Hari kedua sesi 4: Festival Memoar dan Memoaris Indonesia, 10-19 Desember 2021
Pada sesi ini, saya ditunjuk oleh penerbit Diomedia untuk menjadi moderator. Saat itu saya bertanya, “Pembicaranya siapa mas?” Mas Diyo menjawab, pembicaranya penulis dan peserta webinar mbak, yang semuanya merupakan anggota Komunitas Menulis Memoar. Saya belum bisa membayangkan, seperti apa ya acaranya, jadi supaya saya tidak bingung mulai dari mana, saya mulai googling mencari apa sih yang dimaksud dengan parenting itu? Saya pikir, daripada saya bingung mengawalinya, saya mulai membuat slide 10 lembar, terus saya kirim melalui email pada mas Diyo untuk dikoreksi. Ternyata mas Diyo menerima dengan senang hati…..minimal saya punya gambaran sedikit tentang ilmu parenting, walau sebetulnya sejak punya anak usia 10 tahun, saya sering berhubungan dengan psikolog anak, karena ayah ibu sudah tidak ada, daripada salah melakukan pola asuh kepada anak, lebih baik bertanya pada ahlinya.

Sehari sebelum acara, saya bertanya pada mas Diyo, siapa saja penulis buku “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, dan saat membaca Curriculum Vitae para penulis, saya langsung terhenyak. Matilah saya, penulisnya banyak yang pintar-pintar dan tentunya lebih berpengalaman dibanding saya. “Tidak masalah”, saya menyemangati diri sendiri, toh ini adalah ajang sharing pengalaman, saya bahkan akan banyak menimba pengalaman dari beliau-beliau ini.
Acara pada hari Sabtu malam ini dimulai sejak jam 19.30 sampai dengan jam 21.30 wib…. ternyata berjalan meriah dan seru. Saya benar-benar terharu dengan semangat berbagi teman-teman, bahkan bu Dewi Odjar yang mempunyai latar belakang sebagai psikolog dan telah menerbitkan beberapa buku antologi dan buku tunggal, banyak memberikan inspirasi bagi kami semua. Kekhawatiran saya ternyata tidak perlu, kami saling berbagi. Komentar tidak hanya dari para peserta yang sudah punya cucu, pengalaman mbak Retty sebagai ibu, yang mengamati bagaimana mamanya dalam berinteraksi dengan cucunya menarik untuk disimak. Pengalaman peserta dari Kanada, yang terpaksa bangun dini hari untuk sekedar mendengarkan acara ini sungguh menyejukkan, mbak Wieda juga berbagi bagaimana dia memperlakukan cucu dari kakaknya sebagai teman, dan para cucu ini memanggilnya “Nana” (nena=Nenek, dari bahasa Inggris UK, dan Nana dari panggilan nenek di Kanada). Cucu bu Dewi Odjar memanggil mayang (berasal dari mama dan eyang) serta Kiki (aki) untuk kakeknya. Cucu pak Iswandi Anas Chaniago, yang sering dipanggil IAC, memanggil kakeknya grandpa atau GP.

Secara ringkas, saya membuat ringkasan diskusi pada webinar “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, sebagai berikut:
Moderator memaparkan, bahwa saat anaknya kecil, seorang psikolog pernah berpesan “anak tidak terlalu mendengarkan, namun mudah mencontoh perilaku orang di sekitarnya. Pesan ini membuat para orangtua dalam menjaga buah hatinya harus berhati-hati dalam berperilaku, karena cucu sangat mudah mencontoh perilaku orang di sekitarnya. Dari slide pola pengasuhan anak, kunci pengasuhan yang penting adalah: hangat dan dekat, konsisten dan jangan berjarak. Kakek nenek dan orangtua anak, ada risiko terjadi perbedaan perilaku salam menerapkan pola asuh, namun hal tersebut harus disikapi secara bijaksana. Pada dasarnya kakek nenek dan orang tua sama-sama menyayangi buah hati. Diperlukan komunikasi yang baik antara orangtua dan kakek nenek, agar pola pengasuhan terhadap cucu dapat berjalan lancar dan menyenangkan bagi cucu.
Ibu Dewi Odjar, berasal dari extended family, kakek neneknya berasal dari Sumatra Barat dan Jawa Barat. Akibatnya anak-anak sejak kecil telah dikenalkan terhadap toleransi. Walau tinggal di keluarga besar, namun masing-masing keluarga mempunyai privacy, ada perbedaan dalam role model, namun perbedaan tersbut bisa disiasati dengan cara berkomunikasi yang baik. Masalah timbul, apabila yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan sehingga menimbulkan gap. Jika hal ini tidak dikomunikasikan akan menimbulkan friksi. Perbedaan ini biasanya diselesaikan dengan dibahas secara santai pada saat makan diseling gurauan.
Kakek nenek sepakat, jika cucu sedang dimarahi oleh orangtuanya, langsung masuk kamar, tidak ikut campur, harus menahan perasaan tidak tega, karena itu merupakan tanggung jawab orangtua terhadap anaknya. Di dalam keluarga, kakek nenek tidak banyak memberi nasihat, namun lebih banyak bertanya. Bu Dewi Odjar, sebagai baby boomers, cara pandang dan pola pikirnya sangat berbeda dengan kaum milenial, zelenial, alpha, sehingga prinsipnya justru kita yang harus menyesuaikan diri. Era sekarang, anak-anak tidak jauh dari gadget, agar bisa mengobrol dengan mereka, kakek nenek harus bisa berimprovisasi melakukan kegiatan kegiatan yang disenangi oleh generasi cucunya ini. Nenek bisa bertanya pada cucunya, apa sih asyiknya main game? Cucu yang merasa diperhatikan akan bercerita banyak dan mau diajak diskusi.
Bu Dewi bercerita, suatu ketika melihat dari acara yang ditayangkan TV, nenek yang usianya di atas 100 tahun masih berolah raga, dan berkomentar…”Mungkin itu memang passionnya ya.” Cucu bertanya, “Apa yang dimaksud dengan passion?” Nenek menjawab, “Passion itu jika kamu suka dan kamu bisa melakukannya.” Cucu menjawab, “Aku suka masak, nanti mau jadi chef.” Terjadilah diskusi apa profesi chef, kesenangan memasak bisa untuk dinikmati sendiri, namun jika bisa dijual, akan menjadi sebuah profesi.

