Siang itu saya pulang kuliah naik sepeda, panas nya menyengat sampai ke ubun-ubun. Ya, setelah menunggu panggilan dari PTN belum ada juga, akhirnya ayah setuju saya kuliah di PTS ambil Teknik Kimia di kota buaya. Ini kuliah hari kelima, tapi dosen nya ajrut2an, sering kosong. Konon katanya, beliau ngajar dulu di PTN baru ke swasta. Jam kuliah juga ada yang malam…duhh nasib kuliah di PTS.
Saat sampai di tempat kost, saya kaget melihat ayah, apa sebegitu kangen nya kok sudah ditengok padahal baru ditinggal seminggu. Ternyata ayah membawa berita…”Nduk, kamu diterima di IPB. Segera bereskan kopermu, kita pulang ke rumah. Besok siang kita berangkat ke Bogor.” Segera kami mengejar kereta api yang menuju ke kota kelahiranku.
Antara seneng dan deg2an, saya mempersiapkan keberangkatan ke Bogor. Ibu mendatangi saya dengan wajah sendu….” Jangan lupa bawa selimut tebal dan obat gosok, kamu kan gampang sakit perut dan masuk angin.” Yahh musuhku memang hawa dingin, padahal Bogor saat itu di kenal sebagai kota yang termasuk dingin cuacanya, dan sering hujan, makanya di sebut dengan nama kota hujan.

Besoknya saya dan ayah naik kereta api menuju Jakarta, kereta api penuh sesak, syukurlah dapat tempat duduk. Dan bapak yang duduknya di kursi dekat kami, menawarkan untuk mengantar kami ke Lapangan Banteng setelah sampai di Jakarta. Saat itu terminal bis berlokasi di Lapangan Banteng, dari sini kami naik bis menuju kota Bogor. Jalan dari Jakarta ke Bogor meliuk-liuk indah sekali, menyedapkan mata memandang, maklum saya dari kota kecil yang panas dan wilayahnya datar. Memasuki jalan raya Bogor, pohon-pohon besar kenari berjejeran di kiri kanan jalan, saya jadi ingat lagunya Ernie Djohan (judulnya”Bogor Indah“). Bis sampai di terminal Bogor yang lokasinya di depan stasiun Bogor. Dari sini kami naik andong menuju daerah Sempur…ayah membawa surat dari sepupu tante nya, yg tinggal di Sempur agar bersedia menerima saya tinggal bersama mereka, sebelum mendapat tempat kost. Udara Bogor masih segar, saat mandi saya menggigil….
Pagi-pagi saya diantar ayah mendaftar ke IPB dengan berjalan kaki. Saat itu bemo hanya dari jl. Gunung Gede ke Pasar Bogor dan masih jarang. Sampai IPB ternyata harus ke kantor pos untuk membayar uang kuliah. Setelah selesai membayar uang kuliah, kembali ke IPB mengurus administrasi, ada cowok jangkung berkulit sawo matang mendekati kami dan setelah mengobrol dengan ayah, si jangkung ini menemani saya ke mana-mana sampai urusan selesai dan saya resmi diterima di Faperta IPB. Dan ayah, sejak saya ketemu si jangkung, langsung pamit pulang, naik bis menuju Jakarta, untuk disambung naik kereta api ke kampungku.
Besoknya saya mulai ikut perkuliahan, kuliah di IPB disiplin sekali, telat 5 (lima) menit nggak boleh masuk. Beberapa kali saya ketemu si jangkung ini, dia tersenyum dari kejauhan. Saya yang dari udik, pemalu, nggak pede, hanya bisa menunduk….dan sejak itu saya tak pernah ketemu lagi sama si jangkung itu, bahkan tak tahu namanya. Betapapun, saya berterimakasih padanya, yang menemaniku keliling kampus Baranangsiang, membantu mengurus administrasi, menunjukkan lokasi perpustakaan, ruang kuliah dan lain-lain.

Kampus IPB Baranangsiang saat itu sangat sepi, karena untuk 6 (enam) fakultas yang di bawah IPB, masing-masing Fakultas hanya menerima 50 orang melalui jalur penerimaan tertulis (rapor kelas 3 SMP, kelas 1-2-3 SMA dan sertifikat kelulusan), dan rekomendasi dari Kepala Sekolah. Kami banyak bertemu teman dan kuliah ramai-ramai saat masih di tingkat Persiapan 1 dan Persiapan 2, kuliah merupakan perpaduan antara teori, praktek (responsi), dan praktikum. Tahun ke tiga sudah mulai banyak di lapangan, sehingga wajar kampus terasa sepi, karena di Kampus Baranangsiang hanya untuk Fakultas Pertanian dan Perikanan. Fakultas Peternakan dan Teknologi Pertanian tempat kuliahnya di kampus Gunung Gede, Fakultas Kedokteran Hewan di kampus Taman Kencana, serta Fakultas Kehutanan di kampus Darmaga yang kira-kira 12 km dari kota Bogor.
Dengan demikian kami memang jarang berinteraksi dengan kakak tingkat, kecuali yang menjadi asisten dosen. Sampai saya lulus S1, saya tak pernah ketemu lagi dengan si jangkung yang telah membantu saya di hari pertama masuk IPB ini. Sebetulnya saya menyesal tak tahu namanya dan dari angkatan berapa.