokoan)…. saya langsung cari toilet. Dari sini saya minta Hiro mengantar ke apato, mendingan istirahat dulu. Hiro setuju, sekalian dia bisa sholat Duhur dulu, baru kembali lagi untuk beli berbagai keperluan sama Narp.

Saya mengingat-ingat apa yang menyebabkan sakit perut. Mungkin karena masuk angin, maklum penerbangan malam ditunda tiga jam, di bandara yang AC nya dingin sekali, dan saya termasuk tidak tahan AC. Di pesawat, Narp karena tak bisa menemukan “muslim meal” untuk dipesan, memesan Koster yang gedenya minta ampun. Bayangkan makan di tengah malam, jadi saya cuma makan roti sedikit…dan sayangnya saya minum yogurt yang terasa segar. Saya lupa, di perjalanan perutku sering sensitif terhadap makanan, biasanya saya menghindari makan buah banyak atau yang asam-asam karena bisa sakit perut.


Jalan-jalan di sekitar Stasiun Toyohashi

$
0
0
Toko di depan stasiun Toyohashi

Hari kedua di Toyohashi badan saya masih lemas, cuma saya harus tetap bergerak. Menjelang siang, saya dan Narp menuju stasiun Toyohashi yang lokasinya tak jauh dari apato Hiro dan Narp.

 

Taman di halaman atas stasiun Toyohashi

Setelah berkeliling toko-toko yang ada di stasiun, melihat-lihat siapa tahu ada yang menarik, serta berfoto ria, kami menuju area terbuka yang terletak di halaman atas stasiun Toyohashi.

Saya melihat beberapa turis asyik berfoto,  burung dara yang biasanya banyak hanya terlihat beberapa, mungkin karena cuaca musim panas masih terasa menyengat, bahkan bagi saya yang sudah terbiasa dengan cuaca panas di Jakarta.

Ekimae Oodori

Memang kelembaban di Toyohashi lebih tinggi dibanding di Jakarta, sehingga keringat mengucur deras. Dari halaman stasiun di atas ini bisa dilihat Ekimae Oodori yang bersih, lebar dan terlihat bukit menghijau di ujung nya.

 

Tully’s Coffee

Kami menuju ke Tully’s Coffee, yang merupakan cafe kesukaan Narp, dia banyak menghabiskan waktu di Cafe ini saat  harus belajar dan menginginkan konsentrasi, belajar di cafe ini

Trem listrik di Ekimae Oodori

menyenangkan apalagi wifinya lancar.

Di Cafe ini juga ada toilet di dalam, yang membuat pengunjung cafe makin betah. Saya melihat wajah-wajah mahasiswa sedang belajar dan membuka laptopnya, diskusi pelan-pelan bersama teman-teman nya.

Toyohashi kotanya kecil, bersih dan asri. Terlihat trem listrik melalui  Ekimae Oodori…. pas menengok si bungsu tahun 2013 saya suka naik trem listrik  yang membelah kota Toyohashi ini sendirian, karena saat itu si bungsu sibuk di lab.

Kecap Bango kok jadi made in Filipina?

Habis makan di Tully’s Cafe, kami menyusuri pertokoan di stasiun, cuaca panas dan lembab. Setelah itu kami mengunjungi Mega Don Quijote (dibaca Don Kihoote) yang luas. Di sini menemukan barang-barang,  yang sebetulnya  asli Indonesia, namun disitu di situ tertulis dari Filipina (kecap bango, indomie dll).

Saya dan Narp mencari kaos bertuliskan huruf kanji untuk anak sulung dan menantuku. Sayang tak menemukan kaos yang cukup untuk Ara (umur 7 tahun).

Yoshiki Restaurant

Capek keliling, kami mulai lapar. Setelah diskusi kami memutuskan mencari makanan yg netral untuk perut, jadi kami menjemput Hiro untuk bergabung makan Tempura di Yoshiki Restaurant.

 

 

 

 

Tempura yang Yummy

Resto tempura ini sejak kenal pertama saya langsung suka, lokasinya persis di bawah jalan kereta api. Jadi, bagi orang Jepang, lokasi di bawah jalan kereta api tak masalah, malam itu restaurant penuh, mungkin karena hari Minggu, ada beberapa keluarga yang sedang makan.

Jalan-jalan di tepi sungai Yagyugawa, Toyohashi

$
0
0
Sungai Yagyugawa dan anak naik sepeda pulang dari sekolah.

Apa yang saya mimpikan saat menengok si bungsu (Narp) dan suaminya di Toyohashi? Sejak menikah, si bungsu pindah ke apato di daerah Riverside. Jika kami mengobrol lewat whatsapp, si bungsu suka cerita keindahan dan keasrian tempat tinggalnya.

Menikmati kebersamaan dengan si bungsu

“Ibu pasti suka deh kalau ke sini,” kata Narp dengan menggebu-gebu. “Apatoku dekat sungai, kalau musim panas airnya jernih, suka ada burung bangau datang ke sungai tersebut. Juga ada ikan berenang-renang di sungai, sangat jelas terlihat karena air nya bening.

Dekat apato juga ada Mal, dan di situ ada gym, tempat aku dan Hiro suka nge gym bareng sepulang kerja. Kalau cuaca cerah, diakhir pekan, kami suka jalan-jalan sampai ke stasiun Toyohashi, dan jika capek, pulangnya naik kereta api ke arah Tahara dan turun di stasiun Yagyubashi.”

Saat mengatur perjalanan ke Toyohashi, karena musim panas, perkiraan cuaca cerah bahkan ada risiko panas sekali. Tak terbayangkan bahwa di hari pertama kedatangan saya, hujan turun lebat. Dan kami terpaksa menjemur pakaian di dalam apato, karena kemungkinan hujan akan turun selama dua hari.

