Gedung Perpustakaan Saidjah-Adinda, berdiri berdampingan dengan Museum Multatuli di Rangkasbitung. Bentuk bangunan yang dipilih juga sangat unik, mengadopsi bangunan khas warga adat Baduy yaitu Leuit.

Leuit merupakan bangunan lumbung padi masyarakat adat Baduy, berfungsi untuk menyimpan hasil panen dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sayang, kami tidak sempat mengeksplore perpustakaan ini. Setelah melihat dua lokasi, dan berangkat pagi-pagi dari Jakarta, banyak di antara kami yang tidak sempat sarapan. Dan di atas commuter line tidak boleh makan, karena khawatir makanan berjatuhan di lantai. Namun jika ingin minum masih diperbolehkan. Untuk memuaskan hati, saya sempat mengambil foto perpustakaan dari arah depan…semoga nantinya akan ada kesempatan melihat ke sini.
Dari depan perpustakaan kami menuju ke Water Toren Rangkasbitung yang dibangun pada tahun 1931.



Bangunan Water Toren atau menara air ini berada di Kampung Pasir Tariti, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, merupakan Bangunan Cagar Budaya (BCB) peninggalan kolonial Belanda yang memiliki nilai sejarah.
Bangunan yang menjulang setinggi 9 (sembilan) meter tersebut berfungsi sebagai penampungan air bersih untuk kebutuhan pemenuhan air bersih bagi masyarakat Rangkasbitung, Lebak pada 1931 hingga sekitar tahun 1970 silam. Kami kemudian mengambil beberapa foto di sini.

Hari semakin siang, cuaca Rangkasbitung terasa panas, rasanya lebih panas dari Jakarta. Kami, yang usia rata-rata sudah di atas 65 tahun juga mulai lelah, jadi kami sepakat untuk mencari lokasi makan siang.


Setiap kali naik turun tangga harus hati-hati, agar tidak tergelincir. Sesuai info dari pak Satpam di BRI Rangkasbitung, kami selanjutnya kami menuju RM Baranangsiang untuk makan siang.