Pak Tumbur ini junior saya, saat saya masih bekerja di BUMN. Rupanya pak Tumbur tetap melanjutkan kuliah di sela-sela kesibukannya bekerja, hingga mendapatkan gelar Doktor. Tidak cukup itu saja, pak Tumbur menulis buku “Berkarya Tiada Akhir” yang merupakan kisah perjalanan beliau. Wahh hebat nih, saat itu saya juga sedang menulis sebuah buku memoar. Walau sudah menulis di blog sejak akhir tahun 2006, rupanya untuk menjadikan tulisan menjadi sebuah buku, susahnya bukan main. Jadi saya salut dengan pak Tumbur. Saya kirim message melalui face book, bolehkah saya memperoleh bukunya, dimana pesannya …bla..bla …bla.


Kemudian kami berjanji mau ketemu di Citos, sebuah Mal di Jakarta Selatan yang merupakan tempat meeting point nyaman karena dekat dengan pintu Tol, sehingga mudah dicapai dari manapun. Namun rupanya pak Tumbur sibuk sekali, hingga pertemuan tertunda terus, sampai akhirnya buku saya terbit.
“Kita sekalian tukar buku ya bu?”, kata Pak Tumbur.
“Boleh, ayo ketemu dimana?”
Rupanya walau sudah pensiun kok ya susah mencari waktu yang tepat karena setelah pensiun, saya jadi pengacara (pensiunan banyak acara). Kami tetap terhubung melalui facebook, rupanya pak Tumbur sibuk berkebun. Senang sekali melihat foto-foto dia yang berseliweran di facebook saat panen tomat, jagung, terong dan sebagainya. Saya kirim message lagi, kapan boleh melihat kebunnya. Akhirnya setelah lebih dari setahun, dicapai kesepakatan…itupun beberapa kali tertunda. Kebetulan Oktiva bersedia menemani melihat kebun pak Tumbur, sekalian mau membawakan pohon pisang untuk ditanam di kebun pak Tumbur.

Akhirnya pada suatu pagi yang cerah, saya janjian dengan Tiva di Citos. Rupanya Helen juga ingin ikut, bahkan bersusah payah naik bus dari BSD. Kami bertiga meneruskan perjalanan ke Cibubur, lokasi kebun pak Tumbur, yang tidak terlalu jauh dari rumahnya di Gran Cibubur. Rupanya sudah ada pak Donsuwan bersama nyonya, tidak lama kemudian datang pak Sahala Manalu juga bersama nyonya. Wahh senang sekali ketemu teman yang dulu sama-sama bekerja di BUMN.

Kami langsung mengelilingi kebun, yang agak becek, karena dua hari berturut-turut sebelumnya turun hujan. Kasihan Helen, yang karena dadakan kurang mendapat info, sehingga pakai sepatu bagus. Panas cukup menyengat, namun melihat tomat ceri yang merah-merah menunggu dipertik, terong bulat yang biasanya untuk lalapan, juga terong ungu untuk sayur, membuat kami melupakan cuaca panas. Syukurlah saya tidak lupa untuk membawa topi. Kebun pak Tumbur menggunakan pupuk kandang sehingga hasil panen jelas aman untuk dimakan. Pak Tumbur juga memelihara ayam kampung, Tiva pernah mendapat telor banyak karena ayam-ayamnya pas sedang bertelur. Kami berkeliling memanen tomat, terong ungu, terong untuk lalapan, jeruk limau, jeruk nipis, tomat, jagung.

Tidak lama datang bu Artha bersama suaminya, obrolan kami tambah seru. Kami mengobrol, bernostalgia, mengenang masa masih bekerja di Bank BUMN, menikmati camilan, makan siang di kebun, rasanya waktu ingin berhenti berputar. Kami makan siang nasi kotak….duhh perut kenyang sekali. Kemudian saya sholat Duhur, agar merasa nyaman di jalan karena telah melaksanakan kewajiban.
Waktu terus berjalan, kami akhirnya pamit untuk pulang…dan dibekali panen hasil kebun berupa tomat ceri, terong bulat, terong ungu dan jagung. Wahh senangnya….terima kasih banyak pak Tumbur, semoga kapan-kapan bisa kembali ke sini. Dari obrolan, kami jadi tahu bahwa pak Don juga mempunyai kebun di daerah Sukabumi, semoga suatu ketika bisa meninjau kebun pak Don di Sukabumi. Saya pulang bersama Helen dan Tiva. Kami mampir di roti Michelle, tertarik mendengar cerita Tiva, bahwa toko roti ini semua outletnya berada di luar Jakarta…rotinya enak, dan yang disukai Tiva adalah fruit cake. Saya ikutan membeli fruit cake untuk oleh-oleh cucu di rumah.

Rupanya di jalan mulai macet, Helen yang rumahnya di BSB mencari info bus yang akan menuju ke sana. Dari temannya, Helen mendapat info bahwa bus yang akan menuju BSD akan sampai di dekat stasiun MRT Fatmawati sekitar pukul 16.00 WIB. Saya menyarankan untuk mengantar Helen dulu, agar tidak ketinggalan bus. Tiva hebat sekali nyopirnya, dalam kondisi jalan penuh sesak seperti ini, bisa mencari jalan sehingga tepat di stasiun MRT Fatmawati masih ada waktu 10 menit.
Kami berpisah di sini, Tiva kembali mengarah ke Citos karena saya akan turun di Citos. Tadinya Tiva memaksa mau mengantar ke rumah, tapi waktu pulang kerja begini jalanan macet dan kasihan Tiva jika terjebak macet. Walau jarak Citos ke rumah saya bisa ditempuh 10 menit dengan jalan kaki, namun dengan taksi, menjadi 25 menit. Ahh yang penting duduk nyaman dan menikmati kemacetan di jakarta. Kalau tidak macet, bukan Jakarta namanya.