Ini hari ketiga saya di Toyohashi, dan baru sempat jalan-jalan ke stasiun dan sekitarnya. Narp dan Hiro tak berani mengatur acara jalan-jalan karena perut saya sedang bermasalah. Jadi saya banyak menghabiskan waktu di apato saja. Bahkan rencana untuk ambil foto di sekitar sungai juga belum sempat terealisir.

Sejak pagi hujan turun, makin siang hujan turun makin deras, habis makan siang Narp pergi ke Nishijima. Walau saya tidak mengharapkan untuk jalan-jalan ke suatu tujuan tertentu, namun rupanya Hiro diam-diam mengajukan cuti selama saya berkunjung ke Jepang…benar-benar terharu deh, apalagi saya tahu bahwa orang Jepang pekerja keras. Jadi saya berusaha untuk segera sehat, agar bisa memanfaatkan waktu kunjungan di Jepang.

Apato Hiro dan Narp di tepi sungai Yagyugawa

Sambil menuju ke tempat kerjanya, Narp ngedrop saya di “Valor Supermaket” yang lokasinya cuma 100 m dari apato tempat tinggal Narp dan Hiro. Sampai bosan keliling Valor, hujan nggak reda juga, malah makin deras.  Mau nekat jalan pakai payung takut masuk angin. Ingat kalau siang ini Hiro berencana beli daging dan sayuran, mau masak sukiyaki, karena saya tanya tentang sukiyaki gara-gara ditanya oleh mas Siswo Santoso Wirodiharjo, apakah sudah pernah makan sukiyaki.  Setelah menunggu cukup lama,  saya sms Hiro minta tolong untuk dijemput di Valor.

Jalan di tepi sungai Yagyugawa

Jam 5.30 pm hujan berhenti dan matahari menampakkan sinar nya. Narp yang sudah pulang dari Nishijima mengajak saya mengambil foto sungai yang berada di belakang apato nya. Di pinggir sungai Yagyugawa terlihat barisan pohon Sakura, yang sayangnya sedang tak berbunga. Lingkungan sekitar sungai ini memang “adem” seperti cerita Narp, sayang karena air sungai penuh, burung bangau tak menampakkan diri nya. Tapi orang banyak berlalu lalang sepanjang jalan kecil di pinggir sungai, mungkin mumpung cuaca cerah setelah dua hari diguyur hujan terus menerus.

Jogging di tepi sungai Yagyugawa

Jalan selebar 2 (dua) meter digunakan orang berjalan kaki, jogging, dan orang naik sepeda. Senang melihat anak-anak sekolah pulang naik sepeda.

Sukiyaki, masakan Chef Hiro

Sore ini Hiro masak Sukiyaki untuk makan malam….dan ini pertama kalinya saya makan sukiyaki…..enak dan segar.

Hiro memang suka memasak, selama dua hari ini saya sudah menikmati masakan Hiro berupa kari, pepes ikan tuna dan sekarang sukiyaki.

Mengunjungi Toyota Commemorative Museum Industry and Technology, Nagoya

$
0
0
Bersama si bungsu di depan museum

Setelah istirahat dan hanya jalan-jalan sekitar apato, dan badanku makin sehat, Hiro dan Narp mengajak mengunjungi museum Toyota di Nagoya, yang letaknya tak jauh dari Toyohashi. Dari apato kami berjalan kaki dengan jarak 140 meter sekitar 3 menit menuju Yagyubashi Station, dari sini naik Toyohashi Tetsudo Atsumi Line menuju Shin Toyohashi station. Dari Shin Toyohashi station pindah ke Toyohashi station yang berjarak 200 meter sekitar 4 menit. Dari Toyohashi station naik Meitetsu limited espress ke Kanayama station sekitar 48 menit dengan berhenti di 6 station.

Di Kanayama station kami makan siang dulu di Aloha Table, agar perut tidak ngadat, saya hanya berani pesan pancake dengan nama keren nya  Caramel and Roasted Nut, sedang Narp pesan Tuna Avocado Poke Rice Bowl dan Hiro pesan Crispy Fish Potato, dan seperti biasa kami saling mencoba.

Setelah makan siang, kami naik Meitetsu Line menuju stasiun Sako. Dari stasiun Sako berjalan kaki kira-kira 650 meter selama 10 menit.

Mesin tenun yang mengawali perusahaan otomotif Toyota

Toyota Commemorative Museum of Industry and Technology didirikan pada bekas pabrik Toyoda Spinning and Weaving Co., Ltd., dimana Sakichi Toyoda memulai mendirikan pabrik tenun.

Anak sulungnya (Kiichiro Toyoda), lulusan Fakulty of Engineering of Tokyo Imperial University bekerja di perusahaan. Pada th.1921, Kiichiro traveling ke US dan Eropa untuk observasi perusahaan spinning and weaving.

Deretan mesin tenun

Di US Kiichiro melihat banyak mobil sehingga Kiichiro mempunyai mimpi untuk membuat mobil sendiri di Jepang. Pada tahun 1926, Kiichiro ditunjuk sebagai Managing Director of Toyoda Automatic Loom Works, Ltd.

Mobil pertama dibuat secara manual

Awalnya sulit meyakinkan BoD untuk memulai perusahaan otomotif, namun akhirnya Kiichiro diberi kesempatan untuk memimpin Divisi automotive pada tahun 1933.

 

 

Deretan mobil yang pernah dibuat oleh Toyota

Cerita jatuh bangunnya Toyoda, terjadi setelah Perang Dunia kedua. Kiichiro mulai membuat compact car.  Akhirnya Kiichiro mundur dari Presdir disebabkan krisis manajemen. Setelah krisis dapat diatasi, Kiichiro akan kembali sebagai Presdir, namun keburu meninggal pada tahun 1952. Mimpinya terus hidup, dan Toyopet

Pembuatan mobil dibantu robot

Crown, mobil penumpang dapat diproduksi di Jepang.