Diceritakan juga, terjadi perbedaan penanganan pada saat anak sakit. Jika waktu dulu, ada anak sakit akan diselimuti agar badannya hangat. Namun sekarang justru tidak boleh diberi selimut. Jika panas, tidak boleh langsung diberi tempra, namun diukur dulu panasnya menggunakan thermometer, jika telah melewati 37,5 derajat baru boleh diberi penurun panas.
Pak Mimbar, menceritakan pengalaman sebagai seorang kakek dengan gaya khasnya. Saat cucu ketiganya lahir, ibunya ikut grup ibu-ibu menyusui. Banyak membeli dan membaca tentang buku parenting.
Pak Mimbar yang terbiasa hidup secara alamiah berkomentar, “ini bapak ibu kok mengunyah buku-buku kayak ayam leghorn, kan kita ayam kampung.”

Saat anak belum tumbuh gigi, orangtua heboh. Begitu juga saat belum bisa ngomong sesuai umur yang ditulis di buku, ayah ibu si anak sangat heboh. Kakek menanggapi dengan santai, “kakek neneknya cerewet, lha masak cucunya tidak bisa ngomong.” Namun pak Mimbar sepakat dengan pendapat bu Dewi Odjar, jika anak sedang dimarahi orangtuanya, lebih baik masuk kamar karena tidak tega mendengarnya. Anak juga tidak mau direpotkan dengan upacara tujuh bulanan. Saat mendapat kiriman nasi kuning dari tantenya, malah komentar, “kenapa mesti ada nasi kuning?”.

Pak Iswandi Anas Chaniago, menceritakan bahwa dalam keluarganya tidak pernah mengikuti aturan baku, semua berjalan dengan sendirinya. Ada cucu yang tinggal satu rumah dengan kakek nenek karena kedua orangtuanya bekerja, hanya punya waktu pada akhir pekan. Privacy tetap dijaga, anak cucu tinggal di lantai satu, sedang kakek dan nenek di lantai dua. Kakek nenek mengamati perkembangan cucu, semua berjalan wajar dan tidak mengikuti aturan di buku parenting.
Adanya cucu, membuat kakek nenek merasa seperti kembali punya anak kecil. Cucu tidak manja, sering diajak mengunjungi para petani jika kakek ada tugas.Pada usia 3-4 tahun cucu senang jika diajak ke mana-mana dan sering menunjukkan kebolehannya. Makin bertambah usianya, kesempatan cucu untuk mau diajak semakin berkurang, karena lebih suka bergaul dengan teman-temannya, melalui gadget. Orang tua cucu menggunakan kesempatan di akhir pekan untuk melakukan kegiatan bersama, seperti kamping, agar bisa lebih dekat dengan anak-anak.

