Toilet memang bukan hal utama, malahan dalam setiap rumah pada umumnya tidak ditaruh di tempat utama, bahkan untuk rumah-rumah lama, toilet biasanya diletakkan di belakang, di paviliun atau di dekat dapur. Pada rumah-rumah modern, toilet telah mendapatkan perhatian, bahkan ada yang menghias toiletnya agar terasa nyaman.
Saya telah menulis tentang toilet di blog tiga kali, tulisan pertama menceritakan betapa sulitnya mencari toilet umum pada kunjungan saya ke London dan Paris, yang kedua menceritakan pengalaman berhubungan dengan toilet dalam kunjungan ke Kuala Lumpur. Ternyata toilet ini juga menarik perhatian Kompas, terbukti dari tulisan Fathurozi, “Toilet: Dari Mohenjodero hingga DPR” (Kompas 17 Nopember 2012 hal 12). Membaca tulisan Fathurozi, saya menjadi tahu sejarah toilet, sebagai berikut:
Toilet atau kloset (closed) diciptakan sekitar tahun 3000-1500 SM di ibukota Hindustan, Mohenjodaro, yang dengan hilangnya peradaban Hindustan, kloset pun ikut hilang. Sekitar tahun 1596, Sir John Harrington memproduksi dua kloset, diberi nama “ajak”, salah satu klosetnya dipakai Ratu Elizabet I. Harington ini yang kemudian terkenal bapak WC (Water Closed). Tahun 1775 Alexander Cummings menemukan kloset bilas yang tidak bau (valve closet), yang kemudian mendaftarkan hak patennya. Selanjutnya Joseph Bramah, seorang tukang kunci, menemukan kloset yang diberi engsel pada penutupnya. Ketiga tokoh ini saling melengkapi, sehingga tercipta kloset yang nyaman.
Ternyata kloset ini juga melahirkan inspirasi bagi sastrawan. Fathurozi memberikan contoh: cerpen berjudul “Malaikat Kakus” karya Triyanto Triwikromo (2005), cerpen “Corat-coret Toilet” karya Eka Kurniawan, atau puisi “Toiletku” karya Radhar Panca Dahana (2008). Juga “Toilet Kalau Vampir Kebelet Gaul” karya Endang Rukmana (2009), kumpulan puisi “Renungan Kloset: Dari Cengkeh Sampai Uttrecht” karya Rieke Diah Pitaloka (2003).
Pengarang lain: Michael Szymczyk (2004), “Toilet: The Novel, atau bahkan toilet milik JD Salinger, pengarang novel “The Catcher in The Rye” dari Amerika Serikat, dalam situs lelang online eBay, dilelang dan mendapatkan harga 644,000 (enam miliar rupiah lebih), mungkin karena Salinger telah menulis 15 naskah terbaiknya dari ilham dan perenungan dalam toilet.
Saya mempunyai teman saat kuliah, yang menceritakan bahwa kalau belajar dia lebih suka belajar di toilet karena tenang, nyaman dan tak terganggu. Tentu saja kita tak akan mengganggu orang yang sedang ada di toilet, kecuali toilet yang ada di rumah hanya satu dan harus dipakai bergantian.
Si sulung juga hobi lama di toilet, dan karena sesuai pesan orang-orang tua zaman dulu, nggak boleh lama di toilet, saya sering mengingatkan anak sulung saya agar tak terlalu lama di toilet. Apa jawabnya ? ”Bu, dulu Archimedes menemukan rumusnya di kamar mandi”….yang di rumah saya menjadi satu dengan toilet. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Jika di rumah, baik si sulung maupun suami, hobi berlama-lama di toilet. Saya mencoba membawa bacaan ke toilet, namun entah kenapa, saya tak bisa berlama-lama, dan masuk ke toilet hanya seperlunya, membersihkan toilet atau menuntaskan kewajiban agar segera lega.
Pada saat menunaikan ibadah Haji, penggunaan toilet secara wajar ini yang berulang kali ditekankan saat manasik, karena jika kita tak menggunakan secara wajar, berlama-lama, maka bisa menimbulkan keributan, terutama saat berada di Mina. Maklum, walaupun pemerintah Arab telah menyediakan toilet yang banyak dengan air tak terbatas, antrian untuk menggunakan toilet selalu mengular, sehingga diperlukan kesabaran antara sesama jamaah haji.
Saat menengok si bungsu ke negeri matahari terbit, di bandara Narita, saya menikmati toilet modern bersih, yang bisa dipilih cara penyemprotan air yang kita inginkan, apakah disemprot langsung, airnya menyemprot secara menyebar dan lain-lain. Saat si bungsu mengajak wisata ke daerah Tahara, yang terletak di tepi pantai, toiletnya masih tradisional. Seperti toilet di kampungku, namun ada bagian yang menonjol. Saya melirik-lirik, kok nggak ada cara pakainya ya. Dan ternyata, belakangan saya baru tahu cara pakainya… bahwa cara saya terbalik, syukurlah tak terjebur.

Buang air besar cara Jepang-gambar diambil dari FBnya mas Yulianto Qin
Sekarang di AEON Bumi Serpong Damai, saat kopdar bersama Imelda dan Tourichi Sanchan, saya menemukan toilet yang bersih seperti di negara Jepang…semoga terpelihara dengan baik.
Masalah toilet ini terlihat sepele, namun sangat berpengaruh apakah orang akan datang ke tempat yang bersangkutan berikutnya apa tidak. Syukurlah, pengelola Mal, terutama di Jakarta, sudah sangat sadar untuk menyediakan fasilitas toilet yang bersih, dengan air yang lancar.
Penyediaan toilet ini harus sesuai segmen pasar yang dituju. Saya pernah pergi ke suatu Mal, yang dimaksudkan untuk kelas menengah ke bawah, toiletnya cukup modern dan awalnya bersih, yaitu dengan sistem duduk. Sayang pengunjungnya tak semua memahami, walau sudah dipasang tulisan dilarang jongkok, tetap saja ada bekas tapak kaki yang sulit dihilangkan pada toilet duduk tersebut. Dan airnya tidak lancar, padahal toilet tersebut menggunakan sistem semprot yang menjadi satu kesatuan…jadi sebaiknya kita tetap menyediakan tisu basah untuk kondisi darurat.
Bahan Bacaan:
- Fathurozi, Toilet: Dari Mohenjodaro hingga DPR. Kompas, 17 Nopember 2012 halaman 12.
- Pengalaman penulis.