Nantinya nama Toyoda berganti dengan Toyota, dengan simbol yang menunjukkan angka 8, yang artinya bagus terhadap keberlangsungan usaha. Cerita tentang Kiichiro Toyoda secara detail dapat dibaca di

Musical robot

https://successstory.com/companies/toyota-motor-corporation.

Rasanya ingin berada di museum ini lebih lama lagi, namun kami harus segera kembali ke Toyohashi. Saya kagum atas kelangsungan perusahaan Toyota ini, yang sampai sekarang masih terus melakukan inovasi-inovasi… bagaimana Toyota 100 tahun lagi. Pembelajaran yang menarik adalah bagaimana Kiichiro bisa mengubah dari industri tenun ke industri otomotif melalui perjuangan yang tidak mudah.

Tempat sholat di Museum Toyota

Kami sholat dulu di prayer room yang disediakan di dekat lobby, tempatnya bersih dan bisa berwudhu di dekat situ. Keluar dari museum hujan masih deras, namun seperti orang Jepang lain, kami menembus hujan menggunakan payung dan meninggikan kerah jaket, berharap tidak masuk angin.

Mencari Bumbu Dapur di Osu

$
0
0

Di pertokoan menuju ke arah Shrine Temple yang terkenal di Osu, Nagoya ini, penuh deretan toko di kanan kiri jalan yang bebas kendaraan. Dari Sako Station kami naik Meitetsu Line ke Kanayama Station, kemudian berganti naik subway turun di Osu Station. Letak tokonya tak jauh dari Osu Station, jadi kami berjalan melipir agar nggak kehujanan.

Istanbul Cafe

Karena sudah mendekati pukul 7 pm, kami makan malam di Istanbul Cafe yang halal food. Saya pesan “Chicken Kebab“, Narp pesan “Istanbul Premium Burger” dan Hiro pesan “BBQ Beef Plate.” Untuk minum, lagi-lagi saya hanya berani minum teh…jadi saya pesan “Turkish Tea” yang syukurlah rasanya lumayan, karena saya pernah ditawari minum kopi Turki yang menurutku rasanya agak aneh.

 

 

 

Turkish tea

Selesai makan kami mampir ke International Halal Bazaar untuk membeli kemiri dan bumbu dapur lain. Di sini dijual berbagai bumbu-bumbu untuk masakan yang sehari-hari kita temui di tanah air. Di pertokoan sepanjang shrine street ini banyak dijual berbagai keperluan, dari bahan pokok, makanan dan yang banyak

Kaserya International Halal Bazaar

adalah restoran, yang sebagian merupakan restoran halal.

Selesai membeli bumbu-bumbu untuk memasak, kami kembali naik subway ke Sako station terus ke Kanayama Station. Di sini kami mampir ke toko Seria (?) yang menjual berbagai pernak-pernik seharga 100 yen dan 300 yen (1 yen= Rp.130,-). Banyak barang yang menarik di sini, jadi saya membeli beberapa untuk menambah barang yang belum sempat dibeli untuk oleh-oleh.

Setelah puas, kami kembali naik meitetsu line menuju Toyohashi Station. kami mampir ke toko roti dulu untuk membeli roti, siapa tahu besok malas untuk membuat sarapan. Di stasiun ada pengumuman, rupanya kereta yang dari Gifu tidak jalan karena stasiun banjir…. syukurlah Nagoya walaupun hujan tidak deras sekali. Kami melanjutkan naik kereta menuju Yagyubashi station dan tersaruk-saruk pulang berjalan kaki menuju apato nya Hiro dan Narp. Sampai apato sudah jam 10 malam, setelah membersihkan badan, sholat, segera naik ke peraduan….agar besok bisa berjalan-jalan lagi.

Melihat Fujisan dari dekat

$
0
0
Menunggu shinkansen Kodomo di Toyohashi station

Setelah badan agak enakan, dan dicoba pergi ke Nagoya perutku tak bermasalah, anak dan menantuku membuat rencana pergi ke gunung Fuji (Fujisan….San=gunung).

Memang melihat gunung Fuji dari dekat ini merupakan keinginanku sejak pertama kali ke Jepang, namun saat kunjungan sebelumnya si bungsu sedang sibuk-sibuknya kuliah serta cuaca saat itu kurang bersahabat (hujan terus).

Kami berdiskusi mau nginep dimana, karena dari Fuji rencananya mau ke Tokyo. Bagaimana jika kemping di Fuji? Apa? Wahh tidaak….saya bisa kedinginan walau Jepang lagi musim panas. Jadi akhirnya setelah dari Fuji, rencananya kami menginap di Yokohama.

Agar tidak lelah, kami berencana menggunakan kendaraan umum, yaitu kereta api, apalagi kereta api di Jepang sungguh menyenangkan.  Dari apato kami mendorong koper kecil, berjalan kaki menuju stasiun Yagyubashi, selanjutnya naik kereta ke Stasiun Toyohashi. Dari stasiun Toyohashi naik shinkansen Kodama menuju stasiun Shin Fuji, kira-kira satu jam.

Senang sudah sampai Shin Fuji Station dan cuaca cerah

Betapa senangnya, cuaca cerah, dari stasiun Shin Fuji terlihat gunung Fuji yang gagah.

 

 

 

 

 

 

Shin Fuji Station

Kami menuju ke arah rental car, yang lokasinya dekat dari stasiun. Hiro berencana menyewa mobil untuk ke Gunung Fuji.