Ibu Diah Wulan. Cucu ibu Diah Wulan berumur 4 (empat) tahun dan hampir satu tahun. Rasanya bahagia sekali mempunyai cucu. Saat cucu pertama diminta memimpin teman-temannya membaca surat Al Fatihah, kakek nenek merasa bangga sekali. Masalah yang lain belum mempunyai pengalaman karena cucu masih kecil-kecil.
Ibu Stella Martina Sundah. Mempunyai anak tiga orang, laki-laki semua. Cucu ada 4 (empat) orang, perempuan semua, ada yang kembar. Sungguh menyenangkan punya cucu kembar. Anak mantu dan cucu pernah tinggal satu rumah sebelum mempunyai rumah sendiri. Pada saat itu sering jalan-jalan, renang dan melakukan kegiatan bersama. Kadang terjadi gesekan dengan menantu, karena tidak setuju anaknya diajak makan di KFC. Gesekan ini karena cara melakukan pola asuh yang berbeda, namun tidak berlangsung lama.

Ibu Ninik Darwinto. Kenangan bersma cucu sangat banyak. Menantu perempuan bekerja di kantor, sehingga nenek mempunyai kesempatan untuk lebih dekat dengan cucu. Pola asuh anak sekarang dengan pola asuh saat nenek dulu sangat berbeda, jadi kalau cucu dimarahi, kakek nenek akan sembunyi. Hal ini membuat nenek sedih, namun suami menguatkan dengan mengatakan.” Cucumu itu bukan anakmu. Itu merupakan tanggung jawab orangtuanya, kita tidak boleh ikut campur.”
Pada saat Diomedia meminta bu Ninik menulis memoar tentang cucu, muncul pertanyaan-pertanyaan. Apa yang perlu ditulis? Menulisnya harus adil, karena walaupun sekarang cucu masih kecil, namun jika yang ditulis hanya cerita kakaknya, saat adik membaca nanti, akan merasakan bahwa nenek kurang adil. Hal ini membuat bu Ninik berusaha menuliskan cerita tentang cucu secara adil.
Saat cucu masih kecil cucu senang diajak, sangat mudah untuk menyenangkan cucu. Setelah cucu makin besar, nenek harus tahu diri, karena justru nenek yang harus banyak belajar dari cucu. Sekarang, mereka senang menyendiri bersama gadget, atau mengobrol dan bercanda bersama teman. Bu Ninik menyadari, termasuk nenek yang memanjakan cucu. Aturannya, cucu dilarang makan di kamar, serta makan harus sendiri. Namun saat ibunya bekerja, nenek tidak tega saat melihat cucu yang baru datang dari sekolah, terlihat lelah dan lapar. Saat sedang menyuapi cucu, terdengar mobil masuk ke halaman dari kamar… nenek buru-buru mengajak cucu keluar kamar, ternyata ibunya cucu telah ada di depan pintu.Pak Sidosolo. Belum bisa ikut cerita, hanya ikut menyimak, karena mempunyai putri 3 (tiga) orang, semuanya belum menikah. Semoga nanti jika putrinya menikah bisa segera merasakan punya cucu, seperti yang diceritakan bapak ibu semua.
Mbak Retty N. Hakim. Mami (ibunya mbak Retty) mempunyai komitmen, jika anaknya sudah mengatakan tidak boleh, mami akan mengikuti. Namun ada keluarga mami, yang tinggal bersama di rumah mami, sering mempunyai pandangan berbeda. Cucu juga tahu dimana ada tempat uang. Jika opa mengajak jalan-jalan, walau sudah remaja, cucu akan senang sekali. Jalan-jalan bersama opa, berarti cucu akan bebas meminta apa-apa yang diinginkannya. Mami paling dekat dengan cucu dari putrinya, mbak Retty N. Hakim, walau tidak bekerja full time, namun jika mbak Retty ada acara jalan-jalan ke museum, anak-anak akan dititipkan pada nenek. Dalam buku “Bahagia Bersama Cucu Tercinta”, nenek menceritakan keenam cucunya semua, agar merasa adil.
Mbak Wieda, Kanada. Sebetulnya tidak punya cucu dan tidak punya anak. Namun cucu-cucu dari kakaknya sangat dekat dekat dengan mbak Wieda dan menganggapnya teman. Para cucu dari kakaknya ini memanggilnya Nana. Para cucu ini mudah cerita, mereka menyatakan bahwa, “Nana lebih cool dibanding ibu saya. Kakak bu Wieda komentar, “Mbak Wied memanjakan anak-anak, apapun dikasih, kecuali patri dan abu gosok.”
Jika Mbak Wieda pulang ke Semarang, para cucu ini, termasuk anak para tetangga, diajari memasak. Mbak Wieda ini pintar memasak, saat awal pindah ke Kanada mengikuti suami, hampir setiap hari menelpon ibu di Semarang untuk belajar memasak, menanyakan bumbu yang akan dimasak melalui telepon. Kakak mbak Wieda dan para putranya juga pinter masak, sekarang dari hasil memasak, selain hobi bisa menjadi tambahan penghasilan, karena hasil berjualan kue dan masakannya laris.
