Bagaimana ya rasanya napak tilas ke Kampus setelah puluhan tahun lampau? Gara-gara punya pemikiran ini, kami (3 orang perempuan dari Jakarta, serta tiga dari Bogor, serta dua laki-laki) merencanakan kunjungan ke Kampus IPB Darmaga. Kampus kami dulu di Baranangsiang, di samping Kebun Raya Bogor, jadi sebetulnya kami tidak menikmati kuliah di Darmaga, kecuali saat praktek lapangan, meninjau stasiun klimatologi, mencoba menyopir naik traktor dengan berakibat menabrak pohon karet ….ya, dulu di Darmaga hanya ada Fakultas Kehutanan dan terkenal hutan karetnya. Bahkan asrama putri Kehutanan, yang merupakan bangunan tempat tinggal administratur zaman Belanda dulu, terkenal banyak hantunya. Saya awalnya mau tinggal di asrama putri Kehutanan ini selama praktek lapangan sekitar 6 (enam) bulan, namun hanya tahan seminggu, dan akhirnya memilih berangkat jam 5.30 pagi dari Baranangsiang naik bis IPB yang menuju Darmaga (menjemput para dosen yang tinggal di Darmaga dan mengajar di Kampus IPB Baranangsiang), pulangnya naik angkutan Pedesaan yang suka ngebut. Saat itu jalanan dari Bogor ke Darmaga masih penuh ladang, dan angkutan yang ada hanya angkutan pedesaan.
Karena namanya napak tilas, maka kami memilih naik bis Agra Mas dari Jakarta ke Bogor. Bis Agra Mas ini berangkat dari terminal Lebak Bulus, rupanya si mbak kawatir sekali mendengar rencana saya, dia ngotot mau mengantar ke terminal Lebak Bulus, karena katanya, kalau di terminal bis kita suka ditarik-tarik sama calo. Kekawatiran si mbak ini saya sampaikan pada Ati, yang rupanya juga mengalami hal sama, anak-anak nya nggak setuju ibu ke Bogor naik bis, maklum usia kami sudah termasuk risiko tinggi. Akhirnya saya dan Ati memutuskan naik bis Agra Mas dari halte Pondok Pinang, sebelum bis masuk Tol, dan Alda menunggu di dekat perempatan Pasar Minggu. Ternyata kekawatiran itu semua tak beralasan, sungguh nyaman naik bis Agra Mas, ber AC, tempat duduknya nyaman dan tidak penuh, hanya 45 menit dari Lebak Bulus ke Bogor karena lewat jalan Tol, dan bayarnya hanya Rp.13.000,- saja.
Sampai terminal Baranangsiang, kami dijemput Tinoek dan Meity, yang entah kenapa mobilnya diperbolehkan masuk terminal, mungkin kasihan pada nenek-nenek yang masih cantik ini jika bengong nunggu di pengkolan jalan dan terminal. Kata Tinoek … “Ini pertama kalinya aku berdiri di sudut jalan lho,” sambil ketawa-ketawa.
Dari terminal Baranangsiang kami langsung menuju kampus Darmaga, melalui jalan baru dan jalan belakang yang menembus langsung kampus IPB. Wahh kalau sendirian, nggak bakal sampai nih saya, jalanan yang dulu berupa tanah sudah beraspal semua, padahal dulu jalan ini diantara pohon karet yang lebat.
Memasuki gapura ke kampus IPB dari jalan belakang, kami foto bersama dulu, dan mulai berkomentar, kenapa ya kok bukan nama Indonesia saja, malah pakai bahasa Inggris menjadi Bogor Agricultural University yang singkatannya menjadi BAU…duhh kan IPB merupakan institut, bukan universitas?
Kami melanjutkan ke gedung replika kampus Baranangsiang, yang sekarang digunakan untuk kuliah TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Pertanyaan-pertanyaan tentang nama IPB akhirnya kami keluhkan pada pak Boni, …ehh pak Boni malah meminta angkatan kita menulis pada Rektor…waduhh kok ribet banget. Yang jelas, saya sendiri lebih suka nama IPB, dan ini kampus di Indonesia kan, jadi tak perlu di bahasakan ke dalam bahasa Inggris. Sama seperti nama Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia, kan namanya tetap asli Indonesia.

Pohon pinus yang ditanam Presiden Soekarno, sekarang terletak di halaman dalam Fakultas Pertanian IPB Darmaga
Kemudian kami mampir ke gedung Fakultas Pertanian IPB, yang di halaman tengahnya terdapat pohon pinus yang dulunya ditanam oleh Presiden Sukarno. Kami sempat mengobrol lama di Departemen Agronomi dan Hortikultura, bertemu dengan Dirman dan Sudarsono yang saat ini masih mengajar di kampus IPB.
Perjalanan berlanjut ke asrama putri Kehutanan, yang sekarang menjadi Guest House IPB. Sebetulnya saya masih suka bangunan aslinya dengan pilar-pilar besar yang terbuka, namun kemungkinan demi keamanan, maka diantara pilar-pilar tersebut diberi dinding dan diberi jendela kaca.
Kami melihat-lihat kamar dan ruangan di Guest House, rupanya kalau mau tidur disini harus pesan jauh sebelumnya, karena banyak sekali peminatnya terutama tamu-tamu asing.
Melihat ruang demi ruang Guest House disini, membuat kami berencana untuk mengadakan reuni tahun 2014 di Guest House ini, menginap semalam dan paginya jalan-jalan keliling kampus IPB Darmaga yang penuh pepohonan.
Hari makin siang, kami kemudian makan di Mak Jan, kantin mahasiswa IPB, ditraktir oleh Meity yang saat ini menjadi Guru Besar IPB, dan sedang berulang tahun sehari sebelumnya. Masakan kantin yang sederhana ini sungguh enak, terutama gado-gado nya sungguh sedap.
Kami makan sambil mengobrol, disuguhi pemandangan danau dengan burung-burung nya yang berterbangan. Selesai makan, kami sholat dulu di mushola di belakang gedung rektorat Andi Hakim Nasution.
Hari makin siang, kami harus segera kembali ke Bogor karena ada teman kami yang ingin memesan sepatu. Sayang saya lupa memotretnya, rupanya pemilik toko sepatu tersebut merupakan lulusan Fakultas Perikanan IPB yang sekarang berwirausaha.Kami bisa memesan sepatu sesuai selera dan warnanya, yang nanti akan dikirim ke rumah. Dasar nin-nin, heboh sekali memilih sepatunya, tapi puas, karena masing-masing memesan dua sepatu.
Dari toko sepatu, kami menuju Kebun Raya Bogor, berharap Irawati (atau panggilan akrabnya Wati) yang rumah dinasnya di dalam Kebun Raya Bogor sudah pulang. Seharian ini Wati tak bisa bergabung karena menjadi moderator pada acara LIPI. Syukurlah Wati sudah datang, kami mengobrol sambil menikmati teh panas dan stup kolang kaling yang konon bisa meningkatkan kekuatan tulang.
Tak lama kemudian terdengar azan Magrib, kami segera sholat Magrib, kemudian menuju Botanical Square untuk nonton bareng Film “SOKOLA RIMBA” yang dibintangi Prisia Nasution, yang merupakan putri teman kami dari Fakultas Perikanan IPB. Rasanya senang sekali bisa kumpul bareng, nonton bareng setelah 43 tahun kemudian, dan malamnya masih disambung mengobrol di rumah Wati sampai malam. Hawa Bogor yang segar, tidur di area Kebun Raya yang banyak pohon, membuat saya tidur nyenyak, dan bangun karena mendengar alarm untuk sholat Tahajud.