Target kami tidak tinggi agar badan tidak capek, apalagi malamnya langsung menuju Yokohama.

Fujisan terlihat di ujung jalan

Kami sempat nyasar, syukurlah dengan GPS akhirnya arah jalan ke Gunung Fuji sudah tepat, karena di ujung jalan terlihat gunung Fuji yang besar dan gagah. Pantas saja orang Jepang sangat menghormati gunung Fuji ini, makanya mereka memanggilnya dengan Fujisan….hanya gunung Fuji yang dipanggil dengan nama Fujisan.

Gunung Fuji terlihat seolah-olah di belakang rumah penduduk

 

Sepanjang jalan saya sibuk memotret, gunung Fuji terlihat jelas di belakang rumah penduduk, jadi kami makin yakin bahwa arah yang ditempuh sudah tepat.

Mobil merk Aqua yang menemani kami ke Fujisan

Awalnya saya bingung mengikuti pembicaraan Hiro dan Narp tentang Aqua dan Fit…setelah lama baru “ngeh” rupanya mereka membahas merk mobil. Kalau di tanah air, Aqua dan Fit adalah nama merk air kemasan, ternyata di Jepang merupakan merk mobil.

 

 

Nama kendaraan Hiro di Toyohashi adalah “Fit”, sedang mobil hybrid yang disewa namanya “Aqua”. Dan rupanya mobil hybrid betul-betul ngirit, karena seharian dipakai hanya memerlukan penggantian bahan bakar 19 liter.

Fujisan dilihat dari depan Makaino Farm Resort

Kami menuju Makaino Farm Resort, terlihat gunung Fuji yang tinggi menjulang, terbayang betapa capeknya saat Narp dan teman-teman nya mendaki gunung Fuji pada pertengahan tahun 2010.

 

Fujisan masih terlihat jelas

Sampai Makaino Farm Resort kebetulan Fujisan lagi bagus-bagus nya…cepat-cepat Hiro mengambil foto saya dan Narp.

 

 

 

Fumotoppara, Fujisan malu-malu dibalik awan

Karena lapar kami makan dulu … nggak tahunya mendung mulai muncul. Jadi yang awalnya mau lihat peternakan, diubah menuju Fumotoppara (Fumuto=kaki gunung, Para= field) … daerah yang paling tepat untuk mengambil foto Fujisan.

 

 

Hiro sibuk menyiapkan alat untuk memotret

Fumotoppara merupakan lapangan rumput yang luas sekali dan sering digunakan untuk kemping. Merupakan tempat yang tepat untuk ambil foto Fujisan.

Rupanya kami kurang mujur, Fujisan mulai tertutup awan …. Hiro membeli tiket masuk untuk tiga jam. Udara makin terasa dingin…karena penasaran, kami menunggu di dalam mobil. Apa boleh buat Fujisan malu-malu…dan melihat mendung yang makin tebal, akhirnya kami memutuskan pulang. Bersyukur saat di Makaino kami sempat ambil foto dengan latar belakang Fujisan.

Kata orang, siapa yang bisa melihat Fujisan dengan jelas berarti orang baik. Berarti baiknya nggak lama ya, karena sejak kami meninggalkan Fumotoppara sampai menuju stasiun Shin Fuji, gunung Fuji makin tertutup awan. Tapi ini juga membuat kami nggak kecewa, makanya betul saran Narp segera ambil foto di saat yang tepat, karena belum tentu ada kesempatan lagi.

 

Menginap di Cabin Hotel, Yokohama

$
0
0

Memilih hotel yang tepat merupakan bahan diskusi antara anak, menantu dan saya. Karena kawatir kalau harus ngomong bahasa Jepang, saya meminta pada Hiro, bagaimana cari hotel yang cukup murah dan kami bertiga tidur sekamar. Setelah mencari dari internet, pilihan jatuh pada Cabin hotel di daerah China town, yang baru dibuka tiga bulan sebelumnya.  Hotel ini masih dekat dengan stasiun, dan cukup jalan kaki untuk mencapainya. Hotel ini dip[ilih karena sarapan paginya ada bubur ayam yang terlihat lezat difoto.

 

Klenteng di depan Cabin Hotel, China Town, Yokohama.

Setelah dari Fujisan, kami melanjutkan perjalanan ke Yokohama dengan naik shinkansen. Sampai Yokohama sudah jam 20.30 pm, dari Ishikawacho Station kami langsung menuju Cabin Hotel  di bawah hujan gerimis. Pemandangan di China town menarik, rasanya ingin memotret, namun karena sudah malam dan hujan, saya berharap besok pagi sempat memotret. Letak hotel ini persis di depan klenteng.

Hiro langsung mendatangi information, kami masing-masing mendapat gelang, yang berfungsi untuk membuka pintu kamar sekaligus untuk naik lift. Mereka menanyakan apakah kami perlu memesan reserved toilet yang bisa dipakai untuk satu keluarga tanpa tambahan biaya. Hiro pesan satu reserved toilet, walaupun akhirnya saya mandi di kamar mandi yang lain, sekaligus ingin tahu seperti apa kamar mandi yang ramai-ramai.

Tempat tidur tingkat

Menginap di sini enak jika bersama famili. Satu kamar berempat, untuk semalam biayanya 10.000 yen atau Rp.1.300.000,- (kurs 1 yen= Rp.130,-) termasuk sarapan pagi. Kamar mandi dan toilet terpisah, tapi bisa reserved toilet dan kamar mandi jika ingin tak bercampur dengan yang lain.

Di kamar, untuk masing-masing bed dilengkapi sandal kamar dan satu tas berisi: handuk besar, handuk sedang, handuk kecil serta piyama satu stel.