Cucu keponakan mbak Wieda sekarang ada yang melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri dengan jalur bidik misi. Nana memacu kita untuk terus belajar agar bisa melihat dunia, jadi anak-anak ini rajin belajar agar bisa mengejar mimpinya.
Bu Dewi Odjar menanggapi, bahwa jika cucu bisa diajak sebagai teman, sebetulnya karena mereka ingin didengar. Mereka juga ingin tahu hal-hal baru. Mbak Wieda tinggal di Kanada, sehingga tidak merasa ada beban. Anak-anak senang karena bisa mendengar dan mengobrol apa saja tanpa khawatir. Saat di Fakultas Psikologi, bu Dewi diajarkan, anak yang lahir ke dunia diibaratkan seperti kertas putih yang kosong dan yang belum ditulisi, atau lebih dikenal dengan istilah Tabularasa. Pada kenyataannya, manusia lahir telah mempunyai kecerdasan emosional dan spiritual. Anak-anak bukanlah ember kosong.
Yang dilaksanakan mbak Wieda, anak-anak perlu dinyalakan semangatnya. Dunia sekarang terbuka dan banyak inspirasi-inspirasi. Pertanyaan cucu saya tentang passion membuat saya membaca tentang ikagai (istilah dari bahasa Jepang untuk menjelaskan kesenangan dan makna kehidupan). Jika bertemu dengan anak-anak, saya akan bertanya,”Apa yang ingin kamu buat?” Bukan mau menjadi apa dan mau kerja dimana?
Saat ini bu Dewi Odjar banyak menangani coaching anak-anak milenial yang cara pemikirannya jauh berbeda. Jadi kita jangan memakai sepatu lama, jangan pula menutup diri, tetapi kita mempunyai wisdom. Di New Zealand, semua anak pembelajarannya dititik beratkan pada karakter. Seperti, mengucapkan: terima kasih, memberi salam dan meminta tolong. Tiga hal ini sangat universal, jika bisa melakukan tiga hal ini, merupakan bekal yang bagus untuk anak-anak menghadapi masa depan.
Pak Iswandi menceritakan, bahwa pujian juga diperlukan bagi orang dewasa. Pak Iswandi saat kuliah di Belgia, mendapatkan pembimbing yang sering membuat semangatnya meningkat dengan memberi pujian. Saat mulai bergabung dengan Diomedia, pujian teman bahwa tulisannya mulai bagus, sangat membesarkan hatinya.
Mas Ngadiyo juga menceritakan, bagaimana cara menghadapi anak-anak yang magang di Diomedia. Mas Ngadiyo memulai dengan pertanyaan kepada anak-anak magang, apa yang diinginkan? Banyak dari anak-anak ini yang ingin menjadi youtuber, content creator, karena bekerja di media saat ini kesempatannya untuk berhasil sangat luas, karena dibutuhkan anak-anak muda yang kreatif. Dalam rangka Festival Memoar ini, mas Ngadiyo menggerakkan anak-anak muda untuk bahu membahu sejak membuat poster, mengatur jadual, membagi siapa-siapa yang akan mengatur jalannya acara dengan menjadi MC dan siapa yang berada di balik layar.
Bu Dewi Odjar merupakan orang yang berada di balik layar dalam mempopulerkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam proses pemakaian helm. Saat itu bu Dewi Odjar baru saja bergabung di Badan Standar Nasional, mendapat tugas untuk melakukan upaya agar SNI dalam sosialisasi pemakaian helm berjalan lancar. Undang-undang Lalu Lintas disahkan pada tahun 2009 dan diberlakukan sejak tahun 2010, dalam undang-undang jelas dinyatakan bahwa pengendara sepeda motor wajib memakai helm sesuai SNI. Padahal sejak tahun 90 an telah berseliweran pengendara sepeda motor menggunakan helm dengan berbagai merk.
Bu Dewi terinspirasi dari acara memasak oleh Rudy Choirudin, yang menayangkan proses memasak sejak dari pemilihan bahan, bagaimana proses memasak, kemudian penyajiannya. Saat pengujian helm yang menggunakan 9 (sembilan) parameter, yang ditayangkan melalui video, antara lain: helm SNI tahan dari benturan (uji penerapan kejut), uji penetrasi, uji efektivitas sistem penahan dan sebagainya. Dilakukan touring uji helm SNI dari Bali ke Jakarta. Bu Dewi Odjar bekerja sama dengan para bickers, komunitas dan polisi lalu lintas, agar para pengendara makin mengenal kegunaan memakai helm SNI. Juga dilaksanakan trade in, orang bisa menukar helm lama dengan hem baru berlabel SNI tanpa membayar.
“Sebetulnya apa arti Odjar?”, tanya mbak Retty N. Hakim, di akhir webinar. Odjar adalah singkatan dari Optimalkan Diri Dengan Terus Belajar, merupakan judul buku tunggal dari bu Dewi Odjar.