Di setiap bed ada korden nya agar masing-masing punya privacy, ada TV di masing-masing bed, selimut, earphone, baterei jika lampu mati, serta colokan listrik ada tiga.

Amenities lengkap

Kamar mandi nya banyak, kamar mandi untuk perempuan dan laki-laki terpisah di lantai yang berbeda,  toiletnya bersih.

 

 

 

Fasilitas di kamar mandi

Amenities nya lengkap: cotton bud, kapas, face soap, sisir, ikat rambut, moisture lotion, moisture milk, cleansing wash, shower cup, dryer. Pada masing-masing kamar mandi ada body soap, cleansing wash, shampoo dan conditioner shampoo.

Lobby depan kamar

Lorong hotel yang di depan lift cukup luas, di lantai tempat kami tidur, terdapat semacam perpustakaan mini, yang isinya manga. Makan paginya enak, walaupun bubur ayamnya encer.

Perpustakaan mini

Kami menikmati sarapan sambil melihat dari jendela, hujan turun rintik-rintik dan orang sibuk pergi ke tempat kerjanya dengan menggunakan payung. Beberapa orang mampir dulu untuk sembahyang di klenteng, sebelum berangkat ke tempat kerja.

Rencanaku untuk memotret gagal, karena hujan turun terus menerus.

Mengunjungi Asakusa Temple

$
0
0
Di depan Asakusa Temple

Dari Cabin hotel kami berangkat sekitar jam 9.30 am. Hujan masih mengguyur daerah China town, jadi kami memakai payung menuju stasiun. Cuaca hari ini memang diramalkan mendung, namun cerah setelah tengah hari. Dari Ishikawacho Station, kami naik JR line menuju Tokyo station. Sampai Tokyo station kami mempelajari peta untuk mengetahui lokasi penitipan koper.

Bersama Narp

Setelah menitipkan koper di loker, kami naik subway menuju stasiun terdekat dari Asakusa Temple. Syukurlah hujan mulai berhenti, hari ini kami ingin mengunjungi Sensouji Asakusa (Sensou= Asakusa, ji=temple).

Ada jalan diantara pertokoan yang menjual souvenir yang terkenal, persis di area depan Asakusa Temple, dan harganya relatif murah. Namun kami masih harus menuju ke lokasi lain, serta telah membeli oleh-oleh saat di Toyohashi, jadi kami hanya menikmati saja. Dan saya males bawa koper berat, maklum saya nanti balik ke Indonesia sendirian.

 

Latar belakang skytree terlihat di kejauhan.

Hujan mulai gerimis lagi, walau demikian pengunjung tetap ramai….asyik ber selfie ria mengabaikan hujan.

 

Depan patung Budha

Kami melihat ada patung Budha sedang duduk, kemudian ada pohon Weeping Willow yang

Di bawah pohon Weeping Willow

Mengingat masih ada rencana ke Odaiba yang cukup jauh, kami tak terlalu lama di Sensouji. Segera kami mencari makan, di dekat Sensouji ada deretan berbagai resto. Kami memilih Naritaya Resto yang masakannya halal.

 

 

 

 

Naritaya resto

Selesai makan saya bergantian sholat dengan Hiro, kemudian menuju ke Sumida Gawa River yang pinggir sungainya dipenuhi pepohonan, paling banyak pohon sakura, juga ada pohon bambu. Setelah berfoto di pinggir sungai dengan latar belakang skytree yang menjulang ke langit, kami melanjutkan perjalanan ke tempat Tokyo Cruise, karena perjalanan ke Odaiba akan dilakukan dengan naik kapal.


Mengunjungi Shiraito no Taki dan Otodome no Taki

$
0
0
Petunjuk jalan ke arah Shiraito no Taki

Setelah gagal mendapatkan foto Fujisan yang bagus di Fumutoppara, dalam perjalanan Hiro menanyakan mau kemana, pilihannya mau melihat peternakan apa air terjun. Narp cerita ini air terjun paling bagus yang pernah dilihatnya di Jepang, dan lokasinya tak jauh dari jalan mobil sehingga ibu tidak akan capek.

Shiraito no Taki yang indah

Jadi kami memutuskan melihat air terjun karena lokasinya di jalan menuju pulang ke Shin Fuji. Kami menuju ke Shiraito no Taki (air terjun Shiraito) dulu. Dari jalan besar kira-kira 270 meter, melalui tangga berundak yang rapih dan di kiri kanan nya ada pegangan untuk pengaman.

Bersama Narp

Di sepanjang jalan menuju air terjun ada toko-toko, Hiro langsung ingat ingin membelikan bapak mertua dan kakak iparnya topi. Di toko tersebut juga ada baju kaos kecil dengan tulisan dalam huruf kanji,  yang cukup untuk Ara.

Perjalanan menuju air terjun sudah tertata rapi, walaupun menurun cukup tajam, tetapi jalan nya cukup aman untuk orangtua dan diberi pagar sepanjang tepinya.

 

Di depan air terjun, bersama Narp dan Hiro

Senangnya, karena bukan hari libur, turis tak terlalu banyak sehingga kami bisa menikmati jejeran air terjun ini. Rupanya air terjun ini bukan berasal dari sungai, namun berasal dari air yang melalui lubang-lubang di bebatuan.

Lingkungan sekitar air terjun masih hijau, makanya Narp bilang bahwa pergi ke air terjun ini tak tergantung cuaca, maksudnya tak seperti mau melihat gunung Fuji yang tergantung pada awan. Kami banyak mengambil foto di sini, walau cuaca mendung tapi fotonya tetap bagus karena tidak terpengaruh apakah langitnya biru apa tidak.

Otodome no Taki

Dari sini kami menuju Otodome no Taki, di jalan mampir dulu membeli makanan, kaos dan topi. Dari jauh air terjun ini suaranya kencang sekali sehingga dinamakan Otodome no Taki, yang berarti kalau kita berbicara tak terdengar.

 

Sungai Shiba

Air terjun ini berasal dari sungai Shiba, dan terjunnya sekitar 25 meter.

 

 

 

Menulis pesan sebagai doa.

Di atas air terjun ada tempat dimana orang-orang menulis kenangan dan kesan selama mengunjungi air terjun. Pesan ini juga merupakan doa.

Puas melihat air terjun ini kami segera menuju kota Shin Fuji karena sewa mobil akan berakhir jam 7 pm. Di jalan Hiro meminta saya dan Narp melihat kiri kanan jalan, untuk mencari tempat makan, karena nanti sampai di Yokohama sudah malam.

Masalahnya, semua pakai tulisan kanji, jadi saya tak tahu itu restoran atau toko atau apa. Di sini bentuk restoran tak seperti di Indonesia yang terlihat jelas, banyak yang depannya tertutup, sehingga kalau tak memperhatikan, kita tak tahu kalau itu restoran.

 

Dari Asakusa ke Odaiba naik Tokyo Cruise

$
0
0

Jumat, 14 September 2018.

Narp sudah lama ingin ke Odaiba dengan naik kapal menyusuri  Sumida Gawa River yang membelah kota Tokyo. Sayang, selama ini dia hanya sendirian jika pergi ke Odaiba. Kali ini, dia meyakinkan saya dan Hiro untuk naik kapal menuju Odaiba, baru pulangnya naik kereta api. Saat Narp menghubungi Imelda lewat messenger, Imel sempat berkata…”Hati-hati lho, cuaca kurang bagus.” Saya juga agak deg-deg an, karena sejak menginjakkan kaki di Yokohama tadi malam, hujan terus mengguyur Tokyo, sempat reda dan kembali turun gerimis saat kami sampai di Asakusa Temple (Sensouji Asakusa).

Kapal Hotaluna

Namun saya juga penasaran, ingin mencoba merasakan naik kapal dengan pemandangan indah di kiri kanan sungai.

 

Kapal Hotaluna bersandar di Odaiba Beach Park

Kami melanjutkan perjalanan dari Sensouji Asakusa dengan berjalan kaki, sambil melihat pemandangan, memotret jika ada obyek yang menarik.

Skytree dan gedung Asahi Beer Headquarter

Kami sampai ke taman yang terletak di pinggir Sumida Gawa River dengan latar belakang Skytree yang menjulang. Setelah memotret dan menikmati pemandangan di sini, kami menyusuri sungai menuju tempat kapal yang akan kami naiki bersandar.

 

Perjalanan melalui pinggir sungai sungguh menenteramkan, di pinggir sungai pohon sakura membuat teduh, terbayang indahnya jika sedang berbunga. Kami melewati deretan pohon bambu, juga Tully’s Coffee, andai punya waktu ingin rasanya sejenak bersantai di Tully’s Coffee sambil melihat sungai dan kapal berlayar.

Bersama anak dan menantu, di dalam kapal Hotaluna

Kapal yang kami naiki bernama “Hotaluna”….berbentuk kapsul dengan jendela semuanya kaca, sehingga penumpang bisa menikmati pemandangan di pinggir Sumida Gawa River yang membelah kota Tokyo sampai ke muara.

Dan ternyata kapalnya besar dan sungainya tenang sehingga kami benar-benar bisa menikmati pemandangan selama di perjalanan.

Sungguh menarik pemandangan di kiri kanan sungai, kami bisa melihat Skytree dari kejauhan dan gedung Asahi Beer Headquarters yang warnanya kuning dengan busa bir di atas nya (yg sering di olok-olok sebagai gedung pup), mendekati muara terlihat Tokyo Tower di sebelah kanan di balik gedung tinggi.

Pemandangan indah dari kapal

Penumpang yang rata-rata turis sibuk mengabadikan dengan kameranya. Mendekati muara dan setelah melewati “Rainbow Bridge” yang menghubungkan Tokyo dengan Odaiba, penumpang dipersilahkan naik dek jika ingin melihat keindahan muara sungai. Saat itu sore hari, matahari mulai turun, pemandangan nya sungguh indah.

Gedung Fuji TV

Dari kapal terlihat gedung Fuji TV yang terletak di Odaiba.

Odaiba Beach Park

Kapal ” Hotaluna” ini bisa diisi puluhan penumpang, ada cafe dan toilet sehingga jika membawa anak kecil tak perlu kawatir. Sungguh mengasyikkan menikmati pemandangan indah Tokyo dengan naik kapal.

Odaiba, Island in Tokyo

$
0
0
Jalan favorit turis ambil foto, dengan rainbow bridge di latar belakang.

Jika sempat ke Tokyo, yg merupakan perjalanan panjang naik kereta api (Shinkansen Kodomo) 2  (dua) jam dari Toyohashi, anak bungsuku paling senang ke Odaiba, merupakan tempat yg indah, perpaduan antara alam, pengelolaan lingkungan, teknologi dan kota modern.

 

Odaiba merupakan pulau yang berasal dari reklamasi sampah,  yang tak bisa diolah kembali….bayangkan bisa menjadi tempat yang indah seperti ini.

Pantai Odaiba di senja hari

Antara Odaiba dan Tokyo dihubungkan dengan Rainbow Bridge. Kami ke Odaiba naik kapal menyusuri Sumida  Gawa River, pulangnya naik kereta api dari Daiba station ke Shinbashi station. Keasyikan nya berbeda….naik kapal terasa tenang (kebetulan ombak tidak tinggi), bisa melihat gedung tinggi disepanjang tepi sungai.

 

 

 

Jalur kereta yang melalui rainbow bridge

Sedang naik kereta api serasa naik roller coaster, saat meliuk-liuk  melewati  Rainbow Bridge dilanjutkan dengan pemandangan jalur kereta di antara gedung.

 

 

 

 

Tokyo Tower dilihat dari kereta

Narp mengajak pilih gerbong paling depan…sayang tempat duduk yang menghadap depan, paling depan sudah diduduki orang. Tak kurang akal, saya berpegangan pada tempat duduk penumpang sambil memotret, sedang Narp memegang punggung saya agar tak jatuh.

Pemandangan nya sungguh spektakuler….terutama saat melalui Rainbow Bridge yang bertingkat. Penumpang yang duduk paling depan sibuk memvideo…penumpang sebelah kiri saya akhirnya ikutan memotret.

Bersama anak menantu dengan latar belakang patung Liberty

Apa yg sempat saya lihat di Odaiba? Karena sudah sore, kami melihat yang penting-penting saja. Pertama-tama patung Liberty yang sudah terlihat di kejauhan saat naik kapal, kemudian melihat Gundam.

Patung Liberty terletak di pinggir sungai, untuk mencapai tempat nya harus berjalan kaki melalui jembatan kayu.

Kami menunggu kesempatan untuk bisa berpotret dengan latar belakang patung Liberty.

Gundam

Dari sini kami berjalan kaki menuju kota Odaiba. Di jalan masuk yang lebar terlihat banyak orang sibuk berfoto, karena ini merupakan lokasi yang paling menarik untuk mengambil foto dengan latar belakang rainbow bridge di kejauhan.

 

 

 

 

Flame of Liberty

Sambil berjalan kaki menuju lokasi Gundam, di kiri terlihat gedung Fuji TV (sayang tak sempat masuk), di kanan depan ada “Flame of Liberty: Odaiba’s Golden Needle Sculpture” yang warna emasnya asli dari Perancis.

Sayang waktu cepat berlalu .. .jam 5 pm kami harus segera menuju Daiba station karena ada janji ketemu Imelda dan Kai di Tokyo station.

Agar tidak saling mencari, Imelda dan Kai menunggu persis di tanda pintu gerbong kereta yang kami naiki sore itu. Ternyata untuk mencari resto dimana kami bisa mengobrol untuk 5 (lima) orang lumayan lama, maklum saat itu Jumat malam, Tokyo Station lagi rame-ramenya, karena banyak orang yang pulang mudik naik kereta.

Akhirnya bisa foto di Tokyo Station bareng Imelda dan Kai

Akhirnya kami menemukan restoran untuk sekedar mengobrol dan dibatasi bahwa jam 7 pm harus sudah selesai makannya. Selesai makan, Imelda bilang sama Hiro..”Cepet pesan tiket shinkansen dulu, nanti keburu sulit cari karcisnya. Ambil kopernya belakangan.” Saya bisa berfoto berdua Imelda sambil menunggu Hiro dan Narp antri karcis. Setelah itu, kami berpisah sama Imelda dan Kai, semoga sempat ketemu lagi ya Imel.

Agak repot juga mencari lokasi tempat koper dititipkan. Syukurlah Hiro telah memotret lokasi tempat koper dititipkan, jadi kami bisa tanya petugas. Rupanya letak koper kami di area yang berseberangan dengan tempat kami mencari.

Setelah ambil koper, kami segera menuju tempat shinkansen ke arah Toyohashi, saya lihat antrian yang beli karcis shinkansen mengular. Hiro bilang,”kemungkinan kita nggak bisa duduk berdampingan,  semoga bisa duduk dalam satu gerbong.” Shinkansen penuh sesak, syukurlah kami bertiga dapat tempat duduk walau tak berdampingan, bahkan beberapa penumpang terpaksa berdiri.

Shinkansen Kodama yang kami naiki berangkat  jam 7.25 pm dari Tokyo station dan sampai Toyohashi station jam 9.25 pm. Kami mampir toko untuk beli roti dulu, baru menuju Shin Toyohashi station, untuk naik kereta api menuju Yagyubashi station. Dari sini kami masih harus menyeret koper kira-kira 250 meter, dan hujan mulai gerimis. Cuaca mulai dingin,  kaki pegal semua tapi puas dan Alhamdulillah perutku tidak bermasalah.

Bersantai di Tully’s Coffee

$
0
0
Dalam perjalanan ke Jepang kali ini, saya sering melihat Tully’s Coffee, resto kesukaan Narp. Tully’s Coffee di Toyohashi station suasananya menyenangkan, orang bisa menikmati makanan ringan maupun makanan berat di situ, bisa cuma sekedar mengobrol dan yang menarik bisa sambil kerja karena Cafe ini dilengkapi wifi yang kenceng.

Tully’s Coffee di Shin Fuji Shizuoka

Setelah melihat Gunung Fuji dan ke air terjun,  kami mampir ke Tully’s Coffee yang lokasinya di kiri jalan menuju Shin Fuji station.  Waktu sudah sore, resto ini cukup penuh, kami mencari tempat duduk yang kosong. Kami semua pesan pasta agar cukup mengenyangkan, supaya sampai Yokohama nanti tinggal tidur.  Saya n Hiro pesan “Semi Dried Tomato” dan “Vegetable Pepperoncino“…untuk minumnya saya lagi-lagi pesan teh manis panas.

Semi dried tomato

Ternyata ini pertama kalinya saya bisa menghabiskan makanan selama kunjungan di Jepang, berarti badan saya mulai bisa menyesuaikan. Ganti Narp yang merasa agak mual, setelah mencoba merasakan pasta pesananku … rupanya mengandung ebi.

Vegetable Pepperoncino

Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan menuju Shin Fuji station, mampir dulu ke rental car untuk mengembalikan mobil.

Dari rental car, kami menyeret koper ke Shin Fuji station dan menunggu shinkansen Kodama yang menuju Tokyo.

Perjalanan dari Shin Fuji Station ke Shin Yokohama Station sekitar satu jam, kemudian ganti kereta JR Yokohama Line menuju Ishikawacho station. Dari stasiun ini kami harus menyeret koper kecil sepanjang jalan menuju hotel.

Bersyukur sempat makan dulu, di shinkansen Hiro langsung tertidur. Mumpung ada wifi, saya mulai menjawab beberapa WA yang penting. Sampai Ishikawacho station, kami turun…. menyeret koper menuju hotel…. titik hujan mulai turun. Syukurlah….tak lama kemudian sudah sampai di hotel.

Besoknya kami mengunjungi Asakusa Temple dan Odaiba (cerita tersendiri). Kami hanya sempat melihat Tokyo sehari untuk  menikmatinya di Tokyo. Dari Asakusa kami makan siang sekaligus sholat di Naritaya resto.

Pohon Sakura di pinggir Sumida Gawa River

Selanjutnya kami sempat jalan-jalan dari Asakusa Temple ke arah sungai, menuju tempat Tokyo Cruise. Lumayan jauh juga, namun kami berjalan santai sambil sesekali memotret jika ketemu spot yang menarik.

Tully’s Coffee di pinggir Sumida Gawa River

Di pinggir Sumida Gawa River ada beberapa Cafe yang berjejer, salah satunya Tully’s Coffee. Karena waktu juga, kami harus ada di tempat kapal tertambat sebelum jam 2 pm karena kami akan menuju Odaiba dengan naik kapal, kami tak mampir ke Cafe ini. Dari pinggir sungai ini kami menikmati keindahan sungai yang dipinggirnya ditanami pohon sakura, yang terbayang keindahannya saat berbunga.

Shaun ikut piknik

Di sini Narp n Hiro sibuk memotret shaun, boneka kesayangan mereka berdua yang selalu ikut berjalan-jalan. Di seberang sungai terlihat sky tree yang tinggi menjulang.

Kegiatan akhir bulan September-Oktober 2018:Tulisan yang tertunda terus

$
0
0

Semakin ke sini kok rasanya makin sulit punya waktu untuk nulis di blog. Entah karena kesibukan di dunia nyata, atau karena kalah pamor dengan facebook, yang bisa mudah meng up load foto-foto dari smartphone. Rasanya dulu sering menggebu-gebu ingin segera pulang ke rumah untuk bisa nulis di blog.

Patung dr Tjipto Mangunkusumo di depan gedung RSCM

Setelah saya merenung, memang setelah menengok si bungsu di Toyohashi, saya sibuk banget. Rencana untuk pergi ke Toyohashi bersama suami juga gagal, dan terpaksa pergi sendirian karena suami sakit hernia. Jadi begitu pulang dari Toyohashi, seminggu kemudian suami dapat telepon dari RSCMkalau operasi hernia bisa dilakukan pada tanggal 27 September 2018.

 

 

 

Makanan di ruang rawat kelas 1 pasien BPJS, enak dan lengkap.

Syukurlah operasi berjalan lancar dan setelah lima hari rawat inap, suami diperbolehkan pulang. Dan senangnya semuanya gratis karena suami menggunakan BPJS. Asal kita sabar dan tidak mudah mengeluh, pelayanan pasien BPJS bagus, makanan nya juga bagus.

Pada awal Oktober 2018, tepatnya tanggal 7 Oktober 2018, saya, anak dan cucu melihat Asian Para Games di Senayan. Belajar dari saat menonton Asian Games bulan Agustus 2018, untuk Asian Para Games bulan Oktober 2018 ini, anak saya jauh-jauh hari berencana mengajak putrinya yg berumur 7 tahun untuk menonton wheelchair basketball.

Menonton bersama Babe

Rencana berangkat pagi gagal karena ada tetangga yang meninggal, saya sendiri masih menemani suami yang sedang proses pemulihan. Jadi siang hari, setelah makan siang dan memastikan si mbak udah dalam perjalanan menuju Jakarta, kami menuju Senayan.

Wheechair Basketball antara pemain putri Iran Vs Kambodja.

Syukurlah si kecil senang sekali, saya juga pertama kali menonton pertandingan wheelchair basketball, yang saat itu sedang bertanding antara regu putri Iran vs Kamboja. Saya surprised melihat kecepatan pemain putri Iran, mengendalikan kursi roda sekaligus menyarangkan bola basket, kemudian berputar dengan cepat untuk mengejar kembali bola basket.

Sungguh pengalaman yg mengesankan bagi si kecil, dan rupanya ini sangat masuk di hatinya, sampai rumah si kecil bercerita pada Yangkung pengalaman nonton pertandingan basket di atas kursi roda.

Bersama mbak Loesin dan Dara APIPB (Asarama Putri IPB)

Mengakhiri bulan Oktober, seperti biasa, kami mengadakan pengajian bulanan, yang anggotanya sebagian besar dari mantan karyawati BRI yang dulunya tinggal di Kompleks BRI Cipete Selatan. Kali ini pengajian diadakan pada tanggal 20 Oktober 2018, bertempat di rumah ibu Gayatri. Selain mendapat tambahan ilmu, juga silaturahim dengan teman-teman yang setelah pensiun, rumahnya terpencar di seputar Jakarta. Saat-saat seperti ini rasanya masih seperti dulu, mengobrol dan tertawa-tawa, seperti zaman masih pergi pulang ke kantor naik jemputan.

Viewing all 393 articles
Browse latest